Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aksi merger dan akuisisi BPR diharapkan diikuti dengan pemberian insentif.
OJK menargetkan perampingan jumlah BPR dan BPRS dari 1.600 menjadi 1.000 bank.
Peran BPR dalam perekonomian dan usaha mikro dan kecil dianggap masih sangat besar.
JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan efisiensi industri bank perekonomian rakyat/bank perekonomian rakyat syariah (BPR/BPRS) melalui aksi konsolidasi, baik merger maupun akuisisi. Otoritas mendorong perampingan jumlah bank dari yang saat ini berjumlah sekitar 1.600 bank menjadi tersisa sekitar 1.000 bank.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan tersebut menimbulkan keresahan pelaku industri BPR/BPRS. Ketua Umum Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) Tedy Alamsyah mengungkapkan keinginan regulator untuk memangkas jumlah bank dikhawatirkan bakal kontraproduktif terhadap keberlanjutan bisnis industri sehingga akhirnya justru mempengaruhi citra BPR/BPRS itu sendiri.
“Kami melihat BPR/BPRS masih dapat tumbuh dengan baik sesuai dengan ekosistem yang dilayani. Maka seharusnya tidak perlu dipaksakan untuk menjadi sesuatu yang besar,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Industri BPR/BPRS pada mulanya hadir sebagai respons atas adanya paket kebijakan pada Oktober 1998 atau periode krisis moneter. Ketentuan itu mengamanatkan kehadiran BPR/BPRS di kecamatan dengan modal terbatas. BPR/BPRS didapuk sebagai garda terdepan dalam meningkatkan edukasi dan literasi keuangan di masyarakat, khususnya dalam melayani, membina, dan memfasilitasi UMKM di wilayah tersebut agar bisa berkembang.
Tedy menyayangkan campur tangan OJK selaku regulator yang cenderung memaksa upaya konsolidasi BPR, alih-alih menyerahkannya pada mekanisme pasar. “Aksi korporasi, seperti merger, konsolidasi, dan akuisisi, seharusnya biar pasar yang melakukan. Biar pelaku industri sendiri yang bergerak melakukan hal tersebut.”
Instruksi dan perintah konsolidasi yang digaungkan OJK pun berpotensi menimbulkan persepsi negatif di kalangan investor, yang pada akhirnya berdampak pada pembentukan harga penawaran ataupun harga akuisisi di pasaran. “Kami berharap regulator mempersiapkan ruang dan insentif untuk aksi korporasi tersebut, tapi tidak untuk mendorong bahkan mewajibkan pelaku industri melakukannya,” kata Tedy.
Nasabah Bank Perkreditan Rakyat di Bogor, Jawa Barat. Dok. TEMPO/Arie Basuki
Alasan OJK Memangkas Jumlah BPR
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengungkapkan otoritas bakal terus menyisir dan memeriksa secara intensif entitas BPR/BPRS guna memastikan kesehatan keuangan dan kepatuhannya terhadap ketentuan yang berlaku. “Bank-bank yang bermasalah, khususnya yang terlibat fraud, sudah pasti akan kami tutup,” ucapnya.
Perampingan jumlah bank juga diharapkan dapat memudahkan otoritas dalam melakukan pengawasan sekaligus menjadikan industri BPR/BPRS lebih kuat dengan skala layanan dan ekspansi kredit yang lebih luas. “Jumlah ideal yang manageable secara sistem hanya sekitar 1.000 untuk melayani seluruh nasabah di Indonesia,” ujar Dian.
Otoritas juga menyetop izin baru BPR dan berfokus menerapkan aturan single presence policy atau kepemilikan tunggal. Di dalamnya, OJK melarang satu pihak mengendalikan lebih dari satu bank. “Selama ini kita mengetahui bahwa ada satu orang atau grup yang memiliki beberapa BPR sekaligus. OJK akan mengurangi ini sehingga mereka hanya boleh mendirikan satu BPR dengan cabang-cabangnya.”
Tak hanya itu, otoritas juga tengah menyusun peta jalan (roadmap) pengembangan BPR/BPRS, dari akselerasi konsolidasi, penguatan permodalan, hingga transformasi digital dan sumber daya manusia. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang memberikan mandat peningkatan kapasitas bisnis BPR/BPRS. Dian menjelaskan, pengembangan dan penguatan peran serta fungsi BPR/BPRS di antaranya dilakukan melalui perluasan definisi, penawaran umum di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui initial public offering (IPO), serta perluasan kegiatan usaha.
“BPR bakal lebih leluasa menjalankan usahanya, seperti melakukan IPO serta aktivitas bank umum seperti kegiatan transfer dan pertukaran valuta asing,” kata Dian. Ihwal pemenuhan ketentuan permodalan, setiap BPR/BPRS wajib memiliki modal inti Rp 3 triliun dan modal inti minimum Rp 6 miliar paling lama pada akhir 2024. OJK juga bakal mengatur syarat dan ketentuan IPO oleh BPR/BPRS untuk dapat meningkatkan skala usahanya menjadi sumber pendanaan untuk masyarakat serta mendorong peningkatan kualitas tata kelola sebagai perusahaan publik.
Roadmap pengembangan perbankan Indonesia bagi industri BPR/BPRS tersebut disiapkan sebagai upaya penguatan industri dalam menghadapi berbagai tantangan hingga 2025. “Harapannya, industri BPR/BPRS bisa memberikan akses keuangan kepada usaha mikro dan kecil, juga masyarakat dalam lingkup daerah atau wilayahnya.”
Setidaknya ada empat pilar penguatan industri BPR/BPRS dalam peta jalan tersebut. Salah satunya akselerasi digitalisasi. Menurut Dian, pemanfaatan teknologi informasi yang semakin masif dan perubahan pola perilaku masyarakat menuntut BPR/BPRS selalu mengembangkan infrastrukturnya agar dapat melayani nasabah secara mobile, lebih cepat, dan aman. “Digitalisasi produk dan layanan dapat menjadi nilai tambah bagi nasabah dalam berinteraksi dengan BPR/BPRS di tengah kompetisi yang semakin ketat,” ujarnya.
Aktivitas perbankan di Bank Perkreditan Rakyat, Bogor, Jawa Barat. Dok. TEMPO/Arie Basuki
Dampak Efisiensi BPR
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menimpali kebijakan OJK yang menyuarakan konsolidasi memberikan tekanan langsung kepada pemilik BPR/BPRS aga segera melakukan aksi tersebut. “BPR/BPRS dengan modal minimum yang cekak sudah pasti tersingkir dari pasar,” katanya. Dampak efisiensi BPR/BPRS pun diperkirakan tak bersifat sistemik karena operasionalnya yang bersifat lokal di daerah tertentu. “Tapi tetap perlu diantisipasi, terutama untuk BPR/BPRS yang punya kaitan channeling penyaluran kredit dengan bank umum.”
Sementara itu, pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo berujar efisiensi BPR/BPRS merupakan sebuah keniscayaan, mengingat tantangan yang dihadapi industri semakin besar. Di antaranya peningkatan permodalan, perbaikan tingkat kesehatan bank, efisiensi operasional, perubahan lingkungan bisnis, serta tuntutan budaya transformatif di era digital. “Seluruh tantangan tersebut tidak mudah dijawab dengan peningkatan profitabilitas sehingga langkah efisiensi menjadi salah satu pilihan terbaik,” ucapnya.
Di sisi lain, ada dampak negatif dari langkah efisiensi yang juga perlu menjadi perhatian untuk dimitigasi oleh industri ataupun regulator. “Dampak yang perlu dilihat adalah terhadap inklusi keuangan dan pelindungan nasabah yang mempercayakan aset keuangannya kepada BPR/BPRS,” Arianto menambahkan. Pasalnya, selama ini kehadiran BPR juga memberikan dampak positif kepada masyarakat di daerah, khususnya di wilayah yang terpencil atau memiliki akses terbatas ke layanan keuangan.
Menurut Arianto, peran BPR cenderung lebih akrab dengan kebutuhan lokal masyarakat di wilayah tertentu, yang menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil. “Dengan memberikan akses ke layanan perbankan dan kredit, BPR dapat mendukung pertumbuhan ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat.”
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo