Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tanda Tanya Kesiapan Larangan Ekspor Bauksit

Larangan ekspor bauksit akan berlaku pada 10 Juni 2023. Seberapa siap kondisi industri di Tanah Air?

 

3 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Larangan ekspor bauksit mulai berlaku pada 10 Juni 2023.

  • Penghiliran bauksit di Indonesia dianggap kurang siap.

  • Pengusaha ingatkan permasalahan larangan bauksit pada 2014.

JAKARTALarangan ekspor bauksit yang mulai berlaku pada 10 Juni 2023 dikhawatirkan dapat menjadi bumerang bagi perekonomian. Terlebih, fasilitas pemurnian bauksit di Tanah Air belum cukup banyak. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, saat ini hanya ada empat smelter bauksit yang beroperasi. Sedangkan tujuh dari delapan smelter yang akan dibangun masih berupa tanah lapang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ini menjadi pertanyaan, apakah penghiliran bauksit ini sudah siap?" ujar Kepala Pusat Penelitian Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, dalam diskusi pada Rabu, 31 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Andry, peta rantai pasok industri bauksit tidak sama dengan industri nikel—yang sudah lebih dulu dilarang diekspor. Di dalamnya, produk nikel memiliki produk turunan yang banyak dan rantai pasoknya panjang. Karena itu, investasi di industri nikel bisa dilakukan secara bertahap. Sementara itu, rantai produk turunan bauksit lebih sederhana, hanya diolah menjadi alumina (alumunium) sebagai produk akhir.

"Sampai sekarang belum ada rencana yang difokuskan dari penghiliran bauksit, selain mengubahnya menjadi alumina dan diekspor," ujar Andry. Hingga kini, kata dia, belum ada peta jalan yang jelas pada penghiliran bauksit. Dia melihat niat pemerintah melarang ekspor bauksit hanya untuk berharap adanya investasi yang masuk akibat seretnya pasokan dari Indonesia.

Masalahnya, Indonesia bukanlah negara dengan cadangan dan kapasitas produksi bauksit terbesar di dunia. Masih ada Guinea, Vietnam, Australia, Brasil, dan Jamaika sebagai negara dengan cadangan bauksit terbesar di dunia. Sementara itu, dari sisi produksi, Indonesia juga kalah oleh Guinea, Australia, Brasil, dan Cina.

Indonesia, kata Andry, juga kalah dari sisi penghiliran bauksit menjadi alumina. Rasio produksi alumina terhadap produksi Indonesia terendah kedua setelah Guinea. Adapun Australia, yang rasio cadangan terhadap produksinya hampir serupa dengan Indonesia, memiliki rasio konversi alumina ke bauksit lebih tinggi dari Indonesia. 

Namun, dari sepuluh negara dengan cadangan bauksit terbesar, hanya Indonesia yang mengambil kebijakan pelarangan ekspor dengan dalih penghiliran. "Indonesia terlihat mengambil jalan pintas untuk penghiliran dengan melarang ekspor, padahal negara lain tidak," ujar Andry. "Kami melihat kebijakan ini cenderung tergesa-gesa."

Andry berpendapat cita-cita penghiliran yang diharapkan Presiden Joko Widodo bisa tercapai kalau industri hilir aluminium diperkuat lebih dulu. Visi besar itu pun hanya bisa dicapai dengan tahapan-tahapan yang jelas. Dari memperbaiki tata kelola penambangan bauksit berkelanjutan hingga membantu pembangunan smelter dengan adanya fasilitasi kredit lantaran biaya investasinya bisa mencapai US$ 1,2 miliar.

Bersamaan dengan itu, pemerintah juga perlu meningkatkan investasi di pengolahan aluminium dan sektor pengguna aluminium melalui serangkaian insentif fiskal dan non-fiskal. Kalaupun diberlakukan larangan ekspor, semestinya hal itu bersifat terbatas melalui penggunaan bea ekspor sehingga ada pengendalian ekspor dan pemasukan bagi negara. "Pelarangan ekspor (secara penuh) harus menjadi solusi akhir kalau pengolahan sudah berjalan optimal."

Pembatasan Ekspor Rugikan Daerah

Peneliti dari Indef, Ahmad Heri Firdaus, menambahkan pelarangan ekspor bauksit tanpa kebijakan yang komprehensif berpotensi merugikan banyak pihak. Selain pelaku usaha, daerah penghasil bauksit dan negara akan berkurang penerimaannya. Musababnya, pasar dalam negeri belum tentu bisa menyerap bauksit yang nantinya tidak bisa diekspor lagi.  

"Kalau hanya larangan ekspor, dampaknya akan negatif bagi industri terkait. Tapi, kalau ada investasi di sektor hilir, ada peningkatan produksi di sektor hilir, dampaknya akan positif," ujar Ahmad. Belum lagi kalau respons negara mitra tidak sesuai dengan harapan: bukannya berinvestasi di dalam negeri, justru mengalihkan pembelian ke produsen bauksit lainnya. 

Alih-alih mengambil jalan pintas melarang ekspor bauksit dengan harapan investasi penghiliran masuk, pemerintah seharusnya berfokus mencari cara menggarap industrialisasi berbagai sektor yang berkaitan dengan bauksit. Menurut Ahmad, kalau industri hilir dan eksosistem industri bauksit sudah terbangun, ekspor dengan sendirinya pasti berkurang. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistyanto, mengingatkan bahwa larangan ekspor nikel yang berlaku dalam waktu dekat ini dapat mengulang persoalan lama. Pada 2014, pemerintah juga memberlakukan larangan ekspor bauksit. Namun, hingga larangan itu dicabut pada 2017, hanya satu perusahaan yang memiliki fasilitas pemurnian.    

"Betapa sulitnya untuk mendapat investor waktu itu karena biaya cukup mahal. Padahal, sejak penambangan sampai menjadi bauksit saja sudah ada proses (yang membutuhkan investasi)," kata Ronald. Masalah pada masa lalu itu, menurut dia, menjadi bukti bahwa larangan ekspor dan penghiliran tidak berkorelasi langsung. Ia mengatakan penghiliran tidak akan terjadi kalau tidak disertai peta jalan serta dukungan penuh dari pemerintah, misalnya melalui insentif dan bantuan permodalan. "Kalau pengusaha diberi beban begitu berat tanpa dukungan pemerintah, rasanya nonsens."

Bukannya memberi kemajuan, Ronalda khawatir larangan ekspor ini akan mengulang situasi seperti pada 2014. Banyak perusahaan harus memberhentikan kegiatan dan pegawainya. Lalu, ketika akan beroperasi lagi, perusahaan harus kembali mengeluarkan modal besar untuk merekrut dan melatih karyawan. Juga mengembalikan kondisi peralatan hingga bisa dioperasikan lagi. "Kenapa kesalahan ini tidak jadi pembelajaran?" 

Presiden Joko Widodo bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) dan Menteri ESDM Arifin Tasrif memberikan keterangan terkait larangan ekspor Bauksit dan rencana insentif kendaraan listrik di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Desember 2022. TEMPO/Subekti

Mengejar Nilai Tambah

Larangan ekspor bauksit yang berlaku pada Juni ini dicanangkan Presiden Jokowi pada akhir tahun lalu. Ia berharap kebijakan tersebut dapat mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri. Kebijakan tersebut juga diharapkan bisa membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya serta meningkatkan devisa dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.

Melalui industrialisasi bauksit di dalam negeri tersebut, Presiden memperkirakan pendapatan negara meningkat. “Dari industrialisasi bauksit di dalam negeri ini kita perkirakan pendapatan negara meningkat dari Rp 21 triliun menjadi sekitar Rp 62 triliun,” kata Jokowi. Sebelumnya, pemerintah telah memberlakukan larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020. Melalui kebijakan tersebut, Jokowi mengklaim Indonesia berhasil meningkatkan nilai ekspor nikel hingga 19 kali lipat, yang semula hanya Rp 17 triliun pada akhir 2014 menjadi Rp 326 triliun pada 2021.

Menjelang pemberlakuan kebijakan larangan ekspor tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengakui bahwa, dari rencana 12 fasilitas pemurnian, empat smelter sudah beroperasi dan delapan smelter dalam tahap pembangunan. Kemajuan pembangunan tersebut pun tidak sesuai dengan yang telah dilaporkan. "Tujuh lokasi smelter masih berupa tanah lapang walaupun dalam laporan hasil verifikasi ditunjukkan kemajuan pembangunan 32-66 persen," kata Arifin dalam rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat, pekan lalu.

Kalau larangan ekspor ini diberlakukan, nilai ekspor yang hilang akan mencapai US$ 288,5 juta pada 2023 dan US$ 494,6 juta pada 2024. Kebijakan ini juga akan menurunkan penerimaan negara dari royalti sebesar US$ 49,6 juta serta memberikan dampak kepada 1.019 tenaga kerja. Namun Arifin menyebutkan saat ini ada empat smelter yang sudah beroperasi, meski belum secara penuh karena kekurangan suplai bahan baku. "Ini bisa dipakai untuk memaksimalkan menyerap barang yang sudah dilarang diekspor," ujarnya. 

Dengan optimalisasi empat fasilitas pemurnian itu, Arifin mengklaim adanya potensi nilai tambah bijih bauksit sebanyak US$ 1,9 miliar dan menyerap 8.646 tenaga kerja. Dengan begitu, pemerintah masih mendapatkan manfaat bersih US$ 1,5 miliar dan lapangan pekerjaan untuk 7.627 orang.

Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, sepakat langkah pelarangan ekspor bauksit harus tetap sesuai dengan rencana sembari menggenjot investasi untuk penghiliran di dalam negeri. Ia yakin akan ada investasi masuk pasca-pelarangan ini. "Kalau ada larangan tadi kan jadi tidak ada pilihan lain. Saya kira, kalau tidak dipaksa, pengusaha akan selalu minta pelonggaran. Itu akan menjadi preseden jelek." 

CAESAR AKBAR

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus