Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hasil obrolan di Jl. Tanjung, Jakarta, telah
menggegerkan. Asal mulanya reporter Sinar Harapan berusaha
mewawancarai bekas Direktur Utama Pertamina, dr. Ibnu Sutowo,
sehubungan dengan pertanyaan 7 anggota DPR mengenai
kepemimpinannya dulu, kepada Presiden Soeharto. Tapi Ibnu hari
itu sedang bermain catur dan menolak diwawancarai, seperti
disampaikan pernbantu dekatnya, Letnan Kolonel Hanafi.
Sekalipun gagal bertemu Ibnu, ternyata sang reporter memperoleh
keterangan menarik. Buktinya SH (23 Februari) muncul dengan
berita utama terutama Mengenai Jawaban Nomor Dua: Ibnu Sutowo
Juga Ingin Tahu Jawaban Pemerintah. Ibnu, kata Letkol Hanafi,
yang dikutip SH sangat berkepentingan dengan pertanyaan ke-7
anggota DPR tadi.
Tapi esok paginya Hanafi menyanggah berita utama itu lewat
Kepala Pusat Penerangan Hankam. Juga Hanafi via wawancara Suara
Karya menyatakan ia merasa tidak pernah memberikan keterangan
pers atau wawancara dengan SH.
Tentu saja SH kaget. Pimpinan koran itu rupanya bersedia
dipertemukan dengan Hanafi dan mengaku bahwa pemberitaannya
adalah berdasarkan keyakinan akan "kebenaran, iktikad baik dan
kode etik kewartawanan."
Apa sebenarnya yang terJadi? Berita bohong, ataukah sumber
berita kurang memahami kedudukan wartawan SH ketika itu? Ketika
itu mungkin terjadi percakapan pendek, setelah Hanafi
menyampaikan pesan Ibnu. Mungkin ia terpancing oleh pertanyaan
sang wartawan. Tapi karena sumber itu tidak berpesan apa-apa,
sang wartawan menganggap percakapan itu bisa disiarkan.
Kalau kemungkinan itu benar terjadi, Suardi Tasrif SH, Ketua
Dewan Kehormatan PWI menyalahkan sang wartawan. Ketika bertemu
dengan sumber berita, menurutnya, sang wartawan seyogyanya
menjelaskan percakapan itu adalah suatu wawancara yang akan
disiarkan.
Walau demikian, sumber berita yang merasa dirugikan, bisa
menggunakan hak jawabnya untuk mengemukakan kebenaran. Hak jawab
itupun seyogyanya disampaikan pada kesempatan pertama kepada
surat-kabar yang pertama kali menyiarkannya. Dalam kasus Hanafi,
pimpinan SH tampaknya merasa risi dengan "hak jawab" yang
disampaikan Hanafi kepada Hankam. Tapi Brigadir Jenderal
Goenarso S.F., Kepala Puspen Hankam menyebut hal itu sebagai
"laporan bawahan kepada atasan, bukan penggunaan hak jawab."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo