Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari Sepuluh Satu Tercecer

Lembaga Elektroteknika Nasional (LEN) belum tuntas masuk BPIS. Hambatan itu sedang digarap oleh sebuah tim gabungan dibawah Mensesneg Moerdiono. Ternyata semua aset LEN adalah milik karyawan LEN.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SEMUA sudah terambil masuk BPIS," kata Dirut PT Inka, Istantoro, dalam komentarnya yang diberikan sesudah tiga BUMN "milik" ABRI diserahterimakan awal November ini. Ketiga BUMN tersebut adalah PT Pindad, PT PAL, dan Perum Dahana. Selentingan yang menyebutkan bahwa ada BUMN lain yang berminat masuk BPIS dibantah oleh Istantoro. "Sampai saat ini, ya 10 BUMN itu. Entah kalau nanti," tambahnya. Kesepuluh BUMN itu adalah IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara), PT Krakatau Steel, Bomba Bhisma Indra, Barata Indonesia, PT Inti, Pindad, PAL, Inka, Perum Dahana, dan LEN. Selentingan lain ialah bahwa LEN (Lembaga Elektroteknika Nasional) terhambat masuk ke BPIS, tak lain karena semua aset LEN adalah milik karyawan LEN. Ini berarti, bukan 10 tapi baru sembilan BUMN yang masuk BPIS. Ketika ditanya pendapatnya tentang ini, Menristek Dr. B.J. Habibie, yang juga bertindak sebagai Ketua BPIS, menyatakan bahwa sekarang LEN sedang dipersiapkan oleh Mensesneg Moerdiono untuk serah terima. "Saya serahkan itu dulu kepada Menteri Sekretaris Negara, supaya menyelesaikan," ujarnya. Kenyataan bahwa aset LEN dimiliki oleh karyawannya tidak diketahui oleh pihak-pihak terkait. Ini memang bisa saja terjadi kendati Menristek mengingatkan bahwa sarana yang dimanfaatkan LEN adalah milik LIPI yang berarti milik negara juga. Terlepas dari soal aset, LEN sendiri sudah membentuk tim integrasi LEN-BPIS, bukti nyata bahwa lembaga ini pada prinsipnya tidak menolak bergabung dengan BPIS. "Persoalannya, integrasi ini bagi kami lebih ruwet," tutur Ir. Lily Rustandi, salah seorang anggota tim integrasi. "Secara lembaga, kami ini bukan badan usaha." Ir. Murtioso Salimoen, yang juga anggota tim integrasi, menambahkan bahwa masalah semakin ruwet karena tak jelas, apakah yang masuk BPIS itu LEN seluruhnya atau hanya unit rekayasa dan produksi. "Jika dipisahkan, memang mekanisme kerjanya juga tidak sederhana, karena hubungan antara litbang dan unit produksi begitu dekat. Kalau LEN secara keseluruhan dimasukkan ke BPIS, juga tak terlalu sederhana, karena menyangkut masalah personalia, biaya, dan lain-lain," kata Murtioso lebih rinci. LEN memang bukan sekadar instansi penelitian dan pengembangan di bawah LIPI, seperti ketika didirikan tahun 1965 dulu. Semula hanya menempati ruang seluas 30 m2 di ITB, LEN kini sudah memiliki gedung sendiri. Kegiatannya mencakup litbang, rekayasa (engineering), dan produksi. Berbekal Keppres 17/80, Keppres 59/83, dan Keppres 1/86, LEN melakukan kerja sama penelitian dan pengembangan dengan Deppen (TVRI/RRI), Departemen Hankam, Perindustrian, dan Parpostel. Sampai saat ini LEN sudah menghasilkan beberapa produk canggih seperti broadcast system untuk TVRI, stasiun bumi kecil (SBK), dan perangkat listrik arus kuat. Tapi semua kegiatan itu terkategori usaha nonprofit, sesuai dengan status LEN sebagai lembaga penelitian -- bukan PT, misalnya. Maka, Murtioso mencetuskan satu gagasan. Sebenarnya, cukup dengan memberi peluang, agar ada badan usaha murni seperti PT di bawah LEN, maka kami akan lebih lincah. Selama ini negosiasi proyek, terutama kerja sama dengan luar negeri, agak susah karena status kami yang bukan badan usaha," ujarnya. Lalu, BPIS? "Ya, sekalian semuanya saja masuk BPIS, jangan hanya unit rekayasa dan produksi saja," jawab Murtioso lagi. Alasannya: unit rekayasa dan produksi sebenarnya hanya meliputi 1/3 dari potensi LEN untuk produksi. Brain dan hard ware-nya yang 2/3, dan itu ada di litbang. Sementara kasus LEN belum tuntas, BPIS sudah diperkuat oleh beberapa tenaga manajemen andal yang dilantik awal bulan ini -- termasuk Martiono Hadianto, bekas Direktur Pengawasan BUMN yang kini menjabat sebagai Deputi Ekonomi & Keuangan BPIS. Dalam kesempatan itu, Habibie antara lain menjelaskan bahwa 10 BUMN yang dimasukkan ke BPIS memang ditentukan sendiri oleh Presiden Soeharto. Menurut Habibie, rumusan industri strategis juga datang dari Presiden. "Industri strategis adalah suatu industri yang oleh Presiden dianggap strategis untuk pembangunan bangsa, tapi bukan strategis militer," kata Menristek. Tugas utama BPIS adalah mengkoordinasikan ke-10 BUMN itu agar terpadu, hingga dapat mengembangkan dan melaksanakan empat tahap industrialisasi. Laporan Tommy Tamtomo, Sigit Haryoto, dan Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus