Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Demi Memangkas Antrean di Jalan Tol

Teknologi transaksi jalan tol nirsentuh atau multi-lane free flow (MLFF) diperlukan untuk meningkatkan efisiensi.  

20 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penggunaan MLFF dibutuhkan untuk mengurangi kemacetan di pintu tol.

  • Sistem MLFF memiliki beberapa kelemahan yang harus diperbaiki.

  • MLFF juga dapat digunakan untuk berbagai keperluan selain transaksi tol.

JAKARTA – Pemakaian sistem transaksi jalan tol nirsentuh atau multi-lane free flow (MLFF) tetap ditunggu-tunggu meski batal diterapkan perdana pada awal Juni lalu. Vice President of Standardization and Monitoring Evaluation Intelligent Transport System (ITS) Indonesia, Resdiansyah, meminta agar uji lapangan dan pembuktian keandalan teknologi yang didukung sensor satelit itu bisa segera dirampungkan.

“Asalkan pengujiannya bisa sesuai dengan target. Prospeknya masih bagus untuk mengurangi kemacetan di pintu tol,” tutur Resdiansyah kepada Tempo, kemarin.

Rancangan implementasi MLFF yang diprakarsai Roatex Zrt Ltd, entitas teknologi asal Hungaria, itu masih jalan di tempat. Teknologi jalan tol senilai US$ 309 juta atau sekitar Rp 4,63 triliun yang digarap Roatex bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini akan dipakai perdana di ruas jalan tol Bali Mandara pada 1 Juni lalu. 

Namun rencana itu batal karena ketidaksesuaian antara hasil uji coba sejumlah perangkat penunjang MLFF dan target keandalan alias key performance indicator (KPI) yang disepakati Indonesia dan Hungaria. Kondisi itu diperparah oleh perbedaan pendapat dalam tubuh PT Roatex Indonesia Toll System (RITS), entitas yang nantinya menjadi operator MLFF.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengguna mencoba alat simulator pembayaran jalan tol dengan sistem multi-lane free flow (MLFF). Dok. PUPR BPJT

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Resdiansyah, pengembangan MLFF tidak akan mangkrak jika pengujian lapangannya diteruskan. Kementerian Pekerjaan Umum pun didorong menengahi masalah internal Roatex dan memprioritaskan penyelesaian KPI proyek tersebut. Apalagi Indonesia dan Hungaria masih terikat komitmen bilateral ihwal pengembangan MLFF sejak 2016. “Yang penting diuji oleh badan yang kredibel di bidang intelligent transportation system.”

Meski penggunaan MLFF harus dipercepat, Resdiansyah sebelumnya menyatakan fase awal adaptasi sistem ini masih penuh celah. Sistem pembayaran jarak jauh yang terhubung ke aplikasi bersaldo di gawai pintar ini bisa bermasalah bila tidak dimatangkan. Salah satu kelemahannya adalah ketepatan sinyal navigasi satelit yang berimbas pada kebocoran dana transaksi operator jalan tol. Untuk kebutuhan transaksi, sensor di gawai itu harus terbaca oleh Global Navigation Satellite System (GNSS) sebagai sistem satelit penunjang MLFF.

“Bisa saja posisi ponsel tidak tepat untuk menangkap sinyal, atau aplikasinya error,” ujar Resdiansyah. “Ada juga perkara kuota Internet atau baterai ponsel yang harus diantisipasi.”

Bisa Dikembangkan untuk Berbagai Keperluan

Pengendara memasuki gerbang tol Cililitan di Jakarta. TEMPO/Febri Angga Palguna

Koordinator Indonesia Toll Road Watch (ITRW), Deddy Herlambang, menyebutkan MLFF bisa dikembangkan untuk berbagai keperluan selain transaksi gardu tol. Sistem ini dianggap cocok untuk skema jalan khusus berbayar atau electronic road pricing (ERP), konsolidasi data lalu lintas jalan, denda tilang, serta antisipasi angkutan overdimension and overload (ODOL).

“Bisa juga melacak kendaraan yang hilang bila penggunanya memasang on-board unit,” kata Deddy, kemarin. Sejauh ini, ucap dia, penundaan MLFF belum merugikan kas negara karena investasinya ditanggung pemerintah Hungaria. 

Dalam suatu sesi rapat kerja di Komisi Transportasi DPR pada September 2022, Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, Hedy Rahadian, mengklaim bahwa MLFF bisa memangkas kerugian usaha jalan tol senilai Rp 4,4 triliun per tahun. Angka itu merupakan kerugian yang timbul akibat antrean di pintu tol yang masih mengandalkan skema tapping atau menempelkan kartu tol. “Jadi, akan ada potential gain dari pengguna jalan tol,” kata dia. 

Teknologi itu pun membuat pola pembayaran konsumen lebih adil karena sistemnya mendeteksi secara persis jarak tempuh mobil yang masuk dan keluar pintu tol. Pembayarannya bisa didasari jarak dikalikan tarif per kilometer. Saat kembali ditanyai ihwal kelanjutan MLFF, kemarin, Hedy meminta Tempo mencari informasi ke Badan Pengatur Jalan Tol.

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim, pun mendesak penyelesaian perkara uji coba MLFF. Menurut dia, manajemen RITS harus kembali diisi oleh perwakilan Indonesia agar dapat dipercaya operator tol domestik. “Sistem ini kita butuhkan untuk efisiensi usaha jalan tol. Tapi tetap harus ada proses peralihan teknologi dari asing kepada Indonesia.”

YOHANES PASKALIS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus