Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Demo Hari Tani di Patung Kuda, Buruh Soroti Leletnya Pemerintah Atasi Konflik Lahan

Dalam aksi demo, buruh menyuarakan sepuluh catatan dan tuntutan atas kegagalan pemerintah dalam melaksanakan reforma agraria.

24 September 2022 | 11.48 WIB

Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia menggelar aksi demonstrasi di area Patung Kuda, Jalan Medan Medeka Barat, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 24 September 2022. TEMPO/Khory Alfarizi
Perbesar
Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia menggelar aksi demonstrasi di area Patung Kuda, Jalan Medan Medeka Barat, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 24 September 2022. TEMPO/Khory Alfarizi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia (SPI) menggelar demo di Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Sabtu, 24 September 2022. Demo itu bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional.

"Bertepatan dengan momentum Hari Tani, kami menyampaikan, setidaknya terdapat sepuluh hal yang menjadi catatan kritis Partai Buruh terhadap pelaksanaan reforma agraria di Indonesia," ujar Presiden Partai Buruh Said Iqbal lewat keterangan tertulis pada Sabtu, 24 September 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dalam aksi demo, buruh menyuarakan sepuluh catatan dan tuntutan atas kegagalan pemerintah dalam melaksanakan reforma agraria. Pertama, buruh menyoroti ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Laporan Penelitian Badan Pertanahan Nasional 2019 menunjukkan luas tanah pertanian yang dimiliki petani berdasarkan hasil Sensus Pertanian menunjukkan distribusi yang tidak merata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mendominasi, yakni sebanyak 16,25 juta rumah tangga atau hampir 60 persen, menurut hasil survei pertanian antar sensus (Sutas BPS 2018). Selama empat dekade, rasio kepemilikan tanah berfluktuasi pada rentang nilai 0,50 - 0,72 ketare.

Nilai tersebut, menurut kelompok buruh, berada dalam kelas ketimpangan sedang (0,4 ≤ G ≤ 0,5) dan tinggi (G>0,5). Berdasarkan data BPS, ketimpangan kepemilikan tanah pada 2013 mencapai 0,68, yang berarti 68 persen sumber daya tanah yang ada dikuasai oleh hanya 1 persen kelompok penduduk Indonesia. "Ketimpangan ini yang menyebabkan konflik agraria masih terjaga dan sangat banyak yang belum kunjung selesai," kata Said Iqbal.

Catatan kedua, buruh menyoroti kemiskinan yang masih didominasi di wilayah perdesaan. Per Maret 2022, BPS menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia menembus 26,16 juta jiwa atau sekitar 9,54 persen dari total penduduk.

"Jumlah penduduk miskin paling banyak tersebar di pedesaan, yakni 14,34 juta orang; sementara di wilayah perkotaan jumlah penduduk miskin mencapai 11,82 juta orang," kata Said Iqbal.

Ketiga, penyelesaian konflik agraria dinilai masih lambat. Menurut Said Iqbal, Presiden Jokowi sudah meminta Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria (PPKA-PKRA) 2021 menyelesaikan 50 persen kasus. Namun target itu tidak tercapai. Akibatnya, angka konflik agraria di Indonesia masih tinggi.

SPI mencatat sekurang-kurangnya terjadi 104 kasus konflik agraria selama 2021. Dari data tersebut, konflik agraria masih didominasi oleh sektor perkebunan (46 kasus), diikuti oleh pertambangan (20 kasus), kehutanan (8 kasus), pesisir (4 kasus), dan proyek strategis nasional (4 kasus).

Catatan keempat, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) itu melanjutkan, progres redistribusi tanah bagi petani lambat, meski pemerintah menyebut ada kemajuan dalam hal target redistribusi. Sistem Informasi Geografis Tanah Objek Reforma Agraria (SIG-TORA) per 10 September 2022 menunjukan capaian legalisasi lebih besar daripada redistribusi.

Redistribusi tanah yang berasal dari tanah Ex-HGU, tanah telantar, dan tanah negara lainnya sudah terealisasi seluas 1,16 juta hektare. Sementara itu untuk pelepasan kawasan hutan, baru tercapai seluas 0,32 juta hektare atau 7,83 persen. Walhasil, total redistribusi baru mencapai 1,48 juta hektare atau 37 persen dari target 4,5 juta hektare. Capaian tersebut berbanding terbalik dengan realisasi legalisasi aset yang sudah menyentuh angka 4,14 juta hektare atau dari terget 4,5 juta hektare.

"Oleh karena itu, sesungguhnya capaian redistribusi tersebut belum dirasakan oleh para organisasi petani dan gerakan tani di Indonesia," ucap Said Iqbal. "Reforma Agraria cenderung difokuskan hanya pada sertifikasi dan legalisasi, bukan upaya merombak ketimpangan penguasaan tanah dan menyelesaikan konflik agraria."

Kelima, buruh menyoroti lahirnya UU Cipta Kerja yang berseberangan dengan spirit UUPA 1960 dan Reforma Agraria Sejati. Substansi UU Cipta Kerja yang mengakomodasi kepentingan modal dan investasi menjadi legitimasi untuk merampas tanah milik petani, masyarakat adat, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.



Tercatat ada 12 gugatan uji formil maupun materil yang dilakukan oleh berbagai organisasi gerakan rakyat, seperti dari buruh, masyarakat adat, gerakan lingkungan dan pekerja migran terhadap UU Cipta Kerja itu. Setelah melalui berbagai tahapan persidangan dalam waktu satu tahun, pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat.

"Ini merupakan putusan uji formil pertama yang disahkan oleh mahkamah; Amar putusan MK juga menyatakan bahwa tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja," kata Said Iqbal.

Keenam, buruh menganggap pemerintah tidak melaksanakan amanat Undang-undang Pangan. Alih-alih melaksanakan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan itu, kata dia, pemerintah justru menghadirkan UU Cipta Kerja yang menghapus atau mengubah beberapa pasal penting dalam beleid lama. 

Said mencontohkan dihapuskannya klausul "impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan", yang diganti menjadi impor pangan saja. Ini menyebabkan sumber penyediaan pangan dapat berasal dari impor pangan. "Peraturan ini tentu saja merugikan petani karena keran impor pangan dibuka selebar-lebarnya dalam UU Cipta Kerja. Meskipun UU Cipta Kerja telah diputuskan Inkonstitusional Bersyarat oleh MK, pemerintah masih saja memaksakan pelaksanaan UU Cipta Kerja," tutur Said.

Ketujuh, buruh menyoroti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) yang tidak dijalankan. Pemerintah belum menjalankan putusan MK Nomor 87/PUU-XI/2013 terhadap Uji Materi UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan). Putusan ini sejatinya sudah ada sejak 2014 lalu, tapi belum kunjung direalisasikan.

Dampak dari sikap pemerintah itu, Said berujar, adalah terjadinya diskriminasi terhadap kelembagaan petani dalam menikmati akses dan kesempatan yang setara terhadap bantuan dan program dari pemerintah. Salah satunya kebijakan pupuk subsidi yang mengharuskan petani harus terdaftar sebagai anggota Poktan dan Gapoktan. 

Catatan kedelapan, buruh mengktirik subsidi dan bantuan untuk petani yang belum ada perbaikan, seperti pupuk. Said Iqbal menilai amburadulnya pendistribusian pupuk subsidi mengakibatkan kelangkaan. Karena masalah itu, banyak petani tidak mendapatkan pupuk subsidi. Pada saat bersamaan, petani menghadapi masalah kenaikan harga pupuk non-subsidi yang pesat. 

Tak hanya buruh, Ombudsman pun sudah membuat laporan soal tata kelola pupuk bersubsidi di Indonesia yang dinilai tidak efektif. "Belum lagi penyaluran teknologi pertanian yang tidak merata, cenderung tidak tepat guna dan tidak sesuai dengan kebudayaan lokal menyebabkan pertanian berbiaya tinggi, kerusakan alam dalam jangka panjang dan jauh dari prinsip pertanian agroekologis," tutur Said.

Kesembilan, buruh mengkritik jaminan harga yang layak bagi petani. Beberapa bahan pangan mengalami gejolak harga sepanjang 2022, salah satunya minyak makan sawit--termasuk TBS sawit. Menurut dia, petani kerap mendapatkan harga yang tidak layak, kendati harga bahan pangan di tingkat konsumen mengalami kenaikan, seperti bawang merah, telur ayam, daging, dan lain-lain.

Terakhir atau kesepuluh, buruh melihat bahwa kesejahteraan petani belum terwujud. Salah satu ukurannya adalah Nilai Tukar Petani (NTP) yang fluktuatif selama 2022. Jika dilihat dari NTP, sejauh ini sektor pertanian masih ditopang oleh subsektor perkebunan rakyat (yang tata kelolanya juga masih tergantung pada korporasi). Sementara itu subsektor lainnya pun belum sepenuhnya sejahtera dan dari ukuran NTP, kerap kali di bawah standar impas (di bawah 100).

Pada Agustus 2022, nilai NTP berada di 106,31. Penurunan NTP disinyalir terjadi akibat penurunan di subsektor NTP perkebunan, yang selama ini menjadi penopang utama NTP Nasional. Reforma Agraria yang tidak kunjung dijalankan secara total dan cepat, kata Said, tidak hanya merugikan petani.

Kelas pekerja lainnya seperti buruh, nelayan, masyarakat adat, masyarakat perdesaan dan pekerja informal ikut menanggung dampaknya. "Ketimpangan penguasaan, kepemilikan, dan pamanfaatan tanah di perdesaan akan terus melanjutkan migrasi penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota. Sementara keterbatasan lapangan pekerjaan menciptakan kompetisi yang tidak sehat diantara kelas pekerja," kata dia.

Berpijak pada catatan-catatan tersebut, buruh pun menuntut agar pemerintah melaksanakan reforma agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang menyertainya. Buruh juga menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). "Serta menolak pemberlakuan omnibus law UU Cipta Kerja," ujar Said.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

M. Khory Alfarizi

Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bergabung di Tempo pada 2018 setelah mengikuti Kursus Jurnalis Intensif di Tempo Institute. Meliput berbagai isu, mulai dari teknologi, sains, olahraga, politik hingga ekonomi. Kini fokus pada isu hukum dan kriminalitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus