BANYAK perubahan sudah terjadi di Industri Pesawat Terbang Nusantara ketika, pekan lalu, Presiden Soeharto untuk kedua kalinya membubuhkan tanda tangannya di sebuah prasasti. Sepuluh tahun lalu, tak lama sesudah Kepala Negara membubuhkan tanda tangan pertamanya, IPTN yang mulai bergerak dengan modal awal baru Rp 18,3 milyar, kerjanya hanya merakit pesawat Casa 212 Aviocar dari Spanyol. Fasilitas kerjanya merupakan kekayaan warisan Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur). Kini, badan usaha milik negara itu, yang sudah memiliki empat kompleks produksi (satu di antaranya kompleks pembuat roket di Tasikmalaya) dan 13 ribu pegawai, kerjanya bukan hanya merakit. Dari situ, tiga tahun lalu, CN 235, pesawat pertama yang sejak perencanaan hingga pembuatannya ditangani IPTN bersama perusahaan Casa dari Spanyol, dimunculkan pertama kalinya di depan masyarakat. Pesawat inilah, yang di masa dua sampai empat tahun mendatang, diharapkan akan memberikan penghasilan utama bagi industri itu. Prof. B.J. Habibie, Direktur Utama IPTN, optimistis CN 235 bisa terjual sekitar 200 sampai 250 pesawat -- menyusul pembelian 10 buah oleh MNA dan enam buah oleh ABRI. Dengan jumlah penjualan sebesar itu, biaya untuk pengembangannya yang memakan sekitar Rp 52 milyar diharapkan akan bisa ditutup cepat. Lancarnya program pengembangan CN 235 dan mulusnya produksi 103 heli BO 105, 88 NC 212 Aviocar, 13 Super Puma, satu heli Bell 412, dan dua heli BK 117, jelas, banyak ditentukan oleh dukungan dana pemerintah. Produksi mengesankan dengan investasi besar itu, agaknya tidak akan terwujud kalau, setiap tahun, pemerintah tidak memberikan dukungan berupa penyertaan modal (equity). Sampai tutup tahun buku 1985 lalu, jumlah modal pemerintah yang dibenamkan di situ sudah mencapai Rp 372 milyar. Sebagian besar dari dana itu digunakan untuk membiayai pembangunan gedung, prasarana, alat angkut, peralatan kantor, ongkos pendidikan, dan membayar program bantuan teknik. Dengan modal sebesar itu, hasil laba yang diperoleh badan usaha milik negara ini memang masih kecil. Perbandingan antara laba dan modal (return on equity) IPTN di tahun 1985, misalnya, hanya 0,06%. Pada 1984 lalu, masih 2,7%. IPTN yang memperoleh banyak dana investasi tanpa bunga, agaknya, punya kedudukan istimewa. "Peran IPTN bukan hanya sebagai perusahaan yang harus membuat laba," kata Habibie. "Saya banyak mengeluarkan biaya untuk sektor pendidikan dalam upaya mencetak tenaga-tenaga terampil. Kami beda dengan Boeing, misalnya, yang tak pernah ikut membiayai Stanford University. Mereka tak perlu mencetak tenaga ahli kedirgantaraan, karena semuanya sudah tersedia di pasar." Ada benarnya pendapat itu. Tapi di saat kesulitan ekonomi sekarang, industri teknologi canggih ini juga membutuhkan alat-alat produksi mahal. Sampai akhir tahun lalu, nilai mesin produksi yang kebanyakan diperoleh dengan kredit ekspor itu sudah mencapai hampir Rp 79 milyar. Industri ini juga dianggap masih amat lama untuk bisa memberikan kontribusi perekonomian secara nasional, karena tidak banyak industri pendukung lokal ditarik dengan kehadirannya. Perlengkapan avionics dan mesin, misalnya, masih dipasok dari Inggris dan Amerika. Juga alat pendarat (landing gear) dari Spanyol. Bahan baku untuk pembuatan tubuh dan struktur CN 212 dan CN 235 berupa aluminium alloy dipasok dari Pechiney, Prancis. Untuk kursi, selama 10 tahun IPTN berdiri, sumbangan industri lokal belum ada. Ekonom Dr. Pande Radja Silalahi dari Pusat Pengkajian Masalah-Masalah Strategis dan Internasional (CSIS) beranggapan, dalam jangka pendek, IPTN tak banyak mempengaruhi akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Pertama, karena IPTN belum mampu menjual banyak pesawat ke luar negeri, sementara teknologi di sektor itu belum dikuasai penuh. Kedua, investasi di IPTN bersifat padat modal, padahal untuk mencapai laju ekonomi yang tinggi yang diperlukan adalah padat karya. Menurut Pande, semua orang setuju dengan pendapat mengenai perlunya Indonesia menguasai teknologi kedirgantaraan. "Tapi yang kita hadapi sekarang adalah langkah-langkah praktis untuk sekarang sampai dua atau tiga tahun mendatang," kata Pande, yang juga Dekan FE Universitas Parahyangan, Bandung. Ini memang perdebatan panjang antara dua pandangan tentang apa yang diperlukan Indonesia, sejauh mana investasi ke masa depan perlu disangga, dan sejauh mana perhitungan ekonomis dan finansial bisa dipergunakan. Bagi Habibie jawabnya sudah jelas. IPTN kini tengah merencanakan membangun pusat bahan komposit, sesudah selesai dengan proyek UMC (Universal Maintenance Center) untuk pengetesan dan perawatan mesin. Menurut Direktur Produksi Ir. Sutadi Suparlan, pemakaian bahan komposit, seperti untuk vertical fin, center wing, ruder, atau outer wing, akan memperingan dan menekan biaya produksi pembuatan pesawat. "Arahnya memang kami akan menggunakan bahan komposit sebanyak mungkin," katanya. Di lokasi pabrik memang sudah tampak kesibukan para pekerja membenahi tanah dengan alat-alat berat. Banyak rupiah dan devisa dibutuhkan untuk membiayai ekspansi itu. Tapi IPTN di bawah Dirut Habibie tetap ingin terbang jauh ke angkasa. Lihat saja, bukan hanya pesawat rancangan sendiri yang kini dibuatnya, tapi juga pesawat pesanan dari pabrik lain. Helikopter BK 117, yang dikembangkan Kawasaki (Jepang) dan MBB (Jerman Barat), misalnya, produksinya akan dilakukan di sini -- karena biaya produksi di Jepang dianggap mahal gara-gara yen dan deutsche mark naik nilainya melawan dolar. "Merekalah yang mengetuk pintu Habibie," kata pimpinan tertinggi IPTN itu. Dan dari sini tampaknya IPTN akan dapat peluang yang baik, dan Habibie kelak terbukti sukses besar. Insya Allah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini