Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa banyak gembar-gembor, Santosa Agrindo menyeberang jauh ke Australia untuk mengakuisisi peternakan seluas 555 ribu hektare atau delapan kali luas Jakarta. Perusahaan peternakan yang lebih dikenal dengan nama Santori ini membeli dua dari tiga stasiun peternakan milik John dan Terry Underwood, di Australia utara. Dua stasiun ini, yakni Riveren dan Inverway, mampu menampung 45 ribu ekor sapi jenis Brahman.
Anak usaha PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk ini membeli 100 persen saham di dua stasiun tadi. "Peternakan ini mampu memasok 12 ribu ekor sapi bakalan ke Indonesia," kata Head of Government Relation Santori, Dayan Antoni, Kamis pekan lalu. Dia bercerita, akuisisi berlangsung mulus karena keluarga Underwood sudah lama menjadi pemasok sapi bakalan ke kandang Santori. "Peluang mengakuisisi terbuka ketika krisis keuangan melanda mayoritas peternak di Australia utara."
Menurut Dayan, krisis keuangan itu mematahkan persepsi bahwa Australia menyetir Indonesia dalam hal daging sapi. Pengusaha ternak di Northern Territory juga menggantungkan nasibnya pada pasar Indonesia. Pasalnya, 80 persen sapi di negara bagian Australia paling utara itu diekspor ke Indonesia. Ongkos kirim sapi ke Indonesia paling murah, bahkan ketimbang pengiriman ke Australia selatan.
Indonesia menjadi pasar terbesar peternak di Australia utara, yang topografi dan iklimnya mirip Indonesia timur. Adapun peternak di bagian selatan yang beriklim dingin mengekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan sebagian Eropa. Mendung bagi peternak Australia utara datang pada 2011. Awal tahun itu Indonesia memberlakukan kuota impor daging dan sapi hidup. Pengetatan regulasi berimbas pada seretnya ekspor sapi bakalan di Australia utara.
Belum ketemu jalan keluar, masalah bertambah. Kali ini datang dari pemerintah Australia sendiri. Menteri Pertanian Australia kala itu, Joe Ludwig, mendadak menyetop ekspor sapi pada Mei 2011. Kebijakan itu terbit setelah media Australia, TV ABC, mengunggah video penyiksaan sapi Australia di rumah pemotongan hewan di Indonesia.
Dua kebijakan itu merontokkan penjualan sapi di Northern Territory, Western Australia bagian utara, dan Queensland bagian utara. Sejurus kemudian peternak kelimpungan menanggung ongkos operasional ratusan ribu sapi. Konsul Indonesia di Darwin, Ade Padmo Sarwono, mengatakan, untuk menambal biaya produksi, para peternak terpaksa meminjam dana perbankan.
Tapi, apa lacur, kucuran kredit tak memulihkan bisnis mereka. Ketidakpastian pasar Indonesia membuat harga merosot. "Kekeringan juga menambah persoalan," katanya. Akibat terlilit utang, peternak mulai mendapat tekanan bank. Dalam setahun terakhir, mayoritas peternak membuka penawaran sewa dan jual untuk lahan dan properti ternaknya, termasuk Underwood. Kedua model itu ditimbang untung-ruginya oleh Santori.
Santori membidik empat peternakan lain di Northern dan Western Australia. Namun pertimbangan vegetasi, lokasi, jumlah, dan kualitas ternak membawa Santori kepada Underwood. Dayan mengatakan perusahaannya memilih mengambil alih peternakan ketimbang sewa karena parahnya krisis utang. Kondisi yang semakin mengimpit Underwood dan jaminan rantai suplai memudahkan negosiasi. "Tidak ada lobi khusus."
Dayan enggan menyebutkan nilai transaksi ini. Namun media The Australian mengungkapkan keluarga Underwood pernah mengumumkan banderol senilai Aus$ 19 juta (sekitar Rp 204 miliar) untuk Stasiun Riveren dan Aus$ 15 juta (sekitar Rp 161 miliar) untuk Stasiun Inverway pada Juli 2013. Pembelian melalui Japfa Santori Australia Pty Ltd dibiayai dengan duit perusahaan plus pinjaman dari bank di Australia.
Santori menjadi perusahaan ketiga Indonesia yang memiliki peternakan di Australia. Menurut Dayan, Grup Bakrie pernah memiliki peternakan, tapi berhenti beroperasi. Adapun pengusaha asal Surabaya, Nissin Sunito, menguasai saham di peternakan milik Group Oceanic.
Dayan mengatakan pembelian itu juga sebagai antisipasi regulasi Indonesia yang berubah-ubah. Dayan meyakini impor sapi bakalan akan membesar. Sejak dua tahun lalu, impor sapi bakalan menurun akibat pemerintah lebih memilih impor sapi siap potong, sebagai langkah instan yang diyakini dapat menurunkan harga daging sapi.
Untuk menghadapi kebijakan itu, Santori harus memastikan ketersediaan pasokan. "Jangan sampai pasar terbuka, pasokan tidak ada," katanya. Dayan meyakini Indonesia menjadi pasar yang gurih karena konsumsi daging 2,3 kilogram per kapita terus meningkat. "Permintaan akan terus tumbuh."
Agar sapi bakalannya berkualitas, Santori merekrut Michael Underwood, salah satu anggota keluarga Underwood, sebagai manajer dengan tugas mengurus teknis operasional. Dayan menampik kabar bahwa jabatan Michael itu sebagai bagian dari perjanjian jual-beli. "Dia paling memahami detail operasional sehingga tidak timbul masalah saat transisi kepemilikan."
Menurut Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, pembelian ini menguntungkan Indonesia. Alasannya, stok yang dimiliki Santori berpeluang dihitung sebagai stok nasional. "Pembelian lahan peternakan di Australia bagian dari ketahanan pangan. Tidak tertutup kemungkinan dibuatkan kebijakan khusus," ujarnya.
Dayan tidak meminta ada kebijakan khusus saat mengirim sapi mereka ke Indonesia. Ia hanya memastikan sapi itu untuk keperluan bisnis Santori di Indonesia. "Tidak ada niat kami mengekspor ke luar Indonesia," ucapnya.
Ade menambahkan, peternakan di Australia jauh lebih efisien ketimbang di Indonesia. Australia memiliki infrastruktur yang sangat bagus, dari jalan raya, pelabuhan, hingga alat angkutan truk dan kapal. "Soal infrastruktur ini juga yang membuat kami memilih Australia ketimbang Nusa Tenggara Barat (NTB) atau NTT," katanya.
Ekspansi Santori diikuti tiga perusahaan negara, yaitu PT Rajawali Nusantara Indonesia, PT Pupuk Indonesia, dan PT Berdikari. Ketiga perusahaan itu sudah memasuki tahap negosiasi harga dengan beberapa pengusaha peternakan di Australia. Dalam forum bisnis di Melbourne pada pertengahan November lalu, niat untuk mengakuisisi lahan sebetulnya sudah dibuhulkan.
Apa daya, tiba-tiba hubungan kedua negara memanas. Duta Besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema, mengatakan kerja sama bisnis ini menghadapi tantangan setelah mencuatnya ketegangan diplomatik Indonesia-Australia pada November lalu.
"Tapi kami berharap hubungan bisnis tetap berjalan sesuai dengan kesepakatan," kata Nadjib.
Akbar Tri Kurniawan, Retno Sulistyowati
Kebutuhan Daging 2014
Rajawali Tertahan ke Queensland
BARNABY Joyce, Menteri Pertanian Australia, semestinya berada di Jakarta pekan ini. Sederet pertemuan penting telah diagendakan. Salah satunya membahas rencana akuisisi lahan peternakan sapi di Negara Bagian Queensland oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
Tapi rencana kunjungan itu ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan. "Ini adalah masalah perusahaan itu sendiri (RNI) untuk memutuskan pilihan investasi mereka," kata Joyce seperti dilaporkan media Australia, Sydney Morning Herald, 25 November lalu.
Proses akuisisi itu mandek setelah Direktur Utama RNI Ismed Hasan Putro membekukan sementara negosiasi bisnisnya dengan pemerintah dan perusahaan swasta Australia. Sikap ini diambil seusai memanasnya hubungan diplomatik kedua negara akibat penyadapan Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah pejabat pemerintah.
Menurut Ismed, kondisi bisnis kedua negara sedang tidak kondusif. "Kalau saya lanjutkan, tidak elok. Secara psikologis mengganjal," ujarnya kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Ia beralasan dalam berbisnis harus ada kepercayaan dan kesetaraan.
Perusahaan negara sektor perkebunan ini berencana mengakuisisi lahan peternakan di Australia. Perundingan awal dilakukan dalam forum bisnis Australia-Indonesia di Melbourne. Delegasi Indonesia dipimpin Wakil Presiden Boediono dalam rangkaian kunjungan ke Negeri Kanguru, 10-16 November 2013.
Ismed mengatakan, pada pertemuan awal, Australia menawarkan 5-50 ribu hektare lahan peternakan di Queensland. Pembicaraan bisnis berlanjut antarperusahaan. Dalam dua-tiga kali pertemuan, RNI telah mengantongi nama lima perusahaan yang akan dipinang. "Nanti dikerucutkan menjadi satu untuk segera diakuisisi sesuai dengan kebutuhan," kata Ismed.
Rajawali membutuhkan 9.000 ekor sapi per bulan, terdiri atas 1.500 sapi induk betina produktif, 3.000 ekor sapi bakalan, dan 4.500 sapi potong. Rencananya sapi indukan akan didistribusikan ke PT Perkebunan Nusantara-perusahaan negara yang mengelola ribuan hektare kebun sawit, tebu, kakao, dan teh.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara menargetkan Perkebunan Nusantara nantinya beternak 100 ribu ekor sapi di seluruh kebun sawit dan tebu pada 2013-2014. Menteri BUMN Dahlan Iskan memang mendorong BUMN berekspansi ke sektor peternakan. Ia bermimpi membuka lahan ternak seluas 1 juta hektare. Ide ini muncul karena kasus kekurangan daging di dalam negeri.
Semula tiga BUMN menjadi kandidat pelaksana proyek ini, yaitu Perum Bulog, PT Berdikari (Persero), dan PT Pupuk Indonesia (Persero) melalui anak usahanya, PT Mega Eltra. Mereka diminta mengajukan proposal serta rencana pengelolaan dan pengembangan lahan peternakan. Mereka sempat menyusun studi kelayakan bersama. Sedangkan RNI hanya diizinkan mengambil alih lahan dengan skala lebih kecil.
Kemudian Dahlan memutuskan menunjuk Pupuk Indonesia saja. "Bulog dan Berdikari tidak usah karena kemampuan terbatas," ucapnya. Pupuk Indonesia dipilih karena memiliki skema pembelian lahan paling jelas. Perusahaan induk pupuk ini menggandeng Bank Commonwealth Australia untuk memperlancar rencana ekspansi.
Sejak itu, penjajakan dilakukan. Pupuk Indonesia berencana mengakuisisi 1-2 juta hektare lahan peternakan senilai Rp 200-300 miliar. "Interaksi dengan pengusaha Australia telah beberapa kali dijalin," ujar Direktur Utama Pupuk Indonesia Arifin Tasrif. Kas internal perseroan telah disiapkan untuk mendampingi pinjaman perbankan. Tapi, kata Arifin, perusahaannya menghentikan sementara rencana ini.
Retno Sulistyowati, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo