Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pandemi Covid-19 menyebabkan sejumlah startup gulung tikar.
Daya beli masyarakat kelas menengah ke atas belum sepenuhnya anjlok akibat pandemi.
Bisnis startup bisa runtuh jika tak berhati-hati menerapkan teknologi baru.
JAKARTA – Start-up digital tak luput dari hantaman pandemi Covid-19. Sejumlah perusahaan pun gulung tikar lantaran tak kuat menghadapi berbagai tekanan, dari menurunnya penjualan akibat kelesuan daya beli konsumen hingga sepinya modal yang masuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan catatan Tempo, pada Juli 2020, platform e-commerce bidang fashion, Sorabel, tutup usaha dan memberhentikan seluruh pekerjanya. Start-up yang awalnya bernama Sale Stock dan pernah mencatatkan pertumbuhan pendapatan 2,5 kali lipat itu pun ditinggal calon pemodalnya. “Covid-19 memukul kami dalam hal penjualan, cadangan kas perusahaan habis,” kata Co-founder dan eks Chief Executive Officer Sorabel, Jeffrey Yuwono, kepada Tempo, saat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Start-up lain yang juga tutup usia adalah penyedia akomodasi, Airy Rooms; serta penyedia video on demand, HOOQ. Penyedia aplikasi pesan antar makanan asal Singapura, Eatsy, pun menutup cabang di Indonesia karena kalah berkompetisi.
Direktur Eksekutif Information and Communication Technology Institute (ICT), Heru Sutadi, mengatakan bisnis digital tak melulu cerah meski menawarkan inovasi dan teknologi baru. “Daya beli yang sudah turun sejak kuartal kedua 2020 mempengaruhi pemakaian layanan digital,” kata dia, kemarin.
Menurut Heru, keterbatasan dana membuat konsumen kian selektif, dan hanya memakai layanan sesuai dengan kebutuhan yang mendesak. Pemakaian layanan kesehatan dan kebutuhan sehari-hari, termasuk hiburan, bisa saja menurun bergantung pada dampak pandemi terhadap pendapatan masyarakat. “Produk premium dan layanan yang bukan prioritas bakal menurun permintaannya.”
Heru juga mengatakan bisnis perusahaan digital bisa runtuh jika tak berhati-hati menerapkan teknologi baru. Alih-alih sesuai, Heru melanjutkan, inovasi pun berisiko membuat start-up ditinggal pelanggannya. “Semakin berat karena investor mulai mengurangi investasinya. Mereka semakin selektif.”
Suasana kamar Airy Room. Dok Airy Room
Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (Amvesindo) mencatat penurunan transaksi pendanaan untuk start-up pada masa pandemi. Dalam konferensi virtual pada awal November lalu, Wakil Ketua I Amvesindo, William Gozali, menyebutkan pendanaan pada triwulan III 2020 tercatat sebesar US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 28 triliun dari 52 transaksi. Jumlah itu menurun dari triwulan III 2019 sebesar US$ 2,9 miliar atau sekitar Rp 42,46 triliun dari 113 transaksi.
Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Masyarakat Telematika Indonesia, Nonot Harsono, memperkirakan pola investasi start-up digital bakal berubah. Strategi bakar uang alias subsidi dan promosi besar-besaran akan dikurangi demi menghemat anggaran. Terlebih lagi, kata Nonot, strategi itu belum tentu disambut oleh konsumen yang daya belinya sedang menurun. “Kalau pola yang diharapkan investor adalah platform digital dengan cash flow positif, sulit untuk muncul unicorn lagi,” katanya.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas belum sepenuhnya anjlok akibat pandemi. “Mereka hanya menunda belanja. Kelas ini yang bisa disasar oleh start-up,” kata dia.
LARISSA HUDA | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo