Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dikantungi Yang Punya Koneksi

Jumlah kontraktor menggelembung, sedangkan proyek-proyek semakin ketat. Kontraktor nasional banyak yang menyusup ke daerah. Di daerah terdesak & terpaksa mem-PHK-karyawannya, macam PT Biro Pembangunan Kapuas.(eb)

31 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRINSIP dagang dalam bisnis industri konstruksi rupanya sudah dikesampingkan - yang dicari sekadar uang kontan. Masalahnya, jumlah kontraktor telah menggelembung, sedangkan proyek-proyek semakin ketat. Di Sumatera Utara, misalnya, yang tercatat baru 277 kontraktor pada 1977, "Kini sudah 6.000," kata Musa Panjaitan, ketua Gabungan Pelaksana Nasional Seluruh Indonesia (Gapensi) Sum-Ut, pekan lalu. Banyak pendatang baru, yang dianggap merusakkan pasaran, dilahirkan oleh Keppres 14 A /1980. Ada pula yang masuk ke sektor ini setelah tertimpa kesulitan di bidang usaha lain. Ternyata, kontraktor nasional juga telah menyusup ke daerah. Dengan segala kelebihan mereka, termasuk menggunakan koneksi tingkat pusat, perusahaan-perusahaan cabang dari Jakarta merebut proyek-proyek sektoral yang dibiayai dengan dana APBN. Dari proyek sektoral tahun anggaran 1985-1986 yang bernilai Rp 146 milyar untuk Sumatera Utara, "Cuma 20% yang bisa diperebutkan perusahaan dari Medan," kata direktur PT Biro Pembangunan Kapuas, Medan, John T.D. Nababan. Selebihnya sudah dikantungi cabang-cabang dari, misalnya, PT Waskita Karya, PT Nindya Karya, PT Hutama Karya, PT Adhy Karya, dan PT Tjiria Dharma. Keppres 29/1984, pengganti Keppres 14 A, ternyata memperlambat pencairan proyek bernilai Rp 100 juta-Rp 500 juta, ikut menyaring kemampuan kontraktor. Kontraktor yang lemah bisa dirongrong beban bunga bank dan kenaikan harga material. PT Biro Pembangunan Kapuas, yang kalah tender terus, sejak 1984, terpaksa mem-PHK-kan 453 karyawannya. Kini tinggal 47 lagi yang belum jelas nasibnya hendak diapakan. Perusahaan beraset Rp 2 milyar itu, belakangan, menyandarkan hidupnya dari penyewaan alat-alat berat, yang juga sudah sulit dipertahankan. John Nababan sendiri, bekas pendeta, yang memimpin PT itu, sudah ragu untuk terus di bidang konstruksi. Sementara bidang lain belum tentu menguntungkan pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus