Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dilema Selimut Pendek

Pemerintah merevisi kenaikan harga bahan bakar minyak. Dari mana sumber untuk menutup kekurangan anggaran?

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU diibaratkan, kondisi pemerintah saat ini seperti orang yang ingin tidur berbekal selimut pendek: ditarik ke atas atau ke bawah, ada saja bagian tubuh yang tak tertutup. Begitu juga soal anggaran. Kekurangannya hendak ditutup dengan cara menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) agar subsidi bisa dikurangi, tapi di sisi lain rakyat menderita dan dunia usaha menjerit. Ketika kebijakan itu direvisi, rakyat mungkin senang, sebaliknya pemerintah kini harus menambah subsidi BBM dan di sisi lain dunia usaha tak lagi mendapatkan tambahan stimulus. "Pemerintah jadi kagok," kata sumber TEMPO yang dekat dengan pemerintahan. Pilihan pemerintah memang sulit. Tapi maraknya aksi turun ke jalan di berbagai kota menentang kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, dan tarif telepon memaksa pemerintah merevisi kebijakannya yang sudah diterapkan 1 Januari lalu. Apalagi setelah Menteri Perhubungan Agum Gumelar menyatakan dalam rapat konsultasi di DPR dua pekan lalu bahwa kenaikan tarif telepon bisa ditunda. Maka, Senin pekan lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti pun mengumumkan penurunan harga tiga jenis BBM: solar turun dari Rp 1.890 menjadi Rp 1.650, minyak diesel dari Rp 1.860 menjadi 1.650, dan minyak tanah untuk industri dari Rp 1.970 kini Rp 1.800. Tarif listrik tak berubah, kecuali potongan bagi pengguna produktif. Putusan sudah diketuk?walau nyatanya tak meredam aksi demo?tapi dari mana pemerintah mesti menambah anggaran subsidi? Jumlahnya, menurut Menteri Keuangan Boediono, sekitar Rp 1,1 triliun per bulan. Dengan catatan, harga minyak mentah dunia tidak terus naik. Caranya, kata Kepala Badan Analisa Fiskal, Anggito Abimanyu, pemerintah akan menggunakan sebagian dana cadangan umum yang jumlahnya Rp 8,2 triliun. Sebagian anggota Dewan segera bersuara. Dana itu seharusnya dialokasikan untuk penanganan banjir?kata anggota Panitia Anggaran DPR, Rizal Djalil, "Jakarta tinggal menunggu waktu saja." Jalan lain? Anggaran pembangunan bisa dikurangi dari jumlahnya yang sekarang Rp 65 triliun. Tapi pilihan ini berisiko karena daerah bisa mengamuk, terutama daerah yang sudah mengadakan tender proyek. Masih ada sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) yang berasal dari minyak sekitar Rp 3-4 triliun dan sisa anggaran lebih (SAL) senilai Rp 30 triliun. Repotnya, pemerintah tak bisa memakai SAL seenaknya karena biasanya dana ini dipakai untuk menutup gaji pegawai selama pajak belum masuk. Kata Rizal, masih ada rekening dana investasi (RDI), yang jumlahnya Rp 14 triliun. Lagi-lagi, tak elok memakai dana ini. RDI lebih baik dipakai untuk mempercepat pembayaran utang luar negeri karena asalnya memang dari pinjaman luar negeri. Kerepotan utak-atik menutup anggaran tadi membuat berbagai program pemerintah untuk memperbaiki kinerja sektor riil jadi terganggu. Dalam sebulan ini, pemerintah sudah mengeluarkan dua paket stimulus ekonomi untuk dunia usaha. Pada awal Januari, mereka mengurangi dan menghapuskan pajak dari berbagai sektor, terutama elektronik. Rabu pekan lalu, kembali pemerintah mengeluarkan kebijakan kepabeanan untuk memperlancar arus barang. Salah satu yang cukup penting adalah impor bahan baku untuk 20 perusahaan boleh melewati jalur hijau. Selain itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengurangi jumlah meja yang mesti dilewati importir. Langkah ini akan memperlancar arus barang dan mengurangi biaya. Terjadi lagi dilema selimut pendek di sini. Makin banyak stimulus diberikan untuk pengusaha, makin besar potensi pendapatan pemerintah yang hilang. Dari paket perpajakan awal Januari lalu saja, pemerintah kehilangan Rp 6 triliun, sementara pemasukan seret. Maka stimulus pun dihentikan dan ini sangat disayangkan sumber TEMPO tadi. Menurut dia, saat ini sebetulnya merupakan momentum paling berharga bagi pemerintah untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi. "Momentumnya hilang," kata sumber tadi. Padahal, jika dunia usaha bergerak lebih sigap, pertumbuhan ekonomi akan tinggi dan penyerapan tenaga kerja makin besar. Pengusaha Hariadi Sukamdani juga melihat bahwa kebijakan pemberian stimulus kepada dunia usaha belum tuntas. Dalam soal tarif listrik, misalnya. Meskipun ada diskon tiga persen, pengusaha tetap membayar pajak penerangan jalan yang besarnya 3-10 persen. "Jadi ya sama saja," katanya. Padahal yang mesti diperbaiki pemerintah sangat banyak, dari penyederhanaan peraturan, baik di pusat maupun di daerah, perpajakan dan kepabeanan, sampai penegakan hukum. Jika perbaikannya cuma satu-satu, Indonesia akan tetap bergerak seperti siput. M. Taufiqurohman, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus