PT Danareksa, dewasa ini, bagaikan orang kekenyangan dan tak bisa ke belakang. Banyak saham, yang dimasyarakatkan perusahaan-perusahaan lewat pasar modal, harus ditebusnya kembali. Tapi Danareksa tidak bisa mengeluarkannya kembali dalam bentuk sertifikat. Sebab, "Harga-harga saham sudah turun tak wajar, bahkan dividen untuk sertifikat saham yang sudah dikeluarkan harus dicari dari sumber di luar saham pendukung," tutur Direktur Utama PT Danareksa, J.A. Sereh. Untuk mengatasi masalah itu, sekarang, Danareksa berniat melemparkan sebagian saham-saham dalam portepel Danareksa ke luar negeri. Gagasan internasionalisasi ini sebenarnya sudah dicetuskan Badan Pengelola Pasar Modal (Bapepam), Agustus tahun lalu, kemudian didiskusikan bersama para mahasiswa ekonomi, hukum, dan sosial dari semua universitas di Jakarta. Dan, pekan silam, dimatangkan lagi dalam pembicaraan di DPR. Tampaknya tak ada rintangan lagi: tinggal minta izin dan pengesahan pemerintah. Kepada TEMPO, Senin lalu, Sereh mengungkapkan bahwa The Prudential Bache, AS, bersedia jadi mitra. Persero Departemen Keuangan itu, sampai pekan lalu, menguasai sekitar 52% saham-saham yang dijual di pasar modal dengan jumlah nilai perdana Rp 132 milyar. Tapi harga saham-saham itu kini sudah jatuh. Saham-saham Unilever yang dulunya bernilai Rp 29 milyar, kini harganya tinggal sekitar separuh. Padahal, saham-saham tersebut masih memberikan dividen sekitar 13%. "Selembar saham Unilever, yang kini Rp 1.600, kalau dijual di luar negeri mungkin bisa diperebutkan dengan harga Rp 2.000 per lembar," ujar Sereh. Para investor di luar negeri, menurut Sereh, sudah cukup puas bila saham yang dibelinya memberikan dividen 6%-7% - sesuai dengan bunga deposito. Yang akan dilakukan Danareksa sekarang ialah menerbitkan sertifikat Indonesian Fund (IF - Dana Indonesia). Mirip sertifikat dana Cibinong, Centex, atau BAT, hanya saja dijual dalam dolar. Dividen pun akan dibayarkan dalam dolar. Sereh yakin tak akan terjadi kerugian apa pun. Sebab, dolar yang diterima Danareksa, nantinya, akan ditahan dalam deposito di luar negeri. Dengan demikian, bila kurs rupiah mengalami depresiasi, Danareksa tetap mempunyai dolar untuk menebus sertifikat yang kemungkinan dijual kembali oleh investor. Saham-saham pendukung sertifikat itu pun akan dipilih dari saham perusahaan yang mampu memberikan dividen di atas 10%. Dengan demikian, Danareksa, yang hanya diwajibkan membayar dividen IF 7%, masih ada dana minimal 3% untuk membayar komisi kepada para mitranya di luar negeri. Perhitungan itu tampaknya sangat meyakinkan. Tapi, seandainya harga sertifikat IF - yang pertama direncanakan seluruhnya bernilai US$ 10 juta dalam pecahan US$ 10 perlembar - meroket di luar negeri jadi US$ 15 per lembar, tentu Danareksa akan terongrong juga. Dividen yang diterima Danareksa dalam rupiah, bila mengalami devaluasi, tentu akan merepotkan pula pembayaran dividen dalam dolar. Manfaat pencairan saham-saham dalam portepel Danareksa itu pun tidak akan terlalu terasa di Indonesia bila dana IF itu hanya disimpan di luar negeri. Selain itu, Indonesianisasi modal PMA lewat pasar modal pun mungkin akan mubazir bila saham-saham seperti Unilever atau Semen Cibinong, dilemparkan ke luar negeri M.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini