Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siapa Rupawan, Dia Dapat Jabatan

Menurut penelitian, penampilan menarik dan keindahan fisik membantu seseorang mendapat pekerjaan dan penghasilan lebih baik.

27 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Berbagai penelitian mendapati bahwa penampilan dan keindahan fisik membantu karier seseorang.

  • Fenomena ini digambarkan secara jitu lewat serial Korea Selatan, Lookism, di Netflix.

  • Perusahaan perlu menghapus bias fisik dalam penilaian karyawan.

Park Tae-joon, seorang komikus asal Korea Selatan, sukses merilis webtoon Lookism yang begitu disukai masyarakat. Webtoon populer yang sudah terbit hampir 500 episode itu bahkan kini diadaptasi menjadi anime dan tengah tayang di Netflix.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lookism berkisah mengenai Park Hyung-seok, seorang siswa SMA yang gemuk dan kerap mengalami perundungan di sekolah. Ia hidup bersama ibunya yang bekerja keras. Suatu hari, ibunya menyaksikan Hyung-seok dipukuli oleh teman-temannya di sekolah, yang membuatnya memutuskan untuk pindah ke sekolah baru di kota lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesaat sebelum sekolah dimulai, Hyung-seok yang kini tinggal sendiri mengalami kejadian aneh: ia tiba-tiba terbangun dengan tubuh yang tampan dan atletis. Perubahan ini membuatnya mendapatkan banyak perhatian positif di sekolah barunya, menjadikannya populer, dan mendapatkan banyak kemudahan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.

Kata "lookism" sendiri mengacu pada bentuk diskriminasi berdasarkan penampilan fisik individu. Sebuah riset yang mencakup temuan sepanjang 1932-1999, misalnya, menemukan adanya standar kecantikan umum yang diterima baik dalam maupun antar-berbagai budaya dan mereka yang dianggap menarik cenderung mendapatkan penilaian lebih positif dibanding individu yang dianggap kurang menarik.

Bagaimana refleksi lookism di dunia kerja? Apakah penampilan fisik dapat memengaruhi kesejahteraan seseorang?

Ilustrasi bekerja di kantor. Tempo/Bintari Rahmanita

Cerminan Obsesi terhadap Penampilan dalam Industri Kecantikan

Sebagai fenomena sosial yang mengakar dalam masyarakat modern, lookism secara tidak sadar mendorong kita semakin terobsesi dengan penampilan fisik.

Ini tecermin dari pertumbuhan pasar industri kecantikan dan perawatan tubuh global yang mencapai US$ 625,7 miliar (Rp 9,95 triliun) pada 2022, dengan proyeksi pertumbuhan sekitar 3,3 persen per tahun. Di Indonesia, persentase pertumbuhannya menyentuh 5,91 persen per tahun.

Sementara itu, sebuah riset global menunjukkan bahwa individu umumnya menghabiskan seperenam waktu hidupnya untuk mengurusi penampilan.

Data tersebut menunjukkan kepada kita bahwa semakin banyak orang yang ingin mencapai standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat dan mendapatkan validasi sosial—walau tak jarang ada di antara kita yang sampai depresi karena gagal mencapainya.

Pertanyaannya, mengapa seseorang mau berkorban sebegitu banyak waktu dan uang untuk memoles diri? Riset yang ada menunjukkan berbagai macam jawaban, dari insting reproduktif untuk menemukan pasangan, pengaruh media sosial, hingga adanya keyakinan bahwa penampilan adalah kunci kesuksesan.

Namun, apakah betul penampilan yang menarik mempengaruhi rezeki seseorang?

Betulkah Penampilan Mempengaruhi Pekerjaan dan Kesejahteraan Finansial?

Sayangnya, penelitian yang ada menunjukkan demikian—termasuk studi di Amerika Utara yang menunjukkan bagaimana orang-orang yang berpenampilan menarik menghasilkan 12-14 persen lebih banyak daripada populasi lainnya.

Penampilan fisik sering kali menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan dalam penilaian kualifikasi seseorang dalam dunia kerja dan mereka yang memenuhi standar kecantikan lebih mungkin untuk mendapatkan peluang kerja yang lebih baik atau promosi.

Misalkan saja sebuah penelitian mengenai bagaimana bias finansial dan sosial yang telah lama ada menguntungkan individu yang memiliki penampilan yang lebih menarik daripada yang lain. Keuntungan yang diperoleh biasanya mencakup aktivitas transaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Bias finansial dan sosial ini merupakan hasil dari preferensi atau prasangka yang mirip dengan yang ditunjukkan terhadap anggota kelompok kelamin, ras, kelompok etnis, atau agama tertentu.

Dalam banyak kasus, penampilan fisik dapat menjadi faktor dominan yang menentukan apakah seseorang layak diberi kesempatan atau tidak dalam sebuah sistem kerja modern—terlebih bagi industri yang bergerak dalam jasa dan pelayanan publik. Studi pun menunjukkan bahwa konsumen merasa lebih puas jika berhadapan dengan karyawan yang berpenampilan menarik.

Memiliki penampilan fisik yang menarik juga dapat membuka pintu ke berbagai sektor dan industri yang mungkin sulit diakses oleh individu yang dianggap kurang menarik. Ini berarti seseorang dengan penampilan yang baik dapat memiliki lebih banyak pilihan karier, yang dapat meningkatkan potensi pendapatan mereka.

Selain itu, individu yang dianggap menarik secara fisik sering kali memberikan kesan positif kepada perekrut dan atasan, yang dapat mengarah pada peluang pekerjaan yang lebih baik, kenaikan pangkat yang lebih cepat, dan penghasilan yang lebih tinggi. Hal ini berasal dari efek halo, yakni bias kognitif ketika penampilan menjadi tolok ukur karakter seseorang. Sudah cukup banyak studi yang menunjukkan bahwa penampilan menarik memberi kesan bahwa individu tersebut memiliki karakter dan kompetensi yang baik pula.

Adanya gap ini membuat diskriminasi dalam pekerjaan semakin tak terjembatani. Misalkan saja, ketika seseorang yang berpenampilan menarik dan yang tidak menarik sama-sama membuat kesalahan, orang akan lebih memaklumi orang yang berpenampilan menarik. Inilah yang dinamakan beauty privilege—ketika mereka yang berpenampilan menarik mendapat berbagai keuntungan dalam interaksi sosialnya.

Ilustrasi bekerja di kantor. Tempo/Bintari Rahmanita

Menghapus Diskriminasi Berdasarkan Penampilan

Tentu saja kita tak bisa serta-merta menyimpulkan bahwa mereka yang cantik dan tampan pasti penuh keberuntungan—utamanya bagi perempuan.

Penelitian, misalnya, menunjukkan bagaimana penampilan fisik yang menarik lebih menguntungkan laki-laki dibanding perempuan di tempat kerja. Ini terutama menyangkut rekrutmen dan promosi untuk posisi manajerial dan pekerjaan yang dianggap lebih cocok untuk laki-laki. Sebab, masih ada stereotipe gender yang menghubungkan femininitas dan inkompetensi—kerap disebut sebagai efek “beauty is beastly” (kecantikan itu mengerikan).

Tak hanya itu, sebuah riset menunjukkan 82 persen perempuan Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

Namun, bagaimanapun juga, diskriminasi berdasarkan penampilan fisik sudah sepatutnya kita atasi. Sebab, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat memilih untuk dilahirkan di mana—yang membuatnya memiliki gen tertentu dari lingkungan tersebut.

Kualitas diri seseorang tidak dapat dinilai hanya berdasarkan standar subyektif seperti penampilan fisik semata. Apalagi sudah banyak penelitian yang menunjukkan tak ada hubungan antara penampilan fisik dengan kompetensi dan kinerja seseorang.

Tak gampang untuk mengatasi bias yang telah lama mengakar, tapi perlu perubahan pola pikir masing-masing individu untuk bisa mengatasi hal ini. Penting untuk lebih menghargai dan menilai seseorang berdasarkan kompetensi, pengetahuan, dan keterampilan yang mereka bawa ke meja kerja.

Ini memerlukan perubahan budaya dalam dunia kerja dengan membuat sistem penilaian berdasarkan merit dan pada apa yang dapat seseorang berikan serta membatasi kemungkinan penampilan fisik memengaruhi penilaian.

Selain itu, perusahaan dan organisasi perlu menerapkan kebijakan yang mencegah diskriminasi berdasarkan penampilan fisik—termasuk dalam membuat iklan lowongan kerja yang mensyaratkan penampilan menarik—dan mengedukasi personel mereka tentang pentingnya keragaman dan inklusi dalam tempat kerja.

Karena itu, perlu kewaspadaan penuh bagi kita semua untuk tetap sadar dan menjunjung tinggi rasionalitas. Jangan sampai terjerumus pada pemahaman sempit atas hidup yang lebih mementingkan penampilan semata ketimbang kualitas hidup secara mendalam.

---

Artikel ini ditulis oleh Novia Utami, dosen keuangan di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Terbit pertama kali di The Conversation.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus