Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Diskriminasi Sawit Abang Sam

Dinyatakan tak lolos uji batas minimum pengurangan emisi, harga jual minyak sawit terancam jatuh. Dianggap akal-akalan Amerika.

5 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu hari pada April tahun lalu, dua perwakilan Kedutaan Besar Amerika Serikat yang mengurusi bidang pertanian mampir ke kantor Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia di lantai 12 Menara Kadin, Jakarta. Mereka bilang ingin tahu perkembangan energi terbarukan di negeri ini.

Ketua Asosiasi Paulus Tjakrawan bercerita, saat itu ia berpikir pertemuan kali ini tak boleh hanya dimanfaatkan pihak Amerika. Dia teringat rencana Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (Environmental Protection Agency, EPA), yang hendak meneliti emisi gas rumah kaca dari penggunaan biodiesel dan bahan bakar terbarukan. Analisis mereka akan menentukan bahan bakar dari minyak sawit termasuk energi terbarukan atau tidak. "Kami usul agar bisa ikut memberi masukan dalam prosesnya," kata Paulus, Kamis pekan lalu.

Setelah tamunya pulang, Paulus tidak pernah mendengar lagi kabar perkembangan perhitungan emisi tersebut. Sampai pertengahan Desember lalu, datang kabar mengejutkan. Biodiesel dari minyak sawit dinyatakan tidak memenuhi batas minimum pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 20 persen dibanding bahan bakar fosil. Menurut EPA, poin buat minyak sawit hanya ada di kisaran 11-17 persen. Adapun biodiesel dari bahan baku yang diproduksi Amerika sendiri, seperti kedelai, gandum, dan jagung, semuanya lolos uji emisi.

Pengumuman ini sama saja dengan sinyal bencana buat produk andalan ekspor Indonesia ini. Konsuler Pertanian Amerika Dennis Voboril memang memastikan tidak ada pelarangan impor bahan bakar minyak sawit. Namun, jika aturan ini benar diterapkan, bahan bakar terbarukan dari minyak sawit akan kehilangan label sebagai energi hijau. Akibatnya, harga jual yang mencapai US$ 1.125 per ton bisa jatuh. Parahnya lagi, aturan Amerika itu bisa saja ditiru oleh negara-negara lain untuk memproteksi pasar mereka.

Lobi pun segera dilancarkan Kedutaan Besar RI di Washington. "Kami melakukan pendekatan politis dan diplomatis kepada Departemen Perdagangan Amerika Serikat, EPA, serta kamar dagang dan industri mereka," kata Atase Perdagangan Indonesia di Washington, Ni Made Ayu Marthini.

Hasilnya nihil. EPA tetap pada keputusan semula dan mendaftarkan hasil penelitiannya ke Federal Register pada 27 Januari lalu. Semua pihak yang tidak sependapat diberi waktu sebulan untuk menyampaikan argumen.

"Ini hanya upaya Amerika menciptakan hambatan nontarif," Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono menuding adanya akal-akalan di balik uji emisi itu. Ia menganggap angka 20 persen itu muncul dengan asumsi yang tidak sesuai dengan kondisi faktual di Indonesia.

Tudingan Joko diperkuat Kementerian Perdagangan, yang berhasil mengumpulkan beberapa temuan yang menunjukkan dasar perhitungan emisi EPA kurang tepat. Misalnya, prediksi Amerika tentang pembukaan lahan baru kelapa sawit di Sumatera yang bisa mencapai 88 persen. Ternyata EPA tidak menghitung adanya aturan moratorium pembukaan lahan. "Ini diskriminasi terhadap produk kita," Direktur Pengamanan Perdagangan Ernawati menganggap langkah Amerika itu berpotensi melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia. "Melarang sebuah negara berkebun sawit, padahal berdampak pada kesejahteraan rakyat negara berkembang, menurut saya bukan pilihan yang baik," Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut berkomentar.

Barisan dirapatkan. Perlawanan akan dilanjutkan. Dewan Minyak Sawit Indonesia pun menunjukkan hasil uji tandingan. "Hitungan kami menunjukkan, pengurangan emisi dari bahan bakar kelapa sawit ada yang mencapai 24 persen dan 31 persen dibanding bahan bakar dari fosil," kata Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Derom Bangun.

EPA sedikit mengendur dengan mengulur waktu penyampaian bantahan hingga 27 Maret mendatang. Awal bulan ini Indonesia akan duduk bersama dengan Malaysia untuk menyatukan suara melawan kebijakan Abang Sam.

Eka Utami Aprilia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus