Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dunia ketiga dan pers barat

Dalam konferensi non-blok di aljazair ada gagasan mendirikan kantor berita untuk menghadapi kantor berita barat. di india dibahas gagasan didirikannya kantor berita khusus milik dunia ketiga. (md)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kita ingin mendengar orang-orang Afrika berbicara tentang Afrika. Anda juga seharusnya dapat memperoleh penjelasan orang India tentang India". Ny. Indira Gandhi, Juli 1976. WAKTU itu ia masih berkuasa. Sebagai Perdana Menteri India yang banyak dikritik pers Barat karena ia menginjak demokrasi, Ny. Gandhi bermaksud menandingi sorotan media asing itu. Ia tentu tak sendirian di kalangan pemegang pemerintahan Dunia Ketiga. Juli 1976 itu di Ibukota India New Delhi diadakan pertemuan tingkat menteri antara negara-negara Non Blok, guna membahas lebih lanjut gagasan didirikannya sebuah kantor berita khusus milik Dunia Ketiga. Gagasan itu bermula secara serius tahun 1973. Di Konperensi Non-Blok di ibukota Aljazair September 1973, ada saran agar sebuah kantor berita didirikan untuk menghadapi kantor-kantor berita Barat. Saran itu kemudian dibahas dalam pelbagai pertemuan yang disponsori badan urusan pendidikan, ilmu dan kebudayaan PBB Unesco, di Lima (Agustus 1975), Tunis (Maret 1976) dan Kota Meksiko (Mei 1976). Pertemuan di New Delhi itu merupakan slah satu kelanjutannya. Suatu usaha memang amat dibutuhkan untuk tidak membiarkan gambaran dunia dimonopoli oleh kantor berita dan para wartawan Barat. Tentu saja tak dapat dikatakan bahwa dengan sengaja pers Barat telah berkomplot untuk mencat hitam banyak negara Dunia Ketiga. Tapi seperti diakui sendiri oleh Washington Post dalam komentarnya tentang keseimbangan pemberitaan internasional, 22 April 1977, harus difahami keengganan sebuah negeri untuk memperoleh gambaran tentang dirinya sendiri dari tangan orang asing. Kebatinan Untuk Frankfurt Si wartawan asing, yang menulis buat pembaca nun jauh di sana, dalam waktu yang terbatas, untuk ruangan koran yang cuma beberapa kolom, dengan gampang bisa terjatuh: hasil mereka tak jarang sedikit lebih baik dari kebodohan. Kadangkarena mereka tak memahami betul negeri yang mereka tulis. Lebih sering karena para redaktur dan pembaca mereka di Amerika, Eropa, Jepang atau Australia hampir sepenuhnya buta tentang itu. Bagaimana misalnya seorang wartawan Jerman bisa menlahami konflik Islam dan kebatinan Jawa dan menulisnya dalam 2000 kata agar berita tentang itu jelas bagi para pedagang di Frankfurt? Tentu ada yang disederhanakan, dan sering meleset. Belum lagi faktor persaingan antar wartawan, yang mendorong mereka cuma mencari berita yang dramatis. Seorang wartawan Australia dalam kunjungan ke Buru barubaru ini dikabarkan hampir gembira menemukan suatu cerita yang menarik: ada tahanan yang makan "tikus" di sana. Ternyata seorang tahanan mengatakan bahwa mereka makan "jagung"--dan menggunakan bahasa Uclanda maize yang terdengar seperti mice (tikus). Maka kecaman pun dilontarkan, bahwa pers Barat hanya mencari hal yang gawat saja tentang Dunia Ketiga. Kalau tidak: sesuatu yang menggelikan, seperti tingkah Idi Amin, penobatan diri Kaisar Bokassa, atau cara orang-kaya baru Arab berbelanja di London. Sering nampak bahwa laporan tentang itu diwarnai rasa superioritas Barat. Tapi tak seluruhnya adil buat mengatakan bahwa wartawan dan kantor berita Barat cuma doyan berita buruk. Sebuah studi yang dilakuhan Robert L. Bishop dari Universitas Michigan akhir 1973 menelaah reportase tentang Afrika yang dibikin oleh kantor berita Reuter dan AFP. Ternyata berita tentang "bencana" hanya mencakup 2% cari laporan kedua kantor berita Barat itu. Sedang prosentase berita ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan ilmu mencapai 23 sampai 33%. Thema Pembangunan dan Propagarda Sayangnya herita pembangunan yang cukup banyak itu sering tak dimuat oleh koran-koran, meskipun sudah ditulis oleh para koresponden asing di Arrika dan Dunia Ketiga lain. Keengganan memuat berita pembangunan dari negeri berkembang itu bukan cuma terdapat pada pers Barat, yang rata-rata kian mengurangi ruangan untuk berita dari luar negeri. Pers Dunia Ketiga sendiri sering tak tertarik ke situ. Ini nampak dalam sebuah survai statistik yang dilakukan pada koran-koran Amerika Latin, Nopember 1975. Laporan dari survai itu menyimpulkan bahwa berita dengan thema "pembangunan" dianggap bukan berita, dan tak menarik bagi pers Amerika Latin. Satu contoh: satu berita yang disiarkan oleh AFP, AP dan Prensa Latina (uba) mengabarkan adanya laporan PBB tentang ribuan hasil obat-obatan yang dimasukkan ke Dunia Ketiga tanpa dibutuhkan. Berita iui hanya dimuat di sementara pers Meksiko. Pers Amerika. Latin lain tak peduli. Mungkin karena berita dengan tema "pembangunan" sering berbau propaganda - terutama jika disiarkan oleh kantor berita atau media lain yang dikuasai pemerintah. Bagaimana pers Indonesia harus menelan berita pembangunan RT (sebuah anggota Dunia Ketiga juga) yang disiarkan oleh kantor berita resmi Hsinhua ? Tanpa kemerdekaan pers di suatu negeri, sulit diperoleh gambaran yang layak dipercaya yang disiarkan pers negeri itu. Seperti dikatakan Hilary Ng'weno, seorang editor Kenya dalam The Weekly Review yang terbit di Nairobi Nopember 1977: "Kontrol pemerintah terhadap pers menghasilkan juga gambaran yang menyimpang seperti yang justru dikeluhkan oleh bangsa-bangsa Dunia Ketiga dalam menghadapi pengaruh serta praktek kantor berita Barat." Kasus "The Straits Times" Dan itulah satu soal fundamentil yang dihadapi Dunia Ketiga dalam mencoba menerobos monopoli pemberitaan yang dipegang oleh media Barat, dan mencoba lebih mengenal satu sama lain. Soal pelik lain ialah kenyataan, bahwa Dunia Ketiga -yang bermaksud mendirikan sebuah kantor berita sendiri punya pelbagai warna ideologi dan kepentingan. Melalui pers yang dikontrol penguasa, kepentingan itu bisa didesaklcan secara erang-terangan atau halus yang terkadang merugikan anggota Dunia Ketiga lain. Contoh terbaru dan terdekat ialah kasus koran Singapura The Straits Times, dalam memberitakan peristiwa di Indonesia selama Januari 1978. Ucapan Ketua DPR-MPR Adam Malik kepada Reuters, yang mengecam perwira tinggi yang bicara politik, disiarkan koran itu dengan judul berhuruf raksasa: MLIK BLASTS AT GENERALS. Yang dikritik Adam agaknya para jenderal yang tak berada di pusat kekuasaan, bahkan sudah swasta. Tapi judul itu secara dilebihkan mengesankan adanya konflik Adam Malik dengan para jenderal Indonesia umumnya. Indonesia, lesat The Straits Times, memang bisa nampak seperti sedang kacau oleh pergulatan kekuasaan di puncak. Maka baik kalangan diplomat Indonesia di Singapura maupun di Deplu menyesalkan hal itu. Sebuah sumber di Deplu mengatakan telah menghubungi pejabat negara sesama Asean itu, supaya mencegah The Straits Times berbuat begitu. Tapi, menurut sulnber itu kepada TEMPO dari pihak Singapura datang jawaban bahwa itu sukar dilakukan, karena di Singapura "ada kemerdekaan pers". Kemerdekaan pers di Singapura? Untuk The Straits Times? Seorang wartawan senior di Jakarta berkomentar: "Singapura boleh membanggakan banyak hal, tapi Indonesia bisa lebih bangga dalam hal kemerdekaan persnya--meskipun baru-baru ini ada larangan terbit sementara buat 7 koran." Dengan kemerdekaan yang cukup pula agakllya pers Indonesia bisa lebih dipercaya oleh orang luar. Lewat mulut yang ketakutan yang berbunyi memang biasanya justa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus