Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMERIAHAN malam Minggu di Kota Poznan, Polandia, tak dapat dinikmati oleh Agus Purnomo. Rencana jalan-jalan ke pameran teknologi hijau di kota itu pada awal Desember dua tahun lalu batal. Duta Besar Perubahan Iklim Norwegia Hans Brattskar ngotot bertemu dengan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia ini. Dalam konferensi perubahan iklim di Polandia tersebut, Agus mengetuai delegasi Indonesia.
Pukul setengah sembilan malam mereka bertemu di lobi Sheraton Poznan Hotel. Hans Brattskar mengawali pembicaraan. Ia menyampaikan permintaan maaf pemerintah Norwegia, yang telah membuat kesan seolah-olah Indonesia tidak penting dalam penanganan dampak perubahan iklim dunia. Gara-garanya, Norwegia memberikan hibah US$ 1 miliar kepada Brasil. Sedangkan Indonesia—negara dengan luas hutan terbesar ketiga setelah Brasil dan Kongo—cuma kecipratan US$ 5 juta.
Perbincangan tak genap satu jam. Tapi dari situlah terlontar janji Norwegia membuka dompet lebih lebar. Mereka siap mendukung pembiayaan sesuai dengan luas hutan dan tingkat permasalahan hutan Indonesia. ”Saya langsung melapor ke Jakarta,” kata Agus kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Pertemuan Poznan itu cikal bakal paket hibah US$ 1 miliar dari Kerajaan Norwegia—tergolong besar karena biasanya hibah hanya puluhan hingga seratusan juta dolar Amerika.
Akhirnya janji itu diwujudkan. Indonesia dan Norwegia meneken letter of intent pengurangan emisi gas dari deforestasi dan degradasi hutan, pada 26 Mei lalu, di Guest House, Oslo, Norwegia. Penandatanganan dilakukan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Lingkungan Hidup Norwegia Erik Solheim. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jens Stoltenberg menyaksikan. Norwegia berjanji memberikan hibah US$ 1 miliar atau Rp 9 triliun lebih. Menurut Stoltenberg, negeri di Semenanjung Skandinavia itu berharap ada pengurangan penebangan hutan di Indonesia.
Di Tanah Air, pro dan kontra bermunculan seusai kesepakatan tersebut. Greenpeace, misalnya, mengapresiasi moratorium sebagai langkah awal Indonesia memenuhi target penurunan emisi hingga 41 persen. Juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Joko Arif, berharap segera ada implementasi penghentian konversi lahan gambut dan hutan. Sayang, moratorium cuma berlaku terhadap izin baru. ”Mestinya izin lama pun dievaluasi, legal atau tidak.”
Sebaliknya, Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim malah menilai moratorium ini gegabah. Sebab, berdasarkan Protokol Kyoto, hanya negara maju yang wajib mengurangi emisi. Indonesia hanya perlu memposisikan diri dalam perjanjian internasional yang mengikat secara hukum, ketimbang perjanjian bilateral.
SEMANGAT Indonesia menurunkan emisi karbon telah dimulai sejak tiga tahun lalu. Dalam konferensi perubahan iklim dunia di Bali, Desember 2007, disepakati adanya adaptation fund untuk membantu mengatasi dampak perubahan iklim. Negara berkembang menuntut akses terhadap dana tersebut dipermudah. Pertemuan Bali membuahkan REDD (reducing emission from deforestation and degradation in developing countries). Ini insentif bagi negara berkembang yang bisa mengurangi emisi dari deforestasi alias pembukaan area hutan. Sifatnya pun sukarela dan menghormati kedaulatan negara.
Sikap pemerintah lebih konkret dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, September 2009. Presiden Yudhoyono berkomitmen menurunkan emisi karbon 26 persen pada 2020, atau 41 persen bila ada bantuan keuangan dari negara maju. Lantas, ditegaskan kembali dalam pertemuan Kopenhagen, Denmark, Desember 2009. Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia juga melayangkan surat ke Sekretariat UNFCCC, mendukung Copenhagen Accord, bulan berikutnya, lengkap dengan sektor-sektor yang akan dilibatkan.
Menurut Agus, ganjalan muncul seusai pertemuan Bali. Pada awal 2008, Norwegia meneken kerja sama bilateral dengan Brasil dengan memberikan hibah US$ 1 miliar. Brasil—dengan hutan Amazon—memang negara dengan area hutan terluas di dunia. Norwegia juga membentuk pendanaan bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UN-REDD senilai US$ 50 juta untuk sembilan negara, termasuk Indonesia. Tiap negara kebagian US$ 5 juta. Sisanya, US$ 5, juta merupakan jatah belanja PBB.
”Ketika kerja sama tersebut diumumkan, Indonesia merasa terganggu,” kata Agus. Alhasil, delegasi Norwegia diberondong berbagai pernyataan kritis dan keras dari para pejabat Indonesia, ketika berkunjung ke Jakarta. Mereka kaget, tak menyangka bila kerja sama bilateral dan multilateral itu diperbandingkan secara kontras. Karena itulah Duta Besar Perubahan Iklim Norwegia Hans Brattskar buru-buru melakukan klarifikasi di Poznan. Kendati hutan Indonesia cuma seperlima Brazil, Norwegia memahami kerumitan pengelolaan hutan di negara kepulauan, dengan populasi penduduk tinggi. Belum terlontar komitmen US$ 1 miliar kepada Indonesia, pada Sabtu malam itu.
Komunikasi intensif terus dilakukan antara Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia dan Direktorat Perubahan Iklim Norwegia. Konferensi jarak jauh digelar dua pekan sekali, lantas meningkat menjadi sepekan sekali. Rapat membahas draf perjanjian kerja sama. Indonesia meminta nilai uang disebutkan. Sebaliknya, Norwegia menolak. Sebab, anggaran pada tahun tersebut sedang berjalan. Padahal, seperti umumnya, setiap penggunaan bujet mesti mendapat persetujuan parlemen. Akhirnya, mereka menyampaikan komitmen US$ 1 miliar, bagian dari ”belanja karbon” Norwegia selama 6-8 tahun.
Kerja sama Indonesia-Norwegia disepakati dibagi dalam tiga fase. Pertama, persiapan, Juli-Desember 2010, yakni membuat rencana aksi nasional, membentuk lembaga pengelola dana hibah (trust fund) dan lembaga pengukur, pelaporan, dan verifikasi (measurement, reporting, and verification/MRV) untuk memantau keberhasilan, serta menentukan provinsi sebagai proyek percontohan. ”Pada tahap ini, sampai tahun ini, diharapkan dana awal cair US$ 100-200 juta,” kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hassan saat berkunjung ke redaksi Tempo pekan lalu.
Pada fase kedua, kata Zulkifli, Januari 2011-Desember 2013, yang dilakukan adalah mengoperasikan lembaga pembiayaan, moratorium izin baru konversi hutan alam primer dan gambut, menyusun database hutan rusak untuk memfasilitasi kegiatan ekonomi, penegakan hukum penebangan kayu ilegal dan perdagangan kayu gelondongan. Selanjutnya fase ketiga, Januari 2014, adalah pelaksanaan moratorium secara nasional. Pada tahun itu juga dilakukan penghitungan REDD untuk mencairkan dana hibah.
SERASA menemukan durian runtuh. Pemerintah Indonesia pun supersibuk menyiapkan infrastruktur untuk memenuhi butir-butir perjanjian. Salah satunya merancang pembentukan lembaga penampung dan pengelola dana bantuan perubahan iklim. Namanya Indonesia Climate Change Trust Fund. Sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Syahrial Loetan ditunjuk sebagai ketua steering committee pembentukan lembaga tersebut.
Menurut Syahrial, Indonesia Climate Change Trust Fund alias ICCTF telah dibikin pertengahan tahun lalu. Namun bentuknya baru sebatas fasilitas rekening penampung dana hibah perubahan iklim. Lembaga pengelolanya belum ada. Untuk sementara, pemerintah menunjuk United Nations Development Programme (UNDP). Sebagai lembaga internasional, UNDP dinilai berpengalaman dan kredibel. ”Supaya negara donor percaya.”
Saat ini akun ICCTF telah terisi dana 350 ribu pound sterling, pencairan hibah dari Inggris awal tahun ini. Negara donor lain, seperti Belanda, Prancis, dan Jepang, juga tertarik membantu. Tapi mereka ingin melihat akuntabilitas pengelolaan dana terlebih dulu.
Toh, lembaga pengelola dana REDD harus segera dibikin. Sebab, kontrak UNDP cuma sampai awal tahun depan. Beberapa negara, tutur Syahrial, menggunakan bank. Begitu juga Brasil, dengan Amazon Fund. Kepiawaian perbankan mengelola uang memang tidak diragukan. Tapi kemampuan bank menilai proposal kegiatan perubahan iklim minim. ”Mereka tidak punya ahli,” kata Syahrial. Salah satu opsinya adalah dengan konsep bank plus, memperkuat bank dengan sumber daya yang memahami persoalan perubahan iklim. Muncul pula opsi mendirikan lembaga baru yang khusus menangani dana hibah ini.
Kementerian Kehutanan tak kalah sibuk. Menteri Zulkifli menyodorkan Kampar di Riau sebagai proyek percontohan. Empat provinsi lain—Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Jambi-Bengkulu, dan Papua—juga ditawarkan untuk dipilih salah satu. Yang apes Kementerian Pertanian, karena moratorium tak seirama dengan target ketahanan pangan nasional. Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengatakan, harus ada pengaturan ulang kegiatan yang membutuhkan pembukaan lahan besar-besaran, seperti Merauke Food Estate (lihat ”Seret Gula Lantaran Moratorium”).
Namun Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Hadi Daryanto menjamin moratorium tidak akan mematikan dunia usaha. Sebab, salah satu butir letter of intent memperbolehkan hutan rusak atau yang terdegradasi untuk diusahakan secara ekonomi, ketimbang membuka area baru.
Pemerintah optimistis, dengan kerja ekstrakeras, target penurunan emisi bakal tercapai. Tujuh puluh matriks program atawa rencana aksi nasional telah disiapkan. Seluruh program bisa menghasilkan penghematan emisi malah bisa mencapai miliaran ton. Padahal, penurunan 26 persen emisi cuma membutuhkan 700-an juta ton. Artinya, kata Agus, jika sukses, penurunan bisa 2-3 kali lebih banyak dari apa yang dijanjikan dalam Kopenhagen.
Hadi menambahkan, hibah akan cair sebesar angka pencapaian penurunan emisi, dikalikan harga pasar karbon. Bila hasil pengukuran menunjukkan emisi karbon Indonesia terbukti turun, pemerintah bakal menggaet rezeki. Jika sebaliknya, pemerintah cuma gigit jari.
Retno Sulistyowati, Agoeng Wijaya, Adisti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo