Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - MENJELANG Joko Widodo lengser pada periode kedua kekuasaannya, 20 Oktober nanti, kami memutuskan untuk memeriksa janji-janjinya, melihat apa yang telah dia perbuat, dan menyajikannya dalam sebuah edisi khusus. Edisi khusus 10 Tahun Jokowi ini terbit untuk memperingati penetapan Komisi Pemilihan Umum atas kemenangan Jokowi dalam pemilihan presiden 2014 pada 22 Juli. Mulai hari ini dan besok, Tempo.co akan menurunkan Edisi Khusus 10 Tahun Pemerintahan Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam 10 tahun terakhir, posisi cadangan devisa naik-turun. Pada akhir 2014, cadangan devisa tercatat US$ 111,86 miliar. Penghujung 2022, cadangan devisa turun menjadi US$ 137,23 miliar dan di akhir 2023, naik lagi menjadi US$ 146,38 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Per Juni 2024, BI melaporkan cadangan devisa sebesar US$ 140,17 miliar. Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menyebutkan faktor-faktor pendorong meningkatnya cadangan devisa akhir Juni.
"Dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa serta penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, di tengah kebutuhan stabilisasi nilai tukar rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global," kata Erwin dalam keterangan resmi pada Jumat, 5 Juli 2024.
Sementara Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia (BI) Edi Susianto menjelaskan, pinjaman valas pemerintah dan penerimaan pajak pemerintah dalam bentuk valas akan menambah cadangan devisa. Sementara pembayaran utang luar negeri pemerintah akan mengurangi cadangan devisa.
“Stabilitas nilai tukar bisa menambah dan mengurangi cadangan devisa,” kata Edi pada Kamis, 26 Juli 2024.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dapat berimbas pada naiknya harga sejumlah komoditas yang bersumber dari impor, serta menggerus cadangan devisa. Pelemahan mata uang rupiah akan berdampak pada harga komoditas minyak mentah, pupuk, hingga alat elektronik.
"Pelemahan mata uang rupiah ini akan berdampak terhadap harga-harga komoditas. Salah satu adalah bahan komoditas impor seperti pupuk, alat elektronik, minyak mentah," kata Ibrahim, dikutip Sabtu, 15 Juni 2024.
Indonesia masih mengimpor minyak mentah sebanyak 200 ribu barel per hari. Jumlah impor ini, kata Ibrahim bisa saja berkurang karena kondisi yang terjadi. "Ini sudah terlihat dari BBM bersubsidi yang semakin sulit, baik Pertalite maupun Biosolar. Bahkan, saat ini di kota-kota besar pun juga sudah antre panjang," tuturnya.
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono mengatakan sudah saatnya pemerintah memfokuskan dua kebijakan yang selama ini terabaikan. Kebijakan ini untuk meningkatkan pasokan dolar AS untuk menguatkan rupiah dan bisa untuk menambah cadangan devisa.
Pertama, menerapkan pajak tambahan atas pendapatan tak terduga dari sumber daya alam atau disebut windfall tax. Pasca pandemi, harga komoditas dunia melonjak jauh di atas harga normal. Pecahnya perang Rusia-Ukraina juga semakin mengerek harga komoditas.
Sebagai eksportir komoditas, terutama batu bara dan minyak kelapa sawit, Indonesia mendapatkan berkah ini. Seperti ekspor batu bara tahun 2020 yang mencapai US$ 14,55 miliar, pada 2022 tembus US$ 46,74 miliar. Namun, keuntungan ini tidak dirasakan publik karena tidak ada penerapan windfall tax. “Keuntungan dari windfall sepenuhnya dinikmati pengusaha,” kata Yusuf pada Selasa, 23 Juli 2024.
Opsi kebijakan kedua adalah pemberlakuan repatriasi devisa hasil ekspor (DHE). Kegagalan repatriasi DHE, kata Yusuf, membuat upaya stabilisasi rupiah kini berbasis intervensi valas dengan cadangan devisa yang terbatas.
Di samping itu, juga beban atas kenaikan suku bunga domestik harus ditanggung seluruh negeri. “Padahal, kita memiliki bantalan ekonomi yang kuat untuk menjaga rupiah, yaitu surplus neraca perdagangan yang sudah 50 bulan berturut-turut surplus sejak Mei 2020 senilai US$ 162,52 miliar.”
Yusuf menyebut pemberlakuan repatriasi DHE sumber daya alam sangat krusial, karena nilainya signifikan dan lebih besar dibandingkan cadangan devisa per Juni yang hanya US$ 140,17 miliar itu. “Ini menjadi amat tidak bermoral ketika surplus neraca perdagangan kita demikian besar, namun tidak kembali ke dalam negeri, sehingga rupiah melemah,” ujar Yusuf.
ANNISA FEBIOLA