Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam dua pekan terakhir 2023, pemerintah mengucurkan dana belanja sebesar Rp 533,7 triliun.
Salah satu pos yang banyak menyedot belanja adalah pos pelindungan sosial.
Belanja bantuan sosial dan subsidi memiliki dampak jangka pendek terhadap perekonomian.
JAKARTA — Gelontoran belanja negara semakin masif pada pengujung 2023. Hingga tutup buku, belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 terserap Rp 3.121,9 triliun atau mencapai 100,2 persen dari target terbaru yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 3.117,2 triliun. Padahal, per 12 Desember 2023, belanja negara baru terealisasi Rp 2.588,2 triliun atau 83,03 persen. Artinya, dalam dua pekan terakhir, pemerintah mengucurkan dana belanja sebesar Rp 533,7 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti, mengungkapkan bahwa belanja negara terus digenjot, khususnya dalam tiga hari terakhir, yaitu 29-31 Desember 2023. Belanja akhir tahun itu terbagi ke dalam tiga kluster. Di antaranya adalah kluster transfer ke daerah, khususnya pembayaran Dana Bagi Hasil (DBH) dan sebagian Dana Alokasi Umum (DAU). “Jumlahnya cukup besar dan baru terealisasi akhir tahun karena persyaratannya baru terpenuhi,” ujarnya, kemarin, 2 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kluster belanja kedua adalah pembayaran subsidi pupuk dan kluster ketiga adalah pembayaran penyertaan modal negara (PMN) yang sebelumnya harus lebih dulu memenuhi persyaratan hukum yang diminta. Adapun jumlah pembayaran untuk kluster subsidi dan kompensasi diperkirakan Rp 85 triliun, sedangkan sisanya adalah transfer daerah dan PMN.
Salah satu pos belanja yang banyak menyedot belanja pada 2023 adalah anggaran pelindungan sosial, dengan realisasinya mencapai Rp 443,4 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan belanja bantuan sosial yang jorjoran sepanjang tahun lalu dimaksudkan untuk menjaga daya beli masyarakat dan momentum pertumbuhan ekonomi.
Belanja pelindungan sosial melalui kementerian/lembaga sebesar Rp 159,6 triliun, antara lain untuk penyaluran bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) kepada 9,9 juta keluarga sebesar Rp 28,1 triliun, penyaluran bantuan Kartu Sembako kepada 18,7 juta keluarga penerima manfaat sebesar Rp 44,5 triliun, dan penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) El Nino untuk 18,6 juta keluarga sebesar Rp 7,5 triliun.
Selanjutnya, belanja pelindungan sosial non-kementerian/lembaga mencapai Rp 269,1 triliun, yang digunakan untuk subsidi BBM sebanyak 16,5 juta kiloliter sebesar Rp 21,3 triliun; subsidi listrik untuk 64,5 terawatt-hour sebesar Rp 68,7 triliun; subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk 4,6 juta debitor sebesar Rp 40,9 triliun; dan penyaluran bantuan pangan untuk 21,3 juta keluarga sebesar Rp 7,8 triliun.
Baca Juga:
Sri Mulyani berujar, pada 2023, ada setidaknya dua kebutuhan belanja spesifik yang digelontorkan secara khusus oleh pemerintah. “Pertama adalah anggaran pemilu yang realisasinya mencapai Rp 29,9 triliun atau 98,4 persen dari pagu Rp 30,4 triliun,” ucapnya. Adapun mayoritas belanja dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebesar Rp 26,1 triliun.
Kebutuhan belanja itu mencakup kebutuhan logistik pemilu, pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, hingga pengawasan masa kampanye. Anggaran pemilu itu pun masih akan berlanjut pada tahun ini dengan target sebesar Rp 38,2 triliun.
Pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Nusantara, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 7 Desember 2023. ANTARA/M. Risyal Hidayat
Kebutuhan belanja berikutnya adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dalam APBN 2023 terealisasi Rp 26,7 triliun atau 97,6 persen dari pagu Rp 27,4 triliun. Kluster infrastruktur menyedot anggaran terbesar, yaitu mencapai Rp 23,8 triliun, dengan pemanfaatannya meliputi pembangunan Istana Negara dan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan, kawasan permukiman, pembangunan jalan tol IKN, serta pembangunan bendungan dan daerah aliran sungai (DAS).
Adapun sisanya adalah kluster non-infrastruktur sebesar Rp 2,9 triliun, dengan pemanfaatan untuk perencanaan pemindahan, rekomendasi kebijakan, kegiatan pemetaan, pemantauan, dan evaluasi, hingga operasional Otorita IKN. “Anggaran IKN periode 2024 akan jauh lebih besar lagi, dengan target Rp 40,6 triliun.”
Baca Juga:
Defisit APBN 2023 Sebesar Rp 347,6 Triliun
Secara keseluruhan, APBN 2023 membukukan defisit anggaran sebesar Rp 347,6 triliun atau setara dengan 1,65 persen dari produk domestik bruto. Defisit itu lebih rendah daripada target Rp 479,9 triliun atau 2,27 persen dari PDB. Defisit tak bisa terhindarkan akibat jumlah pendapatan yang lebih kecil dibanding belanja. Realisasi pendapatan negara hingga akhir 2023 tercatat sebesar Rp 2.774,3 triliun atau mencapai 105,2 persen dari target Rp 2.637,2 triliun.
Sebaliknya, keseimbangan primer pada APBN 2023 mencatatkan surplus sebesar Rp 92,2 triliun. Surplus ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak 2012. Keseimbangan primer adalah total pendapatan negara yang dikurangi belanja negara, tapi di luar pembayaran bunga utang.
Dengan keseluruhan kinerja APBN tersebut, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2023 akan berada sedikit di atas 5 persen. Proyeksi itu melunak dari sebelumnya menyentuh 5,1 persen. “Asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN 2023 sekitar 5,3 persen, tapi sepertinya realisasinya hanya akan mencapai 5,05 persen,” kata Sri Mulyani.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, mengungkapkan bahwa pola dan siklus belanja APBN 2023 menggambarkan upaya keras pemerintah untuk mendorong realisasi APBN secepatnya pada pengujung tahun. “Memang realisasi yang paling mudah dan cepat adalah yang bersifat belanja bantuan sosial dan berbagai subsidi karena mudah dan bisa cepat tanpa perlu ada tender atau pengadaan,” ucapnya.
APBN Minim Daya Ungkit
Namun efektivitas dan dampak dari prioritas belanja itu nyatanya tak sebanding dengan nominal yang telah digelontorkan. Menurut Teguh, belanja bantuan sosial dan subsidi cenderung memiliki dampak jangka pendek berupa konsumsi masyarakat. “Pertumbuhan ekonomi bisa tetap 5 persen saja sudah cukup bagus di tengah kondisi perekonomian global yang tak menentu.” Di sisi lain, komponen belanja pemerintah dalam perekonomian pun terhitung kecil, yaitu tidak sampai 10 persen dari PDB, sehingga daya ungkit APBN tidak sebesar yang diharapkan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menimpali, siklus belanja yang jorjoran pada akhir tahun merupakan pola berulang yang menunjukkan kualitas belanja yang rendah. “Artinya, perencanaan anggaran masih belum tepat waktu. Seharusnya belanja dibagi merata, bukan belanja pegawai yang didorong pada awal tahun, lalu pengadaan barang dan jasa pada akhir tahun,” katanya.
Kesalahan perencanaan tersebut, kata Bhima, perlu dijadikan evaluasi, khususnya memasuki 2024 dengan pertumbuhan ekonomi ditargetkan lebih tinggi lagi, yaitu 5,2 persen. “Karena dikejar waktu, realisasi akhir tahun akhirnya asal-asalan, yang penting memenuhi syarat administrasi,” ucap Bhima. Model belanja yang direalisasi pada akhir tahun itu akan mengurangi kontribusi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi serta menurunkan kualitas belanja.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo