Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ekonom Sebut Putusan MK Jadi Preseden Buruk yang Wajarkan Politisasi Bansos

Putusan MK yang menolak gugatan hasil Pilpres disebut akan menyuburkan politisasi Bansos buat elektoral Pemilu.

23 April 2024 | 14.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal sengketa Pilpres 2024 yang dibacakan kemarin akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi, baik di tingkat lokal maupun nasional. Dia berpendapat politisasi bansos nantinya akan diwajarkan dalam praktik bernegara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pasca putusan MK ini politisasi bantuan sosial (bansos) dan penggunaan anggaran publik untuk kepentingan elektoral penguasa akan semakin marak ke depan," kata Yusuf dalam keterangan tertulisnya kepada Tempo, Selasa, 23 April 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonom itu mengaku heran atas pandangan mayoritas hakim MK yang menyatakan tidak menemukan bukti yang dapat mengkonfirmasi bahwa penyaluran bansos yang dilakukan Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden Praboow Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Menurut dia, politisasi bansos justru terlihat jelas ditujukan untuk memenangkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. 

Dia juga menerangkan bahwa kesimpulan tentang ketiadaan intensi presiden dalam penyaluran bansos yang menguntungkan mantan rival dan anak sulungnya itu hanya berdasarkan pada keterangan empat menteri yang dihadirkan ke persidangan MK. 

"Kesimpulan MK in semakin mengherankan karena MK kemudian meminta agar ke depan Bansos tidak lagi dilakukan jelang pemilu," ujarnya. 

Dia menilai rekomendasi tersebut justru menunjukkan bahwa MK mengakui adanya potensi keuntungan elektoral yang dinikmati petahana dari penyaluran bansos yang masif jelang pemilu.

"Ini pembodohan publik yang luar biasa menurut saya, nalar publik direndahkan oleh kesimpulan MK ini," tuturnya.

Selain menolak dalil-dalil kualitatif, Yusuf menjelaskan, majelis hakim MK juga menolak dalil-dalil kuantitatif ihwal masifnya penyaluran bansos jelang pemilu. Menurut dia, pola anggaran perlindungan sosial (Perlinsos) secara jelas menunjukkan pola electoral budget cycle.

Secara rinci dia menyebutkan bahwa anggaran perlindungan sosial (Perlinsos) meningkat signifikan pada masa pandemi, dari Rp 308 triliun pada 2019 menjadi Rp 498 triliun pada 2020, tumbuh 61,5 persen. Bagi dia, peningkatan itu wajar karena Indonesia menghadapi krisis akibat pandemi.

Tak sampai di situ, dia menjelaskan bahwa ketika pandemi berlalu anggaran Perlinsos menurun. Turun -6,0 persen pada 2021, turun -1,6 persen pada 2022, dan diproyeksikan turun -4,,7 persen pada 2023. Namun, Yusuf menerangkan, jelang pemilu 2024 anggaran perlinsos naik, dari Rp 439 triliun pada 2023 menjadi Rp 494 triliun pada APBN 2024 atau tumbuh 12,4 persen.  

Selanjutnya, dia menyebut anggaran belanja bansos yang sangat besar terus dipertahankan meski pandemi telah berakhir. Anggaran belanja bansos pada 2023 diproyeksikan Rp 146,5 triliun dan pada 2024 Rp 152,3 triliun, jauh meningkat dari anggaran sebelum pandemi yang hanya Rp 112,5 triliun pada 2019. 

"Anggaran bansos meningkat signifikan dan sedemikian masif jelang pilpres, padahal tidak ada kegentingan ekonomi yang luar biasa," ucapnya. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus