Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Waspada Manufaktur Terus Melambat

Ekspansi industri manufaktur pada April 2024 melambat. Jika berlanjut, pertumbuhan ekonomi 5 persen bisa sulit dicapai. 

4 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Setelah mencapai rekor tertinggi pada Maret 2024 di level 54,2, Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2024 anjlok ke angka 52,9. Artinya, ekspansi sektor manufaktur di Tanah Air melambat.

  • Direktur Ekonomi S&P Global Market Intelligence Paul Smith mengatakan melambatnya ekspansi manufaktur mendorong perusahaan mengurangi jumlah tenaga kerja.

  • Turunnya PMI Manufaktur pada April 2024 membuat para pengusaha waspada terhadap perkembangan iklim usaha/investasi jangka pendek.

SETELAH mencapai rekor tertinggi pada Maret 2024 di level 54,2, Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2024 anjlok ke angka 52,9. Artinya, ekspansi sektor manufaktur di Tanah Air melambat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PMI Manufaktur merupakan indikator ekonomi yang mencerminkan keyakinan manajer bisnis di sektor manufaktur. Skor PMI di atas 50 menunjukkan sektor manufaktur berada di level ekspansi. Sebaliknya, jika angkanya di bawah 50, industri berada di fase kontraksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Maret lalu, PMI Manufaktur Indonesia, berdasarkan survei S&P Global Indonesia, mencetak rekor 54,2 atau yang tertinggi sejak dua tahun terakhir. Namun, pada April, PMI anjlok ke angka 52,9.

Ekspansi manufaktur pada April 2024 terjadi akibat turunnya penjualan ekspor, tingkat pertumbuhan produksi, dan permintaan baru. Menurut data Badan Pusat Statistik, ekspor industri pengolahan pada Januari-Maret 2024 mencapai US$ 45,2 miliar atau turun 4,92 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu: US$ 47,5 miliar. 

Direktur Ekonomi S&P Global Market Intelligence Paul Smith mengatakan melambatnya ekspansi manufaktur mendorong perusahaan mengurangi jumlah tenaga kerja. Fenomena tersebut dianggap sebagai menurunnya optimisme perusahaan. Bahkan kepercayaan diri perusahaan turun ke tingkat terendah selama hampir empat tahun terakhir pada April ini.

Survei S&P Global Market Intelligence itu sejalan dengan data Kementerian Perindustrian yang mencatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada April 2024 menurun 0,75 poin dibanding pada Maret 2024 yang sebesar 53,05. Jumlah subsektor yang mengalami ekspansi pada April 2024 tercatat sebanyak 19 subsektor, menurun dari Maret 2024 yang sebanyak 21 subsektor. Jumlah subsektor yang mengalami peningkatan IKI pada April 2024 sebanyak tujuh subsektor, anjlok dari 15 subsektor pada Maret 2024. IKI adalah indikator derajat keyakinan atau tingkat optimisme industri manufaktur terhadap kondisi perekonomian. IKI juga memberi gambaran kondisi industri pengolahan.



Turunnya PMI Manufaktur pada April 2024 membuat para pengusaha waswas. “Kami melihat PMI April yang turun sebagai sinyal bahwa kita perlu waspada terhadap perkembangan iklim usaha/investasi jangka pendek,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani, kemarin, 3 Mei 2024. 

Menurut Shinta, proyeksi kinerja produksi manufaktur menjadi lebih landai karena kondisi geopolitik. Di antaranya kenaikan suku bunga, kenaikan beban impor bahan baku, dan depresiasi nilai tukar. Setelah libur Lebaran, nilai tukar rupiah tak pernah lagi menyentuh level di bawah 16 ribu per dolar AS, yang dipicu oleh faktor eksternal konflik Iran-Israel. Kemarin, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) berada di level 16.094 per dolar AS.

Menurut Shinta, kondisi tersebut menyebabkan risiko pengusaha untuk melakukan ekspansi meningkat. Akibatnya, para pelaku usaha mengerem upaya meningkatkan produksi dalam jangka pendek. Untuk saat ini, pelaku usaha berfokus memastikan kelancaran arus kas, efisiensi beban produksi, dan pengadaan bahan baku. Langkah itu dilakukan untuk menghindari risiko berlebihan ketika perusahaan melakukan ekspansi produksi.

Shinta berharap pemerintah bisa menciptakan stabilitas makroekonomi, khususnya penguatan nilai tukar dan peningkatan efisiensi beban impor. Jika hal itu tercipta, dia yakin sektor manufaktur akan kembali ekspansif. “Jangan sampai confidence ekspansi yang masih tinggi ini menjadi lebih rendah lagi hanya karena pemerintah tidak bisa menciptakan stabilitas makro,” katanya.

Adapun soal pemangkasan jumlah karyawan, dia mengatakan kemungkinan besar hanya akan ada pengurangan rekrutmen pekerja baru dan pekerja sementara. Skenario terburuk bila kondisi ekonomi menekan upaya ekspansi, Shinta memperkirakan pemangkasan pekerja terjadi pada karyawan yang kontraknya habis atau menghentikan kontrak outsource

“Kemungkinan PHK juga masih terbuka meskipun untuk saat ini bergantung pada seberapa parah penurunan kondisi ekonomi nasional yang mempengaruhi cost of doing business and cost of production di Indonesia,” ujar Shinta. 

Pekerja merakit mobil di PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia , Sukamukti, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan

Direktur Utama PT Sekar Lima Pratama Liliek Setiawan mengatakan, untuk bisa berekspansi, perusahaan harus menemukan ceruk pasar dan pola manajemen yang baru. Namun, untuk mengembangkan ceruk pasar yang baru tidak mudah. “Perlu biaya dan waktu,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jawa Tengah tersebut.

Menurut Liliek, untuk menemukan ceruk pasar yang baru, sebuah perusahaan perlu melakukan riset dan pengembangan lebih dulu. Setelah itu, perlu disosialisasi agar pasar mengetahuinya.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, meski PMI Manufaktur masih di atas 50 atau ekspansif, bukan berarti industri tidak akan melakukan koreksi jika kondisi terus berlanjut. Karena itu, dia menyarankan pemerintah memperkuat industri dengan membatasi impor barang manufaktur. Hal itu dilakukan agar industri manufaktur bisa tetap berekspansi dengan mengandalkan pasar domestik. Jika banjir barang-barang impor terjadi, Bhima khawatir produk manufaktur dalam negeri kalah bersaing.

Bhima mengatakan pemerintah juga perlu memberikan insentif khusus kepada industri manufaktur. Selain itu, mendorong konsumsi domestik lebih tinggi. Dengan daya beli masyarakat yang tinggi, permintaan barang-barang manufaktur akan tetap terjaga.

Jika PMI terus turun, Bhima khawatir perusahaan manufaktur akan memangkas jumlah karyawan, menahan rekrutmen karyawan baru, mengurangi jam kerja karyawan, hingga menunda pembayaran pembelian bahan baku. Penyerapan tenaga kerja juga akan tersendat jika sektor manufaktur terus turun. Begitu pula dengan kredit ke sektor industri yang akan anjlok. “Kalau industrinya menunjukkan tren penurunan, pertumbuhan ekonomi sulit mencapai level 5 persen tahun ini,” kata Bhima. Pemerintah menargetkan ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen pada tahun ini atau di atas proyeksi Dana Moneter Internasional yang sebesar 5,0 persen dan Bank Dunia 4,9 persen.

Pekerja menyelesaikan produksi lemari es di LG Factory, Legok, Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan

Adapun Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan PMI Manufaktur Indonesia pada April 2024 masih solid dan sehat. PMI Manufaktur Indonesia pada April 2024 mampu melampaui PMI Manufaktur ASEAN yang berada di level 51. PMI Manufaktur Indonesia juga berada di atas Thailand (48,6); Malaysia (49,0); Myanmar (49,9); Taiwan (50,2); Vietnam (50,3); dan Filipina (52,2).

“Kami tetap berfokus menjalankan kebijakan strategis dalam mewujudkan industri yang berdaya saing, yakni melalui program substitusi impor, peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN), dan penghiliran sumber daya alam,” kata Agus.

Dia menegaskan, Kementerian Perindustrian bertekad memperjuangkan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) dinikmati seluruh sektor industri agar bisa mendongkrak daya saing. Karena itu, Kementerian Perindustrian telah mengirim surat evaluasi program tersebut ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurut Agus, perluasan program untuk seluruh industri manufaktur hanya memerlukan 30 persen dari total produksi gas dalam negeri.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Septhia Ryanthie di Solo berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus