Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Awas bahaya. Ada buaya di waduk ini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERINGATAN itu tertulis di papan berkelir merah di balik pagar besi yang mengitari Waduk Duriangkang, Batam, Kepulauan Riau, pada 6 April lalu. Mungkin saja dalam beberapa tahun ke depan isi tulisannya berubah menjadi, "Awas bahaya. Ada listrik di waduk ini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waduk Duriangkang segera bersalin rupa. Bendungan seluas 15.500 hektare ini bakal dipenuhi panel-panel komponen utama pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Tak hanya memasok air baku untuk warga Batam, Waduk Duriangkang akan menjadi ladang setrum tenaga surya yang mengalirkan listrik hingga ke Singapura. Ada perusahaan besar yang akan membangun PLTS di bendungan terbesar di Batam itu.\
Pada 19 Desember 2022, Badan Pengusahaan (BP) Batam menetapkan PT Adaro Power, anak usaha PT Adaro Energy Tbk, sebagai pemenang tender penggunaan Waduk Duriangkang sebagai ladang PLTS terapung. Ini terjadi sebulan sejak pemerintah menyetujui ekspor listrik ke Singapura. Adaro akan berbagi Waduk Duriangkang bersama PT Air Baku Hulu, perusahaan yang ditunjuk BP Batam untuk mengelola sumber air baku.
Acara penandatanganan nota kesepahaman tentang rencana kerja sama pembangunan, kepemilikan, dan pengoperasian proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya terapung antara PT PLN Batam, PT PLN Nusantara Power, dan PT Energi Baru TBS, di kantor PT PLN Batam, 17 April 2023. plnbatam.com
Kepada Tempo pada Jumat, 2 Juni lalu, Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira mengatakan proyek PLTS Duriangkang menjadi upaya perseroan untuk memperluas pilihan energi primer untuk listrik. Adaro selama ini dikenal sebagai pemain besar batu bara di Indonesia, yang juga menjadi pemasok bahan bakar itu ke sejumlah pembangkit listrik tenaga uap.
Adaro gesit menyambar peluang setelah pemerintah membuka keran ekspor listrik ke Singapura. Tapi Singapura tak mau membeli listrik dari bahan bakar fosil seperti batu bara, melainkan dari sumber energi baru dan terbarukan. Ini yang mendorong Adaro membangun PLTS di Batam, yang listriknya akan dijual ke Singapura.
Tak hanya Singapura yang memberi syarat, pemerintah Indonesia pun punya kehendak lain. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan ekspor listrik bisa terjadi asalkan panel surya untuk PLTS dibuat di Indonesia. Kehendak ini menjadi bagian dalam kesepakatan yang diteken Indonesia dan Singapura dalam agenda Leaders Retreat pada 16 Maret lalu.
Sebelum menyetujui skema ekspor listrik, Luhut sempat kesal. Beberapa waktu lalu dia menyatakan Singapura berpikir Indonesia bodoh karena akan mengekspor listrik begitu saja tanpa mempertimbangkan kepentingan industri dalam negeri. Karena itu, muncul syarat penggunaan panel surya buatan Indonesia dalam perdagangan listrik lintas batas tersebut.
•••
PELUANG ekspor listrik ke Singapura tercium sejak November 2019. Saat itu, dalam acara Singapore International Energy Week, Energy Market Authority (EMA) selaku otoritas perdagangan energi Singapura mengumumkan program bernama Regional Power Grids. Program ini menjadi cara Singapura mendapatkan pasokan listrik dari energi bersih sebagai pengganti gas alam. Sebanyak 95 persen sumber listrik di Singapura memakai energi primer dari gas alam.
Lantaran permintaan listrik kian tinggi, termasuk dari industri pusat data yang memakan energi besar, Singapura mencari pasokan ke negeri tetangga, seperti Indonesia dan Malaysia. Pemerintah Negeri Singa minimal akan membeli listrik dari energi baru dan terbarukan bersih hingga 4 gigawatt (GW). Sebagai permulaan, pemerintah Singapura menunjuk YTL PowerSeraya Pte Ltd membeli listrik dari Malaysia pada 2023 lewat jaringan interkoneksi Singapura-Semenanjung Malaya sebesar 100 megawatt. Sejak saat itu, banyak pengusaha yang mengincar potensi bisnis tersebut.
Di Indonesia, yang mengawali rencana ekspor listrik tak lain adalah perusahaan dari Singapura sendiri, yaitu Sunseap Group Pte Ltd. Pada 19 Juli 2021, Sunseap meneken nota kesepahaman dengan BP Batam untuk memakai Waduk Duriangkang sebagai lokasi pembangunan PLTS terapung. Sunseap berniat menjadikan Waduk Duriangkang sebagai lokasi PLTS terapung terbesar di dunia dengan kapasitas 2,2 gigawatt-peak.
Lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Waduk Duriangkang, Batam, Kepulauan Riau, 6 April 2023. Tempo/Khairul Anam
Sunseap meneken nota kesepahaman dengan BP Batam di tengah proses akuisisi oleh raksasa listrik Portugal, EDP Renewable. Pada November 2021, EDP Renewable menjadi pemegang saham mayoritas Sunseap dengan mahar US$ 816 juta.
Rupanya, proyek Sunseap memancing perhatian perusahaan lain. Pada Januari 2022, Adaro Power menjajaki kesepakatan penggunaan Waduk Duriangkang kepada BP Batam. Bahkan muncul perusahaan lain yang mengajukan permohonan izin pengelolaan sejumlah waduk seperti Waduk Tembesi.
Di tengah proses ini, BP Batam mendapatkan arahan dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan untuk melelang pengelolaan Waduk Duriangkang dan waduk lain yang akan menjadi lokasi PLTS terapung. Pengelolaan waduk sebagai barang milik negara oleh pihak ketiga harus melalui proses lelang. Karena itu, BP Batam kemudian melelang pengelolaan Waduk Duriangkang dan Waduk Tembesi.
BP Batam mengumumkan hasil lelang itu pada 19 Desember 2022. BP Batam menunjuk Adaro Power sebagai pengembang PLTS di Waduk Duriangkang dan PT TBS Energi Utama sebagai pengembang di Waduk Tembesi. TBS Energi dulu bernama PT Toba Bara Sejahtera, perusahaan yang didirikan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan. Berbeda dengan PLTS di Duriangkang yang akan mengirim listrik ke Singapura, panel surya di Waduk Tembesi akan memasok PT Pelayanan Listrik Nasional Batam (PLN Batam). PLN Batam akan memakai listrik itu untuk kompleks data centre di Nongsa Digital Park.
Dua pejabat yang mengetahui proses lelang itu menyatakan Sunseap kecewa atas keputusan BP Batam melelang pengelolaan Waduk Duriangkang. Menurut sumber itu, Sunseap kemudian keluar dari proyek ini. "Sunseap kecewa karena merasa seharusnya mereka yang mengelola waduk itu karena memulai dari awal," katanya. Padahal kerja sama BP Batam dengan Sunseap baru sebatas nota kesepahaman yang belum mengikat.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait tidak memberi jawaban ihwal tender penggunaan Waduk Duriangkang. Sedangkan Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira mengatakan perseroan memenangi tender setelah melalui seluruh tahapan, "Secara terbuka dan transparan," katanya pada Jumat, 2 Juni lalu.
Bagi Adaro, proyek PLTS di Waduk Duriangkang menjadi langkah besar untuk memastikan perusahaan itu memperoleh porsi ekspor listrik ke Singapura. Kini, bersama entitas di bawah grup Salim, PacificLight Power Pte Ltd, Adaro Energy melalui Adaro Solar International Pte Ltd tercatat sebagai calon eksportir setrum bersih di EMA Singapura.
Selain Adaro yang berkongsi dengan grup Salim, ada pula perusahaan asing yang menggandeng pengusaha lokal. Di antaranya SembCorp yang menggandeng PLN Batam dan Suryagen hingga Marubeni dan Sunseap yang mengajak PT Wiraraja Technology, perusahaan di bawah Wiraraja Group milik pengusaha asal Batam, Akhmad Ma'ruf Maulana.
•••
PERNYATAAN Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam acara World Economic Forum 2022 di Davos, Swiss, pada Mei 2022 memicu gejolak. Saat itu Bahlil mengatakan akan melarang ekspor listrik ke Singapura demi memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Pernyataan Bahlil pun membuat pengusaha gelagapan.
Menurut seorang pemilik perusahaan yang ikut dalam ekspor listrik, pernyataan Bahlil mengherankan. Sebab, sejak rencana ini digagas pada 2021, perwakilan pemerintah Indonesia tahu dan bahkan menyaksikan kesepakatan dengan Singapura. "Kami pikir semua aman-aman saja. Kok, tiba-tiba muncul larangan," katanya pada Rabu, 31 Mei lalu.
Senada dengan ucapan Bahlil setahun lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan juga menyinggung permintaan Singapura mengenai ekspor listrik. Dalam seminar yang diselenggarakan Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung angkatan 1978 pada 9 Mei lalu, Luhut mengatakan Indonesia baru mau mengekspor listrik jika proyek pembangkit energi baru berikut industri manufakturnya berada di Indonesia. "Jadi jangan kau yang atur. Ini kan brengsek, Singapura. Dia pikir kita bodoh aja," tuturnya.
Sebelum Luhut melontarkan pernyataan keras, pembahasan produksi panel surya sudah berjalan di akhir kuartal pertama tahun ini. Kepada Tempo pada 3 April lalu, Direktur Utama PT Utomo Juragan Atap Surya Indonesia Anthony Utomo mengatakan mendapat undangan rapat bersama Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Rachmat Kaimuddin, di awal Maret.
Selain Anthony, saat itu hadir pula perwakilan Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia, Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia, dan Ketua Komite Energi Terbarukan Kamar Dagang dan Industri Indonesia Muhammad Yusrizki. "Kami diundang untuk menjelaskan ekosistem panel surya yang sudah berjalan selama ini," ucap Anthony.
Rapat tersebut berlangsung beberapa hari sebelum adanya kesepakatan ekspor listrik Indonesia-Singapura pada 16 Maret lalu. Menurut Anthony, pada tanggal itu pula terbentuk konsorsium Indonesia Solar Panel Industry and Renewable Alliance (Inspira) yang beranggotakan Utomo Juragan Atap, grup Medco, Adaro, dan TBS Energi. Anthony mengatakan konsorsium Inspira bukanlah kongsi dagang. "Ini hanya konsorsium yang akan menyatukan permintaan agar produsen panel surya tier 1 mau berinvestasi di Indonesia," ujarnya.
Adapun Rachmat Kaimuddin mengatakan pemerintah menggodok kebijakan yang lebih menguntungkan Indonesia dalam ekspor listrik ke Singapura. Kebijakan itu adalah mewajibkan setiap pengembang PLTS menggunakan panel surya buatan dalam negeri. "Melalui kebijakan ini, kami ingin menciptakan rantai nilai yang lengkap. Indonesia bukan hanya menjadi perakit dan pemasang modul surya," tuturnya pada Sabtu, 3 Juni lalu.
Menurut Rachmat, setiap 1 GW listrik dengan durasi pemakaian 24 jam membutuhkan panel surya berkapasitas 6 gigawatt-peak. Artinya, jika Singapura membutuhkan 4 GW listrik, industri nasional harus bisa memasok panel surya hingga 24 gigawatt-peak. Selama ini industri panel surya dalam negeri tak bisa berkembang karena lebih banyak menjadi perakit. Ini jauh jika dibandingkan dengan Cina yang memiliki kapasitas produksi panel surya 361 GW per tahun.
Rachmat mengatakan Indonesia sebetulnya sudah punya regulasi kandungan lokal berupa Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Infrastruktur Ketenagalistrikan. Aturan ini menyebutkan batas kandungan lokal minimal 60 persen untuk panel surya berlaku sejak 2019. Namun selama ini pengembang PLTS selalu meminta keringanan agar boleh mengimpor karena pasokan di dalam negeri tak mencukupi.
Di luar persoalan itu, pengusaha menduga permintaan pemerintah tentang pemenuhan kandungan lokal ada hubungannya dengan perusahaan tertentu yang masuk konsorsium Inspira. Ditanyai soal ini, Rachmat enggan menjawab. Dia hanya mengatakan tugas pemerintah memastikan pelaku bisnis dapat menanamkan modal di dalam negeri dan melaksanakan aturan pemerintah, termasuk batas kandungan lokal demi mengembangkan industri panel surya.
Sementara itu, di Batam, pemilik Kawasan Industri Wiraraja, Akhmad Ma'ruf Maulana, menyatakan sudah mengajak sejumlah perusahaan untuk membangun industri panel surya. Dia mengaku menggandeng Tynergy Technology Group dari Amerika Serikat untuk mengolah pasir silika hingga menjadi wafer silikon di Batam. Produk ini akan diolah menjadi sel surya silikon kristalin oleh PT Alpha Solar Indonesia dan PT Jaya Electrical Energy. Sel surya ini kemudian diolah oleh PT Apollo Solar Indonesia menjadi modul surya. "Semuanya di Kawasan Industri Wiraraja," kata Ma'ruf pada April lalu.
Pengguna modul surya tersebut, menurut Ma'ruf, adalah PT Marubeni Global Indonesia. Perusahaan ini akan membangun PLTS di beberapa pulau dekat Batam dan listriknya diekspor ke Singapura. Ma'ruf pun meminta pemerintah mendukung inisiatif pengusaha lain seperti dirinya yang membawa investasi panel surya dari hulu hingga ke hilir. "Saya akan menggunakan panel surya sendiri," ujarnya, yang merupakan partner lokal Marubeni, perusahaan asal Jepang.
Kini tak hanya memastikan pasokan panel surya dari dalam negeri, calon eksportir listrik juga mesti mengamankan kontrak pembelian di Singapura. EMA membuka kesempatan bagi calon eksportir untuk mengajukan proposal hingga Desember 2023. Para operator PLTS di Indonesia pun akan bersaing dengan pemasok energi bersih dari Malaysia, Kamboja, Laos, hingga Thailand.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo