Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Harga jual gas industri yang dipatok maksimal US$ 6 per mmbtu ternyata belum berjalan optimal. Saat ini, masih ada empat industri prioritas yang mendapat harga gas melebihi angka tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Yaitu industri keramik, kaca, sarung tangan karet, dan oleokimia,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi Energi DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 27 Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keempat industri ini mendapat harga gas bumi lebih mahal, yaitu masing-masing US$ 7,7 untuk keramik, US$ 7,5 untuk kaca, US$ 9,9 untuk sarung tangan karet dan oleokimia US$ 8 sampai US$ 10 per mmbtu. Artinya, industri oleokimia dan sarung tangan karet mendapat harga gas yang paling mahal di antara semua industri lain.
Ketentuan soal harga gas bumi ini sebenarnya telah diatur pemerintah lewat Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016. Beleid ini diteken Presiden Joko Widodo pada 3 Mei 2016.
Dalam pasal 3 aturan ini, Menteri ESDM bisa menetapkan harga jual gas bagi industri jika lebih tinggi dari US$ 6. Penetapan ini dilakukan untuk 7 industri prioritas.
Selain empat industri yang disebutkan Arifin, ada lagi industri yang masuk kategori prioritas yakni industri pupuk, petrokimia, dan baja. Ketiga industri ini, telah mendapat harga gas sekitar US$ 3,11 hingga US$ 6 per mmbtu.
Dari data Kementerian ESDM, harga jual gas ini didapat dari jumlah harga gas hulu ditambah biaya penyaluran (transmisi dan distribusi). Namun, harga gas hulu lah yang menyumbang biaya terbesar, yaitu mencapai US$ 3,4 sampai US$ 8,24.
Padahal, biaya transmisi gas hanya US$ 0,02 sampai US$ 1,55. Lalu biaya distribusi US$ 0,2 sampai US$ 2, biaya niaga US$ 0,24 sampai US$ 0,58, hingga biaya iuran usaha US$ 0,02 sampai US$ 0,06.