Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Empat Yang Ditunda

4 proyek (pusat aromatik di plaju, proyek perluasan minyak musi, proyek alumina bintan, dan proyek olefin di lhokseumawe, seharga us$ 5 milyar, terkena pentahapan kembali. (eb)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISA dimengerti kalau Menteri Ali Wardhana banyak senyum ketika menerima beberapa wartawan di kantornya pekan lalu. Tak kurang dari empat proyek besar yang belum dilaksanakan pembangunannya, oleh pemerintah telah disetujui untuk ditunda sementara. Setidaknya, menurut menteri, dalam tahun anggaran 1983/1984 ini. Adapun empat proyek yang "ditahapkan kembali" (rephasing), adalah: Pusat Aromatik di Plaju (US$ 1,5 milyar), perluasan kilang minyak Musi (US$ 1,35 miIyar), proyek Olefin di Lhok Seumawe (US$ 1,6 milyar), dan Alumina di Pulau Bintan (US$ 0,6 milyar). Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan merasa agak lega, karena dengan pentahapan kembali empat proyek itu, beban neraca pembayaran yang sudah semakin defisit itu bisa dikurangi. "Dari empat proyek itu saja jumlahnya mencapai US$ 5,05 milyar. Maka dengan pentahapan kembali, pembiayaan yang diperlukan hanya US$ 1 milyar," katanya. Pentahapan kembali itu memang sesuai dengan keputusan sidang pertama Kabinet Pembangunan IV, akhir Maret lalu. untuk itu, pemerintah sudah membentuk tim, terdiri dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan dan Ketua Bappenas, Dr J.B. Sumarlin, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Dr. Saleh Afiff, dibantu departemen keuangan, dan departemen teknis lain bersangkutan. Untuk sementara, tim teknis itu sudah memilih empat proyek tadi agar dijadwalkan kembali. Ada alasan kuat untuk itu. Empat proyek besar yang 99% komponennya diimpor dari luar negeri, sebagian pembiayaannya akan ditanggung oleh pemerintah. Partner swasta asing dan dalam negeri yang ikut menanamkan modalnya, biasanya mencari pinjaman dari bank-bank di luar negeri, berupa kredit ekspor dan pinjaman komersial. Di kala petrodollar masih luber, sistem pembiayaan proyek yang kurang lebih fifty-fifty itu memang bisa berjalan baik. Tapi di masa surutnya uang minyak di dunia, likuiditas bank-bank asing pun berkurang. Dan pemerintah memang harus berpikir dua kali sebelum meluluskan pelaksanaan proyek itu -- sebab kian sulit bagi si swasta untuk cari kredit. Sedang pemerintah sendiri masih butuh mencari kredit komersial untuk memperkuat cadangan devisa. Adapun proyek Pusat Aromatik di Plaju itu semula direncanakan sebagai proyek terpadu, untuk mengolah minyak mentah dan kondensat menjadi naphta, lalu diproses menjadi paraxylene, selanjutnya diolah menjadi purified terephthalic acid (PTA). Hasil akhir inilah yang kemudian diolah lagi oleh sejumlah industri hilir di dalam negeri menjadi polyester staple fibre dan polyester filamen yarn, yakni benang sintetis untuk pabrik tekstil. Untuk memenuhi kebutuhan akan benang sintetis, pemerintah tetap akan melanjutkan pembangunan industri hilir, unit terakhir dari Pusat Aromatik yang menghasilkan PTA. Sedang bahan bakunya, paraxylene, masih harus diimpor. "Produksi bahan itu di dunia cukup banyak, dan harganya kini sedang merosot," kata Ali Wardhana. Kontraktor utama pembangunan Pusat Aromatik ini adalah Thyssen Rheinstahr Technik (Jerman Barat) dan M.W. Kellogg (AS). Untuk menghasilkan PTA itu digunakan teknologi milik Mitsui Petrochemical Co. Karena itulah semua mesin-mesin disuplai Jepang. Hingga kini pihak Mitsui sudah melakukan pengapalan empat kali, dengan nilai 1 milyar, untuk proyek Aromatik. Memenuhi pesanan Thyssen dan Kellogg, Mitsui masih harus mengapalkan lagi sejumlah mesin, bernilai  3 milyar. "Kalau terjadi pembatalan, kami akan minta denda pada Thyssen dan Kellogg," kata Nagai, pejabat dari Mitsui kepada koresponden TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa. Berbeda dengan proyek aromatik yang rencananya sudah lama, proyek perluasan kilang minyak Musi sebenarnya baru disetujui di akhir Oktober lalu, dengan empat swasta Jepang: JGC Corporation, C. Itoh, Nissho-Iwai, dan Far East Oil Trading Co. Indonesia ketika itu sebenarnya telah membangun perluasan tiga kilang minyak lainnya, masing-masing di Cilacap, Balikpapan, dan hydrocracker di Dumai, yang kelak diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri. Dan kilang Cilacap, yang dibangun oleh kontraktor Fluor Eastern (AS), akan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1 Agustus nanti. Menko Ekuin Ali Wardhana berpendapat, "proyek kilang minyak Musi saat ini tidak ada urgensinya untuk diteruskan." Menurut Indraman Akman, direktur Pengolahan Pertamina, yang juga memimpin proyek kilang Musi, tahap perencanaan (front-end engineering) Musi sudah selesai 99%, menelan biaya US$ 5 juta, atau 0,37% dari pembiayaan pembangunan tahap kedua. "Karena proyek itu baru memasuki tahap pertama, maka praktis tak berakibat banyak," katanya kepada TEMPO pekan lalu. Proyek ketiga adalah Alumina Bintan, yang direncanakan manpu mengolah bauksit jadi alumunium untuk proyek Asahan, yang sudah lama tertunda-tunda. Kontrak untuk disain mesin dan pelayanan manajemen proyek, yang akan menghasilkan alumina 600 ribu ton per tahun itu, dimenangkan oleh Kaiser Alumunium Technical Services dan Kaiser Engineers International (AS). Fuji Denki dan Mitsui Zosen, yang masing-masing mendapat pesanan membuat generator dan boile mungkin akan rugi US$ 70 juta akibat penundaan itu. "Kami harapkan pemerintah Indonesia mau secepatnya meninjau penjadwalan kembali itu," kata seorang pejabat dari Mitsui di Tokyo. Yang terbesar kena penjadwalan kembali adalah proyek Olefin di Lhok Seumawe, Aceh, patungan antara Exxon Chemical, AS (45%), Pertamina (40%), dan Tonen Sekiyu Kagaku, Jepang (15%). Proyek ini direncanakan kelak mampu mengolah ethane, yang terkandung dalam gas alam dari Arun, antara lain jadi plastik. Menurut seorang pejabat dari Tonen Sekiyu Kagaku (Jepang), pekerjaan proyek Olefin masih dalam tahap persiapan. Karena itu, katanya, proyek ini belum diapa-apakan. Pemesanan, dan pengapalan mesin-mesinnya pun juga belum dilakukan. Sekalipun demikian, penjadwalan kembali itu tetap akan membutuhkan dana US$ 1 milyar (tahun 1983/1984), yang antara lain dicadangkan untuk menghadapi denda (penalty) dari para kontraktor. "Dari segi penyediaan biaya, dana sebesar itu tak akan membebani neraca pembayaran," ujar Menko Ali Wardhana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus