Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) PT Pertamina (Persero) menggugat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir atas dugaan melawan hukum. Erick dianggap mengeluarkan keputusan sepihak yang merugikan karyawan serta telah melakukan peralihan aset serta keuangan negara yang dikelola perusahaan minyak negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Bidang Media FSPPB Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, pada Juni 2020 lalu, Erick Thohir menerbitkan keputusan tentang pemberhentian, perubahan nomenklatur jabatan, pengalihan tugas dan pengangkatan Direksi Pertamina. Keputusan itu diikuti dengan Surat Keputusan Direktur Utama Pertamina tentang Struktur Organisasi Dasar Pertamina yang ditandai dengan pembentukan lima subholding Pertamina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebagai perwakilan seluruh sekerja di lingkungan Pertamina, FSPPB tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu, 22 Juli 2020. Padahal menurut dia, penggabungan, peleburan, pengambil-alihan serta perubahan bentuk badan hukum perseroan terbatas wajib memperhatikan kepentingan karyawan yang diwakili serikat pekerja.
Sementara itu Pengurus Bidang Hubungan Industrial dan Hukum FSPPB, Dedi Ismanto, menerangkan keputusan Erick tidak hanya merugikan pekerja karena jabatan. Namun, hak, kewajiban dan status kepegawaian yang berubah. Keputusan itu juga mengakibatkan peralihan keuangan, dan aset-aset negara yang sebelumnya dikuasai Pertamina berubah kedudukannya dikuasai anak-anak perusahaan alias subholding. “Dan yang sangat mengkhawatirkan, anak-anak perusahaan Pertamina itu akan diprivatisasi atau denasionalisasi dalam waktu dekat ini,” ujar Dedi.
Dedi khawatir, kebijakan itu pada akhirnya akan membuat Pertamina diprivatisasi. Privatisasi ini termasuk untuk pengelolaan hulu, pengolahan, distribusi dan pemasaran, hingga pasar keuangan. Adapun gugatan serikat pekerja didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin, 20 Juli 2020, melalui mekanisme daring. Firma Hukum Sihaloho & Co ditunjuk sebagai pembela serikat.
Kuasa Hukum FSPPB Janses Sihaloho mengatakan privatisasi subholding Pertamina berdampak bagi masyarakat. Ia mencontohkan penentuan harga BBM dan LPG yang nantinya tidak lagi mempertimbangkan daya beli warga. “Karena status kepemilikannya sudah berubah, kebijakan tidak lagi murni ditentukan negara karena akan dipengaruhi kepentingan pemegang saham lainnya, termasuk investor asing,” katanya.
Janses menuding, proses privatisasi subholding Pertamina memanfaatkan celah hukum pada pasal 77 UU BUMN. Pasal tersebut melarang induk perusahaan BUMN tertentu, termasuk Pertamina, untuk diprivatisasi. “Namun, terhadap anak perusahaan persero, pasal itu memiliki multi-tafsir membuka peluang untuk diprivatisasi,” ucapnya.
Dikonfirmasi terkait gugatan ini, Staf Khusus Menteri BUMN Bidang Komunikasi, Arya Sinulingga, belum memberikan responsnya.