Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ewindo-san ke jepang

Pabrik kawat listrik pt ewindo, di bandung, mendapat sertifikat japan industrial standard (jis). pasar lokal lemah, produksi 20 ton sebulan. (eb)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN panjang yang ditempuh PT E windo ternyata tidak sia-sia. Pembuat kawat listrik dari Bandung itu, sesudah melewati ujian kualitas secara ketat, akhirnya (18 Oktober) mendapat sertifikat Japan Industrial Standard (JIS). Dengan mengantungi sertifikat itu, produk Ewindo hari-hari mendatang bakal dengan mudah memasuki Jepang. "Tujuan karni memang ke sana," ujar Matsunaga, presiden direktur Ewindo, ketika merayakan pengakuan JIS itu di Hotel Sari Pacific, Jakarta, pekan lalu. Ewindo, patungan Merbabu Trading Co. dengan Nikkatsu Densen Seizo (49%), Ny. Moendriati Suwarno (40,6%), dan Nikkatsu, Bandung, (10,4%) selama tiga tahun menyiapkan saat ujian itu. Di Tokyo, kelompok yang dipimpin Saburo Kono, direktur Ewindo, selama dua hari menjalani ujian mengenai proses produksi, cara pelayanan, dan pengontrolan mutu produk. Lalu tiga penguji dari Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional (MITI) Jepang masih meninjau pelaksanaan proses produksi dan manajemen perusahaan di Bandung. Kabarnya, mereka sangat berdisiplin. "Diajak makan bersama pun mereka tidak mau," ujar Kono. Produksi kawat listrik Ewindo, dengan diameter 0,1 mm sampai 1,8 mm, setiap bulan rata-rata 20 ton. Sekitar 80% diserap industri komponen lokal, seperti PT Nikkatsu Electric Works (Bandung) yang membuat trafo untuk lampu neon. Karena permintaan lokal lesu dan banyak muncul saingan baru, penjualan kawat listrik perusahaan itu, menurut Matsunaga, turun dari produksi tahun lalu. Tapi, bagi Ewindo, dengan sertifikat JlS - yang kabarnya belum diperoleh industri serupa di sini - pasar di Jepang kini terbuka, ujar Matsunaga. Di pasar bebas, produk Ewindo terjual Rp 2 800 sampai 4.000 per kg. Semakin kecil diameter kawat listrik itu, harganya semakin mahal. Pembuatan produk itu sesungguhnya cukup sederhana, tapi memerlukan ketelitian dan pengawasan yang tinggi. Mula-mula bahan haku berupa kawat tembaga berdiameter 8 mm - dibeli dengan harga Rp 2.000 per kg dari suatu pabrik di Tangerang - dimasukkan dalam unit pengecil. Dari sini kawat yang sudah diperkecil, dengan diameter berbeda-beda itu, dilapisi cairan pernis (pewarna) dalam bak celup, sebanyak tiga kali sesuai dengan ketebalan lapisan yang dikehendaki. Semua proses produksi diawasi ketat oleh dua tenaga ahli mutu dari induk perusahaan Nikkatsu. Di bagian penghalusan dan pelapisan kawat, faktor ketelitian sangat diperhatikan. "Sedikit saja ada perbedaan pada tebal lapisan pewarna dan diameter, bisa diklaim konsumen," ujar Sujadi, kepala bagian umum Ewindo. Tapi pekerjaan teknis lain dilakukan karyawan sini. Kawat Ewindo yang sebelumnya juga sudah mendapat Standar Industri Indonesia (SII) kini sudah dijadikan bahan baku utama pembuatan beberapa komponen listrik. Padahal, dulu "cuma sebagai bahan pengganti saja," kata Matsunaga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus