Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Universitas Indonesia sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri membeberkan sejumlah program Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang luput dalam Debat Cawapres pada akhir pekan lalu. Menurutnya, program-program tersebut gagal namun kurang dialami dalam Debat Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program pertama yang menjadi sorotannya adalah pemberian bantuan sosial atau bansos. Ia menilai meningkatnya anggaran bansos menunjukkan kegagalan Jokowi dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Gagal Jokowi, terbukti bahwa orang yang rentan hidupnya itu tidak turun, tercermin dari bansos yang naik terus. Tidak ada capres yang berani ngomong begitu," kata Faisal Basri di Jakarta Selatan pada Senin, 5 Februari 2024.
Dia pun menyayangkan tidak ada calon presiden yang berani menyatakan bahwa Jokowi gagal dalam mengurus persoalan perlindungan sosial ini. Meskipun, capres nomor 1 Anies Baswedan dan capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo menyinggung soal dugaan politisasi bansos saat debat Pemilu kelima.
Padahal, menurut dia, kenaikan anggaran bansos menjelang Pemilu 2024 telah menunjukkan bahwa Jokowi telah menyalahgunakan anggaran pendapatan dan belanja negara. Terlebih ada pernyataan dari Menteri Perdagangan sekaligus Ketua Umum PAN yang mengklaim bahwa bansos tersebut berasal dari Jokowi, bukan dari negara.
"Etika dan moral ini digembar-gemborkan oleh nomor 1 dan nomor 3, tapi ini enggak keluar karena takut konsekuensi penyerang Jokowi," kata dia.
Selanjutnya: Program Merdeka Belajar sesat
Kebijakan Jokowi lainnya yang menjadi sorotan adalah program Merdeka Belajar. Faisal Basri mengatakan program itu sesat karena tak menunjukkan hasil yang sesuai dengan target. Ia merujuk pada skor matematika, sains, dan membaca yang turun. Sayangnya, kata dia, tidak ada Capres yang berani mengungkapkan ini.
Kemudian ia menyoroti program hilirisasi nikel. Faisal Basri menyayangkan tidak ada Capres yang dengan luas menyatakan bahwa kebijakan hilirisasi adalah kegagalan. Dia menjelaskan kebijakan ini lebih banyak menguntungkan China ketimbang Indonesia.
Ia menjelaskan keuntungan yang dirasakan Indonesia atas regulasi tersebut tak kurang dari 10 persen. Sementara 90 persennya lari ke China. Kalau hilirisasi yang diterapkan sekadar mengolah bijih nikel menjadi NPI atau feronikel, kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia hanya akan mendukung industrialisasi di Cina.
Pasalnya, kata dia, 95 persen bijih nikel di Indonesia digunakan untuk perusahaan-perusahaan di Cina. Pada awalnya bijih nikel dibanderol dengan harga US$ 34 oleh pemerintah Indonesia. Padahal, menurut Faisal Basri, di Shanghai bijih nikel dijual dengan harga US$ 80.
"Kebijakan larang melarang ekspor nikel itu kebijakan paling biadab, secara teori segala ini menciptakan kerugian bagi negara itu paling besar," ujarnya.