Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengimbau pemerintah dan Bank Indonesia mewaspadai potensi arus modal asing yang masuk dan kembali berbalik ke luar atau capital outflow. Terlebih gejolak perekonomian global masih terus berlanjut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Untuk mengurangi gejolak makroekonomi ke depan, pekerjaan rumah kita adalah menekan defisit akun lancar lewat serangkaian kebijakan struktural untuk meningkatkan ekspor dan daya saing industri dalam negeri agar bisa bersaing dengan produk impor," ujar Faisal Basri, Ahad, 10 Februari 2019.
Dengan begitu, menurut Faisal Basri, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada dana asing. "Terutama investasi portofolio," ujarnya.
Faisal Basri mengungkapkan neraca pembayaran pada 2016 dan 2017 berhasil mencatatkan surplus cukup besar yaitu senilai US$ 12 miliar dan US$ 11,5 miliar. Di saat yang sama neraca pembayaran juga mencatatkan current account deficit.
Hanya saja, arus modal asing yang mengalir ke dalam negeri pada periode tersebut terbilang cukup deras sepanjang tahun sehingga mampu melampaui nilai defisit akun lancar. Kondisi tersebut disebutnya membuat nilai tukar Rupiah relatif stabil selama periode 2016-2017. Keadaan tersebut berbalik arah pada 2018 lantaran arus modal asing langsung maupun portofolio mengalami penurunan.
Neraca pembayaran secara umum mencatatkan seluruh transaksi atas keluar masuknya uang dalam denominasi mata uang asing di suatu negara. Secara garis besar, neraca pembayaran berasal dari dua kelompok transaksi yaitu transaksi dari arus barang/jasa (current account) dan arus modal/finansial (capital account).
Faisal Basri mengungkapkan perbaikan pada neraca arus modal atau finansial sepanjang tahun lalu baru melaju pada tren yang positif pada kuartal akhir 2018. Hal tersebut disebutnya tak terlepas dari langkah pemerintah yang gencar menerbitkan surat utang.
Investor asing kemudian merespons dengan membeli surat utang pemerintah senilai US$ 4,75 miliar. Angka itu lebih besar dari pembelian surat utang negara oleh investor asing selama triwulan I-III 2018 senilai US$ 4,7 miliar.
Di kuartal akhir 2018, investor asing juga gencar melakukan pembelian surat utang swasta yang berperan terhadap masuknya arus modal senilai US$ 6,6 miliar. Angka tersebut jauh melampaui keseluruhan tahun 2017 yang hanya senilai US$ 5,1 miliar.
Faisal Basri mengungkapkan defisit neraca pembayaran yang terjadi sepanjang tahun lalu terjadi karena Indonesia mencatatkan defisit akun lancar tertinggi sepanjang sejarah. Peningkatan defisit akun lancar itu terutama tak terlepas dari lonjakan impor barang sebesar 20,7 persen, sedangkan ekspor barang hanya tumbuh 7 persen.
Neraca Pembayaran Indonesia mencatatkan defisit senilai US$ 7,3 miliar sepanjang 2018. Angka itu berbanding terbalik dengan pencapaian tahun sebelumnya yang mencatatkan surplus senilai US$ 11,6 miliar.
Tekanan pada neraca pembayaran terjadi karena defisit akun lancar (current account deficit/CAD) menggelembung hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya dari senilai US$ 16,96 miliar pada 2017, menjadi senilai US$ 31,1 miliar di sepanjang 2018. Sementara itu, kata Faisal Basri, arus modal dan finansial US$ 25,2 miliar lebih kecil dari defisit akun lancar yang menyebabkan defisit pada neraca pembayaran.
BISNIS