Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Faisal Basri Singgung Cara Luhut Binsar Padjaitan Menghadapi Kritik soal Subsidi Kendaraan Listrik

Ekonom senior Indef Faisal Basri menilai, pandangan masyarakat umum di media sosial yang menilai subsidi kendaraan listrik itu tidak jauh berbeda dengan tinjauan teoritis dan empiris.

21 Mei 2023 | 20.48 WIB

Faisal Basri. TEMPO/Jati Mahatmaji
Perbesar
Faisal Basri. TEMPO/Jati Mahatmaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Data Analyst Continuum Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkap hasil analisis respons masyarakat mengenai kebijakan subsidi kendaraan listrik. Analisis itu menggunakan pendekatan big data yang diambil dari media sosial Twitter yang hasilnya 80,77 persen masyarakat di internet itu tak sepakat dengan subsidi kendaraan listrik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Menanggapi itu, ekonom senior Indef Faisal Basri menilai, pandangan masyarakat umum di media sosial itu tidak jauh berbeda dengan tinjauan teoritis dan empiris. “Jadi bisa dikatakan suara masyarakat adalah suara tuhan begitu, jadi harus diperhatikan,” ujar Faisal Basri dalam diskusi daring pada Ahad, 21 Mei 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun masalahnya, Faisal Basri melanjutkan, jika ada yang berbeda pandangan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan—pejabat yang terlibat dalam keputusan atas kebijakan subsidi kendaraan listrik—solusinya dilakukan secara privat. Seharusnya, dia menyarankan, diselesaikannya secara publik, karena kebijakan tersebut berhubungan dengan publik.

Hal itu disampaikan karena Luhut menanggapi kritik soal subsidi kendaraan listrik dari Anies Baswedan dan memintanya untuk menghadap serta langsung menyampaikan kritiknya. Anies menilai kebijakan itu tidak tepat sasaran dan menyarankan agar subsidi itu diberikan kepada transportasi umum.

Menurut Faisal Basri, publik membutuhkan penjelasan mengenai kajian kebijakan tersebut seperti apa, bagaimana cost benefit analysis-nya, sehingga masyarakat bisa memahaminya. “Jadi kalau siapa yang tidak setuju kendaraan listrik datang kepada saya, saya jelaskan. Ini bukan masalah privat,” tutur Faisal.

Selain itu, dia melanjutkan, tidak ada perbincangan di media sosial mengenai kritik atas keberadaan mobil listrik. Artinya, masyarakat sudah cerdas dan tahu bahwa kendaraan listrik adalah kemajuan teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia. “Tidak ada keraguan tentang itu, tidak ada satu pembicaraan pun yang anti mobil listrik,” ucap Faisal Basri.

Namun, menurut ekonom lulusan Universitas Indonesia itu, hal itu menjadi kontroversi karena tidak adanya penjelasan. “Ini bagian dari konsep ekonomi baru Indonesia tentang green economi atau konsep baru tentang Indonesia untuk memajukan industrialisasi. Jadi Industri yang mau dikembangkan atau green ekonominya,” kata Faisal Basri.

Selanjutnya: Pemerintah memang telah memberlakukan....

Pemerintah memang telah memberlakukan kebijakan subsidi kendaraan listrik mulai 1 April 2023 lalu. Di mana untuk pembelian sepeda motor listrik baru mendapatkan subsidi senilai Rp 7 juta, sedangkan untuk pembelian mobil listrik baru subsidinya Rp 80 juta.

Data Analyst Continuum Indef Wahyu Tri Utomo membeberkan hasil analisis respons masyarakat mengenai kebijakan subsidi kendaraan listrik. Dia mengatakan ada beberapa alasan mengapa masyarakat menolak kebijakan subsidi kendaraan listrik.

Salah satunya karena masyatakat menilai bahwa pembeli mobil listrik bukan orang yang butuh subsidi. Asumsi ini, menurut dia, kemungkinan didasarkan pada asumsi bahwa secara harga, mobil listrik relatif mahal.

“Maka hampir bisa dipastikan bahwa kalangan menengah ke bawah tidak akan membeli mobil listrik ini, tidak akan mampu membeli mobil listrik,” ucap Wahyu. Bahkan ada pula yang mempertanyakan soal siapa penerima subsidi kendaraan listrik itu.

“Yang beli paket dari kalangan menengah ke atas, kenapa menengah ke atas yang diberi subsidi, bukankah itu kurang pas dan sebagainya,” ucap Wahyu.

Hasil analisis itu, menurut Wahyu berasal dari 18.921 data pembicaraan di Twitter dari 15.139 akun pada 8-12 Mei 2023. Alasan mengambil data dari Twitter, kata dia, karena merupakan platform yang representatif untuk menangkap aspirasi, kritik, ataupun masukan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan isu sosial, politik, atau kebijakan dari pemerintah.

“Setelah kita ambil datanya, kami collect datanya dan coba bersihkan dari akun media atau  dari buzzer. Sehingga harapannya perbincangan didapatkan dari user asli saja setelah itu kita lakukan analisis untuk exposure, sentimen, dan juga topik perbincangan,” tutur Wahyu.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

M. Khory Alfarizi

Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bergabung di Tempo pada 2018 setelah mengikuti Kursus Jurnalis Intensif di Tempo Institute. Meliput berbagai isu, mulai dari teknologi, sains, olahraga, politik hingga ekonomi. Kini fokus pada isu hukum dan kriminalitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus