Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemberian insentif dianggap belum bisa mengurangi ketergantungan pemakaian dolar Amerika Serikat.
Penggunaan mata uang non-dolar bisa membuat suatu negara kurang mendapatkan kepercayaan pasar internasional.
Maraknya penyewaan kapal berbendera asing untuk ekspor-impor kian menghambat upaya dedolarisasi.
JAKARTA – Kebijakan pemerintah menekan ketergantungan terhadap dolar (dedolarisasi) dengan pemakaian mata uang lokal dalam perdagangan internasional atau local currency transaction (LCT) masih menghadapi banyak kendala. Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebutkan posisi dolar Amerika Serikat dalam perdagangan internasional terlampau tangguh untuk digeser oleh rupiah dan mata uang dari beberapa negara mitra LCT Indonesia.
Alih-alih tergantikan secara bertahap, pemberian insentif pun dianggap belum bisa mengurangi ketergantungan pemakaian dolar Amerika Serikat. “Dengan sejarah yang panjang, sulit untuk mengubah pola transaksi perdagangan dunia,” kata Yusuf kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inisiatif LCT bertujuan memudahkan sistem pembayaran antar-anggota ASEAN serta dengan negara tujuan ekspor-impor Indonesia lainnya. Jalan pintas transaksi—tanpa konversi ke dolar Amerika Serikat—itu dibuat untuk mendongrak perdagangan lintas batas produk potensial, salah satunya e-commerce. Kebijakan LCT juga dianggap bisa menjaga stabilitas makroekonomi Indonesia, terutama soal kurs rupiah. Indonesia mulai menjalin LCT dengan Malaysia dan Thailand pada 2018, kemudian berlanjut dengan Jepang pada 2020, lalu Cina pada 2021.
Pembentukan satuan tugas (satgas) nasional untuk LCT di sela Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-43 belakangan menunjukkan keseriusan program tersebut. Didukung 10 kementerian dan lembaga, Satgas LCT menjadi pintu penyaluran insentif serta percepatan pelayanan bagi pengusaha yang mengutamakan mata uang lokal dalam ekspor-impor. Kemudahan yang sama juga berlaku untuk LCT dalam kegiatan investasi, penggunaan kode-kode QR cross-border, serta perdagangan surat-surat berharga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Nasional untuk mendorong peningkatan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi Indonesia dengan negara mitra (Local Currency Transaction /LCT) di Jakarta, 5 September 2023. bi.go.id
Menurut Rendy, LCT cocok dipakai ketika penggunaan mata uang lokal antar-dua negara yang bermitra bisa mengimbangi atau melebihi penggunaan mata uang asing, termasuk dolar. Namun, ia melanjutkan, Indonesia sulit menemukan rekanan dengan karakteristik tersebut. “Penggunaan mata uang non-dolar juga bisa membuat suatu negara kurang mendapatkan kepercayaan pasar internasional,” kata dia. “Tidak mudah mencari partner dagang.”
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebutkan LCT masih sulit diadopsi oleh eksportir yang memasok barang ke banyak negara. Pasar tujuan eksportir asal Indonesia, terutama di bidang komoditas olahan primer, sangat beragam. Ketimbang membedakan skema transaksi untuk empat negara mitra LCT Indonesia, pelaku usaha diperkirakan memilih dolar Amerika Serikat agar rantai pasoknya seragam dan rapi. “Tidak ingin terpecah-pecah sehingga kebanyakan memakai dolar untuk pengaturan semua transaksi,” tutur Bhima.
Ganjalan itu diperburuk dengan maraknya penyewaan kapal berbendera asing untuk perdagangan internasional oleh pengusaha asal Indonesia. Mayoritas penyedia jasa kargo asing, ucap Bhima, dibayar dengan dolar Amerika Serikat. Untuk menggalakkan LCT, pemerintah harus berani mengikis pemakaian kapal asing dalam aktivitas perdagangan. Caranya bisa berupa insentif atau penambahan jumlah kapal lokal yang kualitasnya mumpuni untuk ekspor-impor. Langkah lainnya adalah mempermudah izin pengadaan armada bagi perusahaan yang berasal dari negara mitra LCT Indonesia.
“Dorongan LCT bisa dimulai dari kegiatan badan usaha milik negara, terutama di sektor migas, tambang, dan perkebunan,” katanya. “Wajibkan saja 70 persen LCT untuk transaksi ekspor-impor dengan empat negara mitra.”
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Toto Dirgantoro, sebelumnya menuturkan bahwa mayoritas eksportir telanjur nyaman memakai dolar Amerika Serikat. Jika memaksakan mengadopsi LCT, penyedia jasa ekspor asal Indonesia harus menanggung selisih kurs saat bertransaksi dengan penyuplai atau produsen barang. Beban itu tentu ditolak. “Supplier kami ada juga yang belum berkenan dengan mata uang lokal, mintanya dolar.”
Uang dolar Amerika pecahan 100 dolar di tempat penukaran Valuta Asing di kawasan Kuningan, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk, Bani Maulana Mulia, memastikan selalu ada opsi mata uang non-dolar Amerika Serikat bagi perusahaan asing yang memakai jasa entitasnya. Artinya, perusahaan sudah menjalankan konsep LCT ketika menagih bayaran. “Sejauh ini tak ada kendala, tapi memang ada dampak dalam accounting (pembukuan),” ucapnya. Meski menyediakan transaksi dengan mata uang lokal, pendapatan emiten berkode saham SMDR itu tetap dicatat dengan satuan dolar Amerika serikat. Hasilnya, perusahaan bisa seolah-olah mencatatkan rugi.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Ferry Irawan, memastikan kemitraan LCT akan terus diperluas. “Stabilitas nilai tukar merupakan faktor penting untuk keberlanjutan pelaku usaha, baik itu eksportir maupun importir,” ucap dia, kemarin.
Bila merujuk pada data Kemenko, jumlah pengguna LCT dari Indonesia terus meningkat, dari 101 nasabah pada 2018 menjadi 2.054 nasabah hingga April lalu. Transaksi tahunan yang dibukukan juga naik dari US$ 797 juta pada 2020 menjadi US$ 4,10 miliar pada 2022. Transaksi LCT sudah menembus US$ 2,1 miliar pada periode Januari-April 2023 atau separuh capaian tahun lalu.
Direktur Departemen Internasional Bank Indonesia, Iss Savitri Hafid, menyebutkan LCT menjauhkan eksportir dan importir dari risiko biaya akibat gejolak nilai tukar. Dampaknya akan lebih terasa bila jumlah negara mitra Indonesia terus bertambah. "Tentunya, kami dari otoritas terus mempromosikan dan juga bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memastikan prosesnya lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah.”
YOHANES PASKALIS | GHOIDA RAHMAH | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo