Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lewat family office, Luhut yakin pemerintah bisa menarik kekayaan dari negara lain untuk pertumbuhan ekonomi nasional.
Risiko kejahatan dari skema family office dinilai besar sehingga perlu mekanisme kontrol yang baik. Termasuk mekanisme pemeriksaan bersama negara lain untuk memastikan bahwa dana yang masuk bukan hasil pencucian uang.
Luhut mengatakan lintas kementerian atau lembaga perlu merumuskan beberapa hal untuk pengembangan ekosistem WMC di Tanah Air.
PRESIDEN Joko Widodo alias Jokowi mengumpulkan para menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, pada Senin pagi, 1 Juli 2024. Dalam persamuhan itu, Jokowi membahas usul Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ihwal rencana menggaet family office ke Tanah Air. Lewat family office, Luhut yakin pemerintah bisa menarik kekayaan dari negara lain untuk pertumbuhan ekonomi nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Family office merupakan perusahaan bisnis swasta yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan kekayaan setidaknya US$ 50-100 juta. Kebutuhan yang dimaksudkan antara lain manajemen keuangan, perencanaan pajak, dan filantropi. Sejumlah entitas tersebut beroperasi secara privat sehingga dapat melindungi kekayaan keluarga ultrakaya. Perusahaan family office tak perlu terdaftar atau mengajukan izin dari otoritas karena tidak mengelola dana pihak ketiga.
Menurut Luhut, untuk mendatangkan family office ke Tanah Air, Indonesia akan membentuk wealth management centre (WMC). Pilihannya di antaranya di Bali ataupun di Ibu Kota Nusantara (IKN). Pemerintah sepakat membentuk satuan tugas untuk merancang dan menyiapkan implementasi program dalam sebulan ke depan.
Luhut menilai Indonesia punya peluang mengembangkan WMC. Sebab, peningkatan jumlah aset finansial dunia yang diinvestasikan di luar negara asal diproyeksikan terus meningkat. Ia merujuk pada data The Wealth Report yang menyebutkan populasi individu superkaya di Asia diperkirakan tumbuh sebesar 38,3 persen pada 2023-2028. Tercatat sekitar US$ 11,7 triliun dana kelolaan family office di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Berangkat dari tren tersebut, saya melihat adanya kesempatan bagi Indonesia menarik dana-dana dari family office global," ujar Luhut, Senin, 1 Juli 2024. Menurut dia, family office tak hanya bakal meningkatkan peredaran modal di dalam negeri, tapi juga menambah produk domestik bruto (PDB) serta lapangan kerja dari investasi dan konsumsi lokal.
Sejumlah negara sudah menyediakan family office lebih dulu, seperti Singapura, Hong Kong, dan Uni Emirat Arab. Namun Luhut menilai ketegangan geopolitik di Hong Kong dan perubahan regulasi investasi di Singapura membuat risiko serta ketidakpastian investasi di dua negara tersebut meningkat. Dengan demikian, ia berpendapat saat ini adalah momentum yang tepat bagi Indonesia untuk membentuk WMC. Menurut Luhut, Singapura tercatat memiliki 1.500 family office dan Hong Kong sebanyak 1.400.
Pemerintah yakin family office di Tanah Air akan memiliki daya tarik tersendiri bagi para investor karena kepercayaan dunia terhadap Indonesia makin baik. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno yang turut hadir dalam rapat internal dengan Jokowi mengatakan potensi dana yang dikelola family office Indonesia sebesar US$ 500 miliar atau sekitar Rp 8.160 triliun.
Urgensi pemerintah di balik rencana pembuatan family office menjadi sorotan. Ekonom dari Center of Reform on Economics Indonesia (Core), Yusuf Rendy Manilet, menilai pemerintah sedang kelimpungan mencari investasi asing untuk membiayai sederet proyek strategi nasional, termasuk IKN yang membutuhkan modal lebih dari Rp 400 triliun. Pelaksana tugas Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, pun sebelumnya membenarkan kabar bahwa belum ada investor asing yang merealisasi investasinya untuk proyek ibu kota baru di Kalimantan Timur. Baru beberapa investor asing yang menunjukkan ketertarikan.
Persaingan untuk mendapatkan dana investasi secara global makin ketat dengan adanya kondisi geopolitik yang tidak menentu. Dengan adanya family office, pemerintah berharap para orang superkaya mau menempatkan dana mereka di Indonesia yang akhirnya bisa digunakan pemerintah untuk berbagai kepentingan investasi.
Yusuf sepakat pembuatan family office dapat berdampak besar terhadap perekonomian di dalam negeri. Namun dia menekankan hal itu bergantung pada skema atau instrumen investasi yang akan ditawarkan pemerintah. Jika pemerintah mencontoh Singapura dan Hong Kong, penggunaan modal digunakan untuk instrumen di pasar keuangan saja. Yusuf menilai dampak skema ini terhadap perekonomian akan lebih kecil. Sebab, kontribusi sektor keuangan di Indonesia relatif masih kecil terhadap perekonomian nasional.
Untuk mendapatkan dampak yang lebih besar terhadap perekonomian dalam negeri, Yusuf berpendapat pemerintah perlu menempatkan modal tersebut ke sektor yang berkontribusi besar ke kue ekonomi Indonesia. Misalnya, yang menghubungkan antara sektor keuangan dan sektor riil, seperti sektor manufaktur.
Penggunaan dana dari family office untuk pembiayaan sektor riil juga akan menguntungkan masyarakat secara umum. Yusuf menjelaskan, kelompok pendapatan atas yang digunakan modalnya bisa mendapat keuntungan dari investasinya. Pada saat yang bersamaan kelompok pendapatan menengah dan bawah dapat merasakan mandat jika modal tersebut dialokasikan ke sektor riil.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti pun menekankan, apabila pemerintah hanya menyediakan jasa keuangan, family office ini tidak berdampak luas dan rentan terjadi capital flight atau pelarian modal ketika suku bunga turun. Namun akan menjadi hal yang baik jika investasinya di sektor riil, misalnya untuk membangun pabrik yang meningkatkan produksi sehingga ada penciptaan lapangan pekerjaan. "Jika investasi riil, skema public private partnership dengan skema yang saling menguntungkan dan jangka panjang seperti di proyek-proyek strategis," tutur Esther.
Kemampuan pemerintah menawarkan jasa yang lebih baik dari negara-negara pesaing juga menentukan keberhasilan family office di Indonesia. Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan pemerintah harus memiliki daya tawar yang besar agar orang-orang superkaya ini mau menempatkan uang uang mereka. Dari kompetensi dan kualitas sumber daya manusia, regulasi pajak, hingga kondisi politik yang stabil.
Hong Kong menawarkan kecepatan dan kemudahan permohonan family office. Bahkan, pendirian kantor family office hanya berlangsung beberapa pekan. Ditambah keringanan pajak baru hingga insentif. Hong Kong menargetkan pendirian 200 kantor keluarga besar pada 2025. Bloomberg mencatat, per Maret 2024, ada 855 kantor keluarga di Hong Kong yang mengelola setidaknya aset senilai US$ 100 juta.
Singapura juga memberikan insentif pajak yang tinggi untuk family office. Insentif yang diberikan Singapura di antaranya potongan pajak 100 persen untuk sumbangan filantropi luar negeri, dengan syarat tertentu. Kantor keluarga juga akan mendapat manfaat dari kontribusi terhadap keuangan campuran, campuran modal publik dan swasta, di bawah perubahan regulasi yang dilakukan oleh Otoritas Moneter Singapura (MAS).
Berdasarkan laporan Reuters, keluarga-keluarga dengan kekayaan bersih sangat tinggi makin banyak mendirikan kantor keluarga di Singapura. Musababnya, mereka mencari tempat berlindung yang aman dari gejolak politik dan ketidakpastian ekonomi. Menurut Otoritas Moneter Singapura, terdapat 1.500 kantor keluarga di Singapura pada akhir 2022, yang mengelola aset senilai sekitar S$ 90 miliar atau US$ 66,8 miliar. Jumlah ini hanya kurang dari 2 persen dari aset senilai S$ 5,4 triliun atau sekitar US$ 4 triliun yang dikelola di Singapura.
Menurut Nikkei, berbeda dengan Singapura, Hong Kong tidak menawarkan izin tinggal permanen bagi para investor luar negeri yang menanamkan modal lewat family office. Hong Kong juga mewajibkan investasi pada aset selain properti.
Selain Singapura dan Hong Kong, Dubai di Uni Emirat Arab menjadi destinasi para keluarga ultrakaya untuk memutarkan uang mereka lewat family office. Dubai muncul sebagai pesaing lantaran kebijakan pajaknya yang dinilai longgar, peluang pasar yang besar, dan lingkungan bisnis yang bersahabat. Di antaranya, Dubai tidak menerapkan pajak pendapatan yang sangat menguntungkan individu-individu superkaya.
Kantor pusat Otoritas Moneter Singapura di Singapura. REUTERS/Darren Whiteside
Rentan Pencucian Uang
Di tengah maraknya family office di berbagai kota di Asia, muncul pula risiko pencucian uang. Pasalnya, kantor keluarga menjadi tempat berlindung yang aman bagi pelaku pengemplangan pajak dan kejahatan keuangan lain. Kemarin, enam family office di Singapura terseret kasus pencucian uang senilai Rp 36,23 triliun. Otoritas Moneter Singapura pun memperketat pengawasan pencucian uang yang dilakukan family office.
Faisal mengatakan besarnya risiko kejahatan dari skema family office membuat perlunya mekanisme kontrol yang baik. Termasuk mekanisme pemeriksaan bersama negara lain untuk memastikan bahwa dana yang masuk bukan hasil pencucian uang. Dengan begitu, bisnis family office tidak menjadi tempat para pelaku pengemplang pajak menyembunyikan uang mereka atau menjadi tax haven.
Bahkan Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono menilai potensi keuntungan dari rencana ini tidak sepadan dengan risiko kerugiannya. Menurut dia, regulasi untuk mendorong bisnis family office mengharuskan pemerintah memberikan insentif fiskal yang masif, seperti pembebasan pajak dan kemudahan untuk investasi dengan return yang kompetitif. Karena itu, kerangka regulasi dan infrastruktur untuk family office cenderung rawan bagi tindak pidana pencucian uang.
Yusuf mengimbuhkan, lemahnya instrumen investasi juga berpotensi membuat bisnis family office hanya akan memutar dana di pasar keuangan. Selain itu, dengan pasar keuangan yang cenderung masih dangkal dan didominasi asing, kehadiran family office justru berisiko menambah kerawanan sistem keuangan Indonesia.
Andai berkeras menggulirkan rencana ini, tutur dia, pemerintah tidak akan mudah menarik dana keluarga superkaya. Sebab, persaingan bisnis family office sangat tidak ringan, terutama dari negara-negara yang selama ini dikenal sebagai tax haven dan pusat keuangan dunia, seperti Singapura, Swiss, Inggris, serta Hong Kong. Yusuf menilai untuk membangun kerangka regulasi dan infrastruktur yang setara dengan negara-negara tax haven dan global financial hub sangat tidak mudah serta tak bisa dilakukan secara instan.
Menurut Yusuf, mendorong bisnis family office juga berpotensi melemahkan upaya mengungkap dan mengenakan pajak terhadap orang superkaya yang tidak bisa dilakukan oleh kebijakan tax amnesty. Dari kebijakan tax amnesty pada 2016-2017 pun kinerja penerimaan perpajakan tidak banyak berubah. Tax ratio 2023 hanya sebesar 10,23 persen dari PDB. Angka ini bahkan masih lebih rendah daripada tax ratio di awal pemerintahan Presiden Jokowi pada 2015, yaitu 10,76 persen dari PDB. Hal ini menunjukkan kinerja penerimaan perpajakan kita stagnan dalam satu dekade terakhir.
Dibanding mendorong bisnis family office, Yusuf Wibisono menyarankan pemerintah berfokus pada penegakan kewajiban repatriasi devisa hasil ekspor (DHE). Ditambah upaya serius menaikkan penerimaan perpajakan dari kelas terkaya, yang selama ini cenderung under-tax. "Alih-alih meniru negara-negara tax haven dan global financial hub, pemerintah seharusnya mengejar kewajiban pajak warga negara superkaya Indonesia yang banyak menyembunyikan kekayaannya di negara-negara tersebut," tuturnya.
Soal risiko warga ultrakaya luar negeri menyimpan dana di family office untuk pencucian uang, Luhut mengatakan hal tersebut harus dihindari. Namun dia tidak menjelaskan strategi untuk mencegah pencucian uang. Luhut mengatakan lintas kementerian atau lembaga perlu merumuskan beberapa hal untuk pengembangan ekosistem WMC di Tanah Air. Misalnya, soal perancangan sistem perpajakan dan regulasi yang mendukung untuk aset asing, stabilitas dan kondusivitas politik dan pemerintahan, penyedia jasa manajemen aset, serta lingkungan bisnis yang mendukung.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Daniel A Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.