Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Gedung Granadi Disita, Ini Kronologi Kasus Yayasan Supersemar

Penyitaan itu dilakukan guna menjalankan putusan Mahkamah Agung atas gugatan Kejaksaan Agung terhadap Yayasan Supersemar

20 November 2018 | 16.47 WIB

Kantor Yayasan Supersemar di Gedung Granadi lantai 4, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Rabu, 8 April 2009. dok/ Yosep Arkian
Perbesar
Kantor Yayasan Supersemar di Gedung Granadi lantai 4, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Rabu, 8 April 2009. dok/ Yosep Arkian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyita Gedung Granadi milik Keluarga Cendana. Penyitaan itu dilakukan guna menjalankan putusan Mahkamah Agung atas gugatan Kejaksaan Agung terhadap Yayasan Supersemar milik Keluarga Cendana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Achmad Guntur mengatakan Yayasan Supersemar digugat Kejaksaan Agung secara perdata pada 2007 atas dugaan penyelewengan dana beasiswa. Dugaan penyelewengan dana beasiswa berbagai tingkatan sekolah, kata dia, tidak sesuai serta dipinjamkan kepada pihak ketiga. "Gedung Granadi sudah resmi disita oleh eksekutor," tuturnya, Senin, 19 November 2018.

Berikut ini adalah lini masa kasus tersebut sejak pendirian Yayasan Supersemar hingga putusan final pengadilan.

16 Mei 1974

Yayasan Supersemar didirikan dengan 'modal awal' Rp 10 juta dari Presiden Soeharto. Di atas kertas, misi yayasan ini adalah membantu siswa berbakat yang tak mampu membiayai studinya. Untuk menghimpun dana, Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976. Soeharto mewajibkan semua bank pelat merah menyisihkan 2,5 persen laba bersihnya untuk yayasan yang dia dirikan.

1998

Setelah Soeharto lengser, Kejaksaan Agung menemukan penyimpangan dana tujuh yayasan yang didirikan Soeharto, termasuk Yayasan Supersemar. Jumlah dana yang diselewengkan sekitar Rp 1,4 triliun dan US$ 420 juta. Dana ketujuh yayasan tersebut disalurkan ke perusahaan milik anak-anak dan orang dekat Soeharto mulai 1985 hingga 1998. Padahal, menurut kejaksaan, dana yang masuk ke rekening yayasan tersebut merupakan uang negara karena dihimpun dengan peraturan pemerintah.

Lewat Yayasan Supersemar, misalnya, Soeharto menyebar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar. Penerimanya antara lain PT Sempati Air milik Tommy Soeharto; PT Kiani Sakti dan Lestari milik Bob Hassan; Grup Nusamba, yang juga milik Bob Hassan; Bank Duta; dan kelompok usaha Kosgoro. Bank Duta—yang telah kolaps—merupakan penerima dana terbesar, sekitar US$ 420 juta.

11 Oktober 1999

Jaksa Agung Andi M. Ghalib mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Alasannya, tuduhan ihwal Soeharto menyalahgunakan duit negara via ketujuh yayasan tak terbukti.

Desember 1999

Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan pengusutan dana Supersemar dan kekayaan Soeharto lainnya dibuka lagi. 

Tahun 2000

Kejaksaan Agung menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000. Pada Agustus tahun itu, perkara masuk tahap penuntutan. Namun persidangan berhenti di tengah jalan karena Soeharto dianggap sakit otak permanen.

Tahun 2007

Mentok di jalur pidana, pada 9 Juli 2007 Kejaksaan Agung menggugat Soeharto secara perdata. Yayasan Supersemar termasuk yang digugat jaksa. Hasilnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan jaksa. Yayasan Supersemar dihukum membayar ganti rugi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar. Adapun Soeharto kembali lolos dari gugatan. Pertimbangan majelis hakim, Soeharto menggangsir uang negara atas nama Yayasan Supersemar.

Tahun 2010

Putusan hakim yang mengalahkan Yayasan Supersemar pada 2007 bertahan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Namun, dalam putusan kasasi yang diketuk pada 2010, terdapat kesalahan pengetikan. Nilai ganti rugi yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar tertulis US$ 315 juta dan Rp 139,2 juta, padahal seharusnya Rp 139,2 miliar. Karena kesalahan ketik tersebut, jaksa tak mengeksekusi putusan yang sebenarnya sudah berkekuatan hukum tetap itu.

Tahun 2015

Lima tahun kasus Supersemar mengendap, pada Maret 2015 Kejaksaan Agung mengajukan permohonan peninjauan kembali. Majelis hakim Suwardi, Soltoni, dan Mahdi Sorinda memperbaiki salah ketik pada putusan kasasi 2010. Ganti rugi yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar menjadi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar—total sekitar Rp 4,4 triliun dalam kurs kala itu. Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, saat itu mengatakan putusan peninjauan kembali perkara Supersemar diputus majelis hakim secara bulat.

Pada waktu itu, Kejaksaan Agung tak mau terburu-buru melakukan eksekusi lantaran aset Yayasan Supersemar berserak. "Kami inventarisasi dulu, di mana saja asetnya," kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. Bila semua aset telah terlacak, menurut Prasetyo, banyak strategi yang bisa dijalankan, termasuk menggugat perusahaan penerima dana yayasan.

Tahun 2018

Kejaksaan Agung menyatakan akan menyita sejumlah saham dan rekening atas nama Yayasan Supersemar. Penyitaan dilakukan setelah tim eksekutor mengambil Gedung Granadi milik Keluarga Cendana untuk disetorkan kepada negara.

Jaksa Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Loeke Larasati Agoestina mengatakan Kejaksaan Agung sebagai pemohon dalam perkara tersebut tengah menelusuri seluruh saham dan rekening milik atas nama Yayasan Supersemar untuk dimasukkan ke daftar aset yang harus disita tim eksekutor yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dia memastikan Kejaksaan Agung tidak akan berhenti memburu aset milik Yayasan Supersemar hingga mencapai Rp 4,4 triliun untuk disetorkan ke negara. "Sekarang itu total aset yang kami sita dari Yayasan Supersemar baru sekitar Rp 243 miliar. Kami tidak akan berhenti, akan kami kejar terus semua asetnya Yayasan Supersemar ini sesuai putusan hingga Rp 4,4 triliun," tuturnya seperti dikutip dari Bisnis, Senin, 19 November 2018.

 

CAESAR AKBAR | MBM TEMPO | BISNIS.COM

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus