Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Institute for development of Economic and Finance (Indef) Aviliani mengungkapkan mengenai global shock atau guncangan global dalam perekonomian. Utang berbagai negara dinilai mengkhawatirkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Global shock memang dari waktu ke waktu akan terjadi, karena kalau kita melihat utang terhadap PDB (pendapatan domestik bruto) dari berbagai negara itu sudah sangat mengkhawatirkan, rata-rata di atas 60 persen," kata Aviliani dalam diskusi publik 'Agustusan Ekonom Perempuan Indef' secara virtual pada Senin, 21 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, lanjut dia, batas atasnya adalah 60 persen dari PDB. Dengan demikian, negara dengan utang di atas 60 persen dari PDB memiliki beban utang yang besar dan dipertanyakan bagaimana tingkat pengembaliannya.
Lebih lanjut, defisit Indonesia dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara atau RAPBN 2024 ditargetkan sebanyak 2,29 persen dari PDB atau Rp 522,8 triliun. Menurut Aviliani, jumlah tersebut cukup besar. Namun, jika dibandingkan dengan PDB tidak sampai 60 persen atau hanya sekitar Rp 37 persen.
"Jadi, PR-nya adalah bagaimana menggunakan APBN itu satu tepat sasaran dan sesuai dengan yg sudah dicanangkan, yaitu pengentasan kemiskinan, stunting, kemudian industrialisasi," tutur Aviliani.
Lebih jauh, dia menjelaskan mengenai faktor global yang bisa mempengaruhi perekonomian. Pertama adalah kebijakan moneter.
"Kalau kita lihat di negara seperti Eropa, Amerika, inflasinya belum bisa ditekan secara signifikan. Jadi bahkan sampai dengan akhir tahun, diperkirakan inflasinya itu turunnya melambat," ujar dia.
Selanjutnya: Ekonomi China yang membaik
Kedua, ekonomi China yang makin membaik. Dia menyebut, membaiknya ekonomi China sangat diharapkan karena transaksi ekspor-Indonesia antara Indonesia dengan negara tersebut paling besar.
Sedangkan transaksi ekspor-impor Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) tidak terlalu besar, tetapi nilai tukar dolar AS ke rupiah sangat berpengaruh. Adapun kebijakan penempatan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri diharapkan mampu menjaga nilai tukar rupiah.
"Nah, yang ketiga adalah harga komoditas cenderung sudah menurun," kata Aviliani.
Jika komoditas turun signifikan, dia menilai bisa berdampak pada ekspor Indonesia yang selama dua tahun terakhir menjadi daya dukung ekonomi, dengan pertumbuhan mencapai 25 persen. Sementara itu, dari sisi impor belum signifikan dan perlu menjadi perhatian pemerintah.
"Karena kalau ekonomi sudah mulai baik, pertumbuhan permintaan mulai meningkat, biasanya impor meningkatnya juga signifikan. Nah, impor yang naik signifikan juga berpengaruh pada cadangan devisa," tutur dia.