Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Greenpeace Khawatir RI Tak Mampu Capai Target Emisi Nol Persen karena PLTU Baru

Greenpeace menilai Indonesia masih membuka ruang pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru sampai 2030.

18 Agustus 2022 | 17.51 WIB

Aktivis Walhi menggelar aksi di depan gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat, 11 Desember 2020. Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan pembangunan PLTU Batubara Jawa 9 dan 10 karena dinilai dapat merusak lingkungan dan menuntut pemerintah untuk beralih ke energi terbarukan. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Aktivis Walhi menggelar aksi di depan gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat, 11 Desember 2020. Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan pembangunan PLTU Batubara Jawa 9 dan 10 karena dinilai dapat merusak lingkungan dan menuntut pemerintah untuk beralih ke energi terbarukan. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace mengkhawatirkan target Indonesia mencapai nol emisi pada 2060 tak akan tercapai. Sebab, Indonesia masih membuka ruang pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru sampai 2030. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Karena kita masih membakar batu baranya,” ujar Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari dalam diskusi daring bertajuk Merdeka dari Energi Fosil yang digelar pada Kamis, 18 Agustus 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia diperkirakan akan membangun PLTU baru dengan kapasitas sebesar 13,8 gigawatt atau 43 persen dari kapasitas eksisting yang dimiliki saat ini dalam sepuluh tahun ke depan. Rencana itu dinilai tidak sejalan dengan upaya pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN yang akan mempensiunkan PLTU sebesar 9,3 gigawatt hingga 2029.

Risikonya, target Indonesia untuk mencapai nol emisi akan molor. Adapun target nol emisi Indonesia yang ditetapkan bakal tercapai dalam 40 tahun ke depan lebih lama ketimbang perjanjian iklim internasional atau yang dikenal dengan Paris Agreement. 

Adila menilai langkah Indonesia yang masih memberi ruang bagi munculnya PLTU anyar akan menghambat masuknya investor yang akan menanamkan modal di sektor energi hijau. “Ini seperti pemerintah kita kayak setengah-setengah melakukan transisi energinya karena masih ingin membanguhn PLTU yang baru,” tutur Adila.

Selain ituk, Greenpeace menilai sikap pemerintah tidak sejalan dengan rekomendasi global perserikatan bangsa-bangsa (PBB), yaitu tidak membangun PLTU yang baru setelah 2020. Begitu juga dengan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)—bagian dari PBB—yang beranggotakan ilmuwan perubahan iklim. Para ilmuwan sudah membuat modeling, jika ingin membatasi kenaikan suhu rata-rata global, negara-negara di dunia harus menutup 80 persen PLTU pada 2030. 

“Bukan malah menambah lagi, jadi itu bertentangan sekali,” kata Adila.

Sementara itu agar bisa tetap mencapai emisi nol persen, Indonesia juga perlu mendorong bauran energi baru terbarukan hingga 50 persen sesuai dengan rekomendasi dari IPCC. Upaya ini tak lepas dari tantangan karena pada 2021, bauran energi terbarukan Indonesia masih 12,6 persen, sedangkan pada 2025 targetnya 23 persen.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

M. Khory Alfarizi

Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bergabung di Tempo pada 2018 setelah mengikuti Kursus Jurnalis Intensif di Tempo Institute. Meliput berbagai isu, mulai dari teknologi, sains, olahraga, politik hingga ekonomi. Kini fokus pada isu hukum dan kriminalitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus