Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gunung Es Tingginya Harga Pangan

Inflasi tahunan pada 2023 mencapai titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Namun inflasi pangan masih relatif tinggi.

3 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Inflasi pangan bergejolak masih meningkat meski inflasi umum sudah reda.

  • Andil beras terhadap inflasi tahunan cukup tinggi.

  • Masalah harga beras diperkirakan masih berlanjut pada tahun ini.

LONJAKAN harga pangan masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dalam pengendalian inflasi ke depan. Musababnya, sebagian besar inflasi pada akhir 2023 didorong oleh komponen inflasi harga pangan yang bergejolak. Inflasi pangan bergejolak pada Desember 2023 meningkat menjadi 6,73 persen, dari semula 5,61 persen pada 2022.

"Inflasi harga bergejolak terkait dengan pangan menjadi penyebab utama inflasi pada 2023," ujar Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, kepada Tempo, kemarin. Kenaikan inflasi pangan tersebut sejalan dengan adanya dampak anomali iklim El Nino yang menyebabkan produksi terganggu. Selain itu, banyak negara membatasi ekspor pangan yang menyebabkan harga pangan global melambung tinggi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tingginya inflasi pangan melampaui inflasi umum ini setidaknya tercatat sejak September 2023. Inflasi pangan bergejolak pada Desember menjadi terbesar kedua sepanjang tahun lalu. Inflasi pangan bergejolak paling tinggi terjadi pada November 2023, yakni sebesar 7,59 persen. Pada Desember, andil inflasi pangan bergejolak mencapai 1,15 persen terhadap inflasi umum. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilihat berdasarkan kelompok pengeluaran, inflasi tahunan terbesar pun terjadi di kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Kelompok ini mengalami inflasi 6,18 persen secara tahunan pada Desember 2023. Andil kelompok ini terhadap inflasi umum mencapai 1,6 persen. Komoditas yang menyumbang inflasi, antara lain, adalah beras dengan andil 0,53 persen, cabai merah 0,24 persen, rokok kretek filter 0,17 persen, cabai rawit 0,1 persen, dan bawang putih 0,08 persen.

Pekerja menuang karung berisi gabah di penggilingan padi di Desa Sukamaju, Tambelang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 28 Desember 2023. TEMPO/Tony Hartawan


Badan Pusat Statistik mencatat beras terus mengalami inflasi bulanan sejak Januari hingga Desember 2023. Tercatat, beras hanya satu bulan mengalami deflasi, yakni pada Juli 2023. Kala itu, komoditas ini mengalami deflasi 0,02 persen secara bulanan. Pada Desember 2023, inflasi beras tercatat 0,48 persen secara bulanan. Laju inflasi ini relatif lebih rendah dibanding pada Desember 2022 yang sebesar 2,3 persen month-on-month.

Perkembangan harga gabah dan beras pun menunjukkan adanya kenaikan di semua rantai distribusi pada akhir tahun lalu. Harga gabah kering panen di tingkat petani naik 0,12 persen secara bulanan dan 19,58 persen secara tahunan pada Desember. Sementara itu, harga gabah kering giling di tingkat petani naik 1,2 persen secara bulanan dan 29,37 persen secara tahunan.

Harga beras di penggilingan naik 0,73 persen secara bulanan dan 24,07 persen secara tahunan pada Desember. Di tingkat grosir, kenaikan mencapai 0,58 persen secara bulanan dan 18,44 persen secara tahunan. Sementara itu, di tingkat eceran, kenaikan mencapai 0,48 persen secara bulanan dan 17,07 persen secara tahunan.  

Kenaikan harga pangan pada akhir tahun tersebut juga terekam dalam Panel Harga Badan Pangan Nasional. Beberapa komoditas yang harganya ditutup menanjak pada 2023 di antaranya beras premium, beras medium, kedelai biji kering, bawang merah, cabai merah keriting, cabai rawit merah, gula konsumsi, dan minyak goreng curah.  

Warga memilih beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Inflasi Umum Terendah dalam 20 Tahun

Kendati inflasi pangan relatif tinggi, BPS mencatat inflasi umum pada 2023 berada di rentang yang ditargetkan pemerintah, yakni sebesar 2,61 persen. Inflasi umum tahun lalu itu bahkan menjadi yang terendah dalam 20 tahun, jika angka inflasi selama masa pandemi 2020-2021 dikecualikan. Pelaksana tugas Kepala BPS Amalia Widyasanti mengimbuhkan turunnya inflasi umum dari 5,51 persen pada 2022 menjadi 2,61 pada 2023 disebabkan oleh landainya pergerakan komponen inflasi inti dan turunnya inflasi akibat harga yang diatur pemerintah. 

Inflasi akibat harga komoditas yang diatur pemerintah tercatat turun signifikan dari 13,34 persen pada Desember 2022 menjadi 1,72 persen pada Desember 2023. Di sisi lain, inflasi inti juga melemah dari 3,36 persen pada Desember 2022 menjadi 1,8 persen pada Desember 2023. Namun Amalia mengakui bahwa komponen pangan bergejolak masih relatif berfluktuasi karena adanya faktor eksternal, terutama cuaca. "Tapi andil Januari hingga Desember trennya menurun." 

Amalia mengatakan meredanya inflasi tak lepas dari peran para pemangku kepentingan sepanjang tahun ini, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dia pun yakin langkah pemerintah menggelontorkan bantuan pangan dan operasi pasar juga ikut berandil dalam mengendalikan kenaikan inflasi. "Tapi, kalau mau tahu seberapa besar, perlu penelitian lebih lanjut."

Walau inflasi umum telah kembali ke rentang target pemerintah di 3 persen plus-minus 1 persen, Josua Pardede mewanti-wanti pemerintah agar tetap waspada. Musababnya, El Nino diprediksi berlangsung hingga April 2024. Artinya, ada potensi pasokan atau panen di dalam negeri akan berkurang dibanding tahun lalu. Di sisi lain, upaya pemerintah menjaga pasokan dalam negeri dan memperlancar jalur distribusi juga diperkirakan sedikit terhambat karena kebijakan impor yang terkena dampak dari pelarangan ekspor pangan oleh beberapa negara mitra dagang. 

Karena itu, selain mengoptimalkan efisiensi jalur distribusi, termasuk melanjutkan operasi pasar, Josua mengatakan pemerintah harus mulai memperluas mitra dagang pangan Indonesia. Dengan demikian, Indonesia dapat mengamankan impor sehingga dapat menjaga pasokan pangan dalam negeri. Penerapan teknologi modifikasi cuaca juga dapat menjadi opsi guna menurunkan risiko El Nino.

Inflasi Pangan Fenomena Gunung Es

Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat persoalan harga pangan yang saat ini terjadi seperti fenomena gunung es. Banyak pihak hanya melihat harga pangan tinggi karena El Nino yang menyebabkan pasokan berkurang serta kebijakan restriksi berbagai negara. Namun, jika digali lebih dalam, ia melihat sengkarut pangan ini tidak lepas dari tata kelola pangan di Tanah Air yang masih semrawut. 

Mulai dari nihilnya data pangan yang akurat dan real-time, disunatnya insentif bagi petani, hingga dipangkasnya subsidi pupuk dan solar yang menyebabkan biaya produksi meningkat. Ini semua, Yusuf mengimbuhkan, adalah biang kerok kenaikan harga di tingkat konsumen. Belum lagi berbicara rantai pasok yang masih panjang sehingga menyebabkan inefisiensi serta kurangnya riset guna menggenjot produksi yang berakibat Indonesia terus bergantung pada impor. "Ketergantungan impor ini sudah bertahun tahun-lamanya, bukan satu atau dua tahun terakhir saja."
 
Berkaca pada berbagai hal tersebut, Yusuf memperkirakan masalah klasik dari tata kelola pangan dan pertanian masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dievaluasi ke depannya. Musababnya, perkara ini akan ikut mempengaruhi peningkatan harga pangan strategis di luar kondisi luar biasa, seperti El Nino. Pembenahan harus dilakukan paralel dengan langkah pemerintah melanjutkan bantuan tematik, seperti bantuan pangan atau bantuan langsung tunai sebagai solusi sementara di tengah kenaikan harga. "Bantuan ini sebagai upaya untuk mencapai target sosial ekonomi, seperti penurunan tingkat kemiskinan."

Sependapat dengan Yusuf, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Ayip Said Abdullah mengatakan satu-satunya kunci mengamankan pangan nasional ke depan adalah memperkuat produksi. Dengan demikian harga tidak bergerak tinggi. Di sisi lain, pemerintah juga harus terus mengupayakan diversifikasi pangan sehingga masyarakat tidak hanya bergantung pada satu jenis pangan.

"Masalahnya, masyarakat kita masih mengutamakan konsumsi beras dan sampai sekarang substitusi bahan pangan beras ini masih belum terjadi," kata Ayip. Buktinya, setinggi apa pun harga beras, orang masih akan berupaya membeli beras alih-alih beralih ke komoditas lain. Sementara itu, produksi beras pada tahun ini diperkirakan masih terganggu pada musim tanam pertama karena terimbas musim kering El Nino tahun lalu. Kini, Ayip hanya berharap akan adanya perbaikan produksi pada musim panen kedua dan ketiga tahun ini. "Jika situasi ekonomi, politik, dan klimatologis mendukung, saya kira kita akan keluar dari situasi ini."

Tempo berupaya meminta konfirmasi soal perkara inflasi pangan tersebut kepada pelaksana tugas Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Ferry Irawan. Namun, hingga laporan ini ditulis, pertanyaan Tempo belum dijawab.

CAESAR AKBAR

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus