Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pasokan ban alat berat habis pada bulan depan.
Pengusaha mendesak pelonggaran impor ban alat berat.
Aktivitas pertambangan terancam lumpuh total pada Maret 2024.
JAKARTA — Para pelaku industri jasa pertambangan mulai ketar-ketir dan terancam mengurangi aktivitas gara-gara perkara pengadaan ban alat berat. Dalam enam bulan terakhir, mereka kesulitan mendatangkan ban radial jenis off the road (OTR) yang biasa digunakan untuk berbagai kendaraan dan alat berat pertambangan. Jika kondisi ini berlanjut, kegiatan produksi pertambangan di Tanah Air diprediksi lumpuh dalam waktu tujuh bulan ke depan atau pada Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia, Rochman Alamsjah, menyatakan stok ban OTR pada setiap perusahaan jasa pertambangan sudah sangat menipis. Bahkan, ia memperkirakan stok itu bakal ludes setelah Agustus berlalu lantaran tak ada lagi pasokan dari produsen. Dampaknya, banyak alat berat yang terbengkalai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sekarang rata-rata setiap kontraktor pertambangan memiliki 25 unit truk yang standby karena tidak ada bannya," kata dia kepada Tempo, kemarin. Rochman menaksir jumlah alat berat yang stop beroperasi karena tak memiliki ban mencapai 5 persen dari populasi sampai Juni lalu.
Menurut dia, jumlah alat berat yang terpaksa dikandangkan bakal terus bertambah. Bulan ini, dia memprediksi jumlahnya bertambah menjadi 20 persen. Pada awal 2024, seluruh alat berat tidak bisa beroperasi jika keran impor ban tak kunjung dibuka. Dengan kondisi tersebut, dia memperkirakan kegiatan di tambang berbagai komoditas terhambat.
Rochman mencontohkan efeknya pada sektor batu bara. Produksi bahan bakar ini bakal turun perlahan seiring dengan berkurangnya aktivitas alat berat. "Kami memprediksi batu bara pada akhir Maret 2024 tidak bisa keluar lagi," tuturnya.
Para kontraktor penyedia alat berat untuk pertambangan mencoba menyiasati kondisi tersebut. PT Harmoni Panca Utama (HPU), misalnya, memilih memanfaatkan ban bekas yang masih layak digunakan. Presiden Direktur HPU, Ahmad Kharis, menuturkan pihaknya juga mencoba mencari alternatif ban sejenis meskipun beda spesifikasinya hingga mencopot ban dari kendaraan lain untuk memenuhi kontrak. "Tapi langkah-langkah ini juga tidak bisa berlangsung lama," ujarnya.
Pameran Indonesia Energy & Engineering (IEE) 2022 di JiExpo Kemayoran, Jakarta, 14 September 2022. Tempo/Tony Hartawan
Akar Masalah Hambatan Impor Ban
Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo), Bambang Tjahjono, mengatakan selama ini pasokan ban radial jenis OTR masih bergantung pada impor lantaran belum ada produsennya di dalam negeri. Namun, sejak tahun lalu, para importir tak kunjung mendapatkan izin pengadaan barang tersebut dari luar negeri. Bahkan ban alat berat yang sudah sampai di pelabuhan berikat pun tertahan.
Bambang mengatakan hambatan ini terjadi akibat pemerintah belum menetapkan neraca komoditas untuk ban jenis tertentu yang tidak diproduksi di dalam negeri dan digunakan untuk mendukung industri pertambangan, transportasi, serta logistik. Neraca komoditas ini merupakan salah satu syarat terbitnya izin impor dari Kementerian Perdagangan. Kebijakan tersebut sengaja dibuat pemerintah untuk melindungi industri di dalam negeri.
Bambang mengaku sudah mengajukan permohonan kepada Kementerian Perindustrian untuk mempercepat penetapan ban OTR dalam neraca komoditas. Namun, kata dia, prosesnya tak mudah. Sebab, perlu ada revisi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.
Dia berharap keputusan soal neraca komoditas ini bisa segera rampung. Sebab, pasokan ban di dalam negeri sudah tipis. "Untuk mengadakan impor baru, butuh sekitar dua bulan untuk bisa sampai ke Indonesia," katanya. Dia mengingatkan pemerintah agar tak mengambil risiko menunggu kelangkaan ban ini berdampak pada industri pertambangan, khususnya batu bara yang menjadi sumber energi utama di dalam negeri.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, menyatakan kekhawatiran soal kelangkaan ban ini semakin terasa. Pasalnya, jika tak ada solusi, alat-alat berat akan berhenti beroperasi karena tak ada ban pengganti mulai bulan depan. "Ekstremnya, pada akhir tahun, sebanyak 70-80 persen produksi batu bara bisa terhambat," kata dia.
Bersama Aspindo, anggota APBI melayangkan keluhan kepada pemerintah lewat Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koordinator Perekonomian sejak April lalu. Hendra menyatakan tengah menunggu keputusan pemerintah. "Kabarnya pemerintah sedang menindaklanjuti, kita tunggu kabar baiknya segera."
Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Penguatan Kemampuan Industri Dalam Negeri, Ignatius Warsito, mengatakan proses revisi PP 28 Tahun 2021 saat ini masih berjalan. Perubahan aturan tersebut masih menunggu persetujuan dari sejumlah kementerian sebelum disahkan.
Namun, selagi menunggu aturan, Warsito menuturkan impor untuk ban pendukung industri pertambangan bisa berjalan. Pemerintah memberikan izin impor kepada pemilik angka pengenal impor umum (API-U). "Nanti menyertakan bukti bahwa impor ban tersebut untuk mendukung kegiatan pertambangan," kata dia.
Menanggapi penjelasan pemerintah, Rochman menyatakan pengurusan izin impor dari para pemegang AIP-U berjalan lambat dan hanya berlaku untuk melepas barang impor yang sekarang menumpuk di pelabuhan. Dia menegaskan bahwa jumlah yang tersedia tak cukup untuk menjamin kelanjutan kegiatan produksi di tambang.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo