Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harap Cemas Reksadana

Bunga deposito yang melambung menambah muram industri reksadana. Harapan tambah tipis bila pajak dikenakan.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPIK trompet dan keriaan tahun baru saja jelas tak cukup membuat para manajer investasi dan pengelola reksadana melupakan trauma yang melanda industri ini dalam beberapa bulan terakhir. Suramnya masa depan reksadana, yang membayang sejak triwulan kedua 2005, terlalu nyata untuk dianggap biasa-biasa saja.

Industri ini bahkan lebih dulu merana sebelum bisnis lain gulung tikar dihajar beban kenaikan harga minyak, Oktober lalu. Rontoknya nilai tukar rupiah, yang pada akhir Agustus lalu sempat menyentuh Rp 11.300 per US$ 1—atau terendah sejak November 2001—membuat brankas reksadana ikut-ikutan jebol.

Ketika itu Kepala Biro Pengelolaan Investasi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), Freddy Saragih, mengatakan melemahnya rupiah membuat sejumlah nasabah menarik investasi mereka di reksadana. Investasi yang pada awal 2005 mencapai Rp 110 triliun lebih tinggal Rp 74 triliun.

Pada saat-saat puncak itu, Direktur Pengelola Investasi di Nikko Securities, Adler Haymans Manurung, mencatat redemption—atau penarikan—mencapai Rp 2 triliun dalam dua hari saja. Menjelang akhir tahun, Presiden Direktur Trimegah Securities, Avi Yasa Dwipayana, menghitung jumlah dana yang dikelola industri ini tinggal sekitar Rp 29 triliun.

Adakah tahun yang berganti membawa hawa lebih sejuk bagi bisnis reksadana? Freddy Saragih tak segera menjawab. Setelah terdiam sejenak, ”Saya tak punya kata-kata yang tepat untuk memprediksinya,” katanya.

Regulator seperti Freddy memang tak mau tergesa-gesa memberi ”petunjuk”, yang boleh jadi akan mendorong hal yang tak diinginkan lebih cepat. Tapi, bagi ekonom di Bank Internasional Indonesia (BII), Ferry Latuhihin, tak ada lagi yang perlu ditutupi dalam bisnis ini.

Sikap kurang terbuka justru berpotensi menjerumuskan para investor yang punya gambaran tak lengkap tentang reksadana. Pemahaman keliru itu pula yang jadi sebab ketika September lalu para nasabah yang kecewa ”menyerbu” BNI Securities.

Banyak investor berpikir reksadana tak beda dengan deposito, yang tak punya risiko. Karena itu, mereka mengamuk ketika mendapati uang mereka mengerut karena nilai aktiva bersih (NAB) terus-terusan tergerus. ”Ini kesalahan para manajer investasi,” katanya.

Bagi Ferry, trompet tahun baru kali ini bukan tak mungkin justru akan menandai senjakala yang mulai datang dalam industri reksadana. ”Tak ada lagi nilai lebih yang ditawarkan reksadana kalau cuma mengandalkan belanja obligasi,” ujarnya kepada Tempo.

Selama tiga tahun terakhir, masa jaya reksadana praktis hanya ditopang dua faktor: bunga deposito yang rendah dan insentif pembebasan pajak. Bunga deposito kini melambung hingga 11-12 persen, mengikuti patokan BI Rate yang sudah 12,75 persen. Dan jika Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang kini di tangan DPR tembus, mulai tahun ini tak akan ada lagi pengecualian bagi reksadana.

Dengan yield 12-14 persen yang ditawarkan obligasi, dipotong fee buat manajer investasi dan pajak 20 persen, paling banter nasabah dapat untung 9-10 persen. ”Kalaupun masih bisa menawarkan lebih tinggi 1 persen dari deposito, nasabah tetap tak akan melirik,” ujar Ferry.

Pandangan lebih optimistis disampaikan analis dari PT Danareksa, Purbaya Yudhi Sadewa. Menurut dia, inflasi, yang sampai akhir Desember kemarin mencapai 18 persen, akan kembali turun ke level di bawah 7 persen pada Oktober mendatang. ”Saat itu bunga deposito pasti akan kembali rendah, dan obligasi jadi lebih menarik,” katanya. ”Sulit cepat pulih, tapi masa depan masih ada.”

Namuan, seperti halnya Adler Haymans dan banyak analis lain, optimisme Purbaya punya syarat, yakni jika pemerintah menunda pengenaan pajak atas reksadana. ”Kalau tetap dikenakan, pemerintah sendiri yang rugi karena obligasi negara tak akan laku,” ujarnya.

Dalam soal pajak ini, Ferry Latuhihin pun memilih berbeda dengan para rekannya. Ketimbang berharap pemerintah menunda pengenaan pajak, ia lebih suka mendesak para manajer investasi agar lebih keras memutar otak dan kreatif menciptakan produk investasi yang menawarkan keuntungan lebih riil.

”Masih ada banyak cara kalau jeli,” katanya. Misalnya dengan menggabungkan berbagai produk seperti model ”unit-link” yang mengawinkan asuransi dan investasi. Peluang di bursa saham pun bukan tak ada. ”Kalau tidak bisa juga, suruh saja mereka sekolah lagi,” tuturnya.

Y. Tomi Aryanto, R.R. Ariyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus