Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harapan dan kecemasan dalam ...

Rcti mulai menyiarkan acaranya tanpa dekoder. di surabaya, denpasar dan bandung segera berdiri tv swasta. jumlahnya dibatasi hanya di setiap ibu kota provinsi. saingan dan tantangan bagi tvri.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Era baru dalam dunia pertelevisian di Indonesia. Televisi swasta, yang jumlahnya dibatasi diberi peluang untuk siaran umum dengan iklan. RCTI mencabut dekodernya. Betulkah TVRI tak takut menghadapi persaingan? BANYAK harapan, dan sekaligus kecemasan, yang muncul tepat di hari jadi ke-28 TVRI, Jumat pekan ini. Apakah media pemerintah itu tetap menjadi milik masyarakat, atau secara pelan tetapi pasti ditinggalkan pemirsanya, memang terlalu pagi untuk menyimpulkannya. Di hari itu, mulai pukul 13.30 WIB, saat TVRI belum mengudara, RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) mulai menyiarkan acaranya tanpa melalui kotak dekoder. Ini berarti, bagi masyarakat di seantero Jabotabek (Jakarta-Bogor-Tangerang- Bekasi), ada pilihan ketika berhadapan dengan pesawat layar kaca di depannya. Singkatnya, TVRI harus bersaing dengan RCTI. Mampukah TVRI menghadapi saingan baru dari pihak televisi swasta? Dalam usianya yang mencapai bilangan 28, TVRI ternyata belum bisa berkembang menjadi sebuah sosok yang matang. Terlalu banyak tantangan yang mesti dihadapi sebagai lembaga milik pemerintah. Dari masalah peralatan yang tua dan terbatas sampai masalah kebebasan kreatif dan imajinasi. Belum lagi masalah yang tak kalah pentingnya: biaya. Ambil contoh acara liputan peringatan HUT Kemerdekaan 17 Agustus yang lalu. Untuk meliput acara di Istana Merdeka itu, TVRI cuma mengirimkan dua kamera. Liputannya pun tampak monoton. Rekamannya juga ternyata kurang bagus. Ini karena keterbatasan kamera -- karena TVRI "wajib" juga mengirimkan kamera untuk meliput perayaan serupa di departemen-departemen. Gejala monoton seperti itu tak hanya pada siaran langsung. Juga pada siaran lain, misalnya, film seri Si Unyil, Ria Jenaka, drama-drama yang dibebani berbagai slogan, acara pedesaan -- dan banyak kalau disebut semuanya. Bukan berarti semua siarannya jelek dan awak TVRI sudah kehilangan kreativitas. Beberapa pentas musiknya digarap dengan lumayan -- walau kita tak bisa lumayan -- walau kita tak bisa lagi menikmati acara musik Chandra Kirana sebagus di awal-awal pemunculannya. Banyak sinetron TVRI yang sudah bagus, bahkan jika dibandingkan dengan film-film nasional yang diputar di gedung-gedung bioskop. Karya Irwinsyah yang disiarkan Ahad lalu, Tuanku Tambusai, misalnya. Kisah pahlawan dari Sumatera itu dipuji banyak orang. Seperti halnya Sayekti & Hanafi atau Pemahat Borobudur -- untuk menyebut beberapa sinetron yang bagus yang dihasilkan TVRI. Sinetron-sinetron seperti ini -- dan juga drama seri seperti Kartika atau Rumah Masa Depan yang "dipesan" TVRI pada pihak luar -- tampaknya masih mampu mengikat pemirsa. Ini tentu akan menjadi penting karena sejak Jumat nanti penting karena sejak Jumat nanti sebuah sejarah baru akan diukir dalam pertelevisian di Nusantara ini: TVRI kehilangan haknya sebagai satu-satunya pengelola siaran televisi umum. Tepat pada hari itu, mantel perlindungan yang diberikan Pemerintah kepada TVRI akan kena gunting. Televisi swasta diberi kebebasan untuk siaran umum tanpa ada batasan memakai dekoder lagi. Saingan TVRI tak hanya di Jakarta. Di Surabaya, kota kedua terbesar di Indonesia, lahir SCTV (Surabaya Centra Televisi). Perusahaan televisi swasta yang didirikan Mohammmad Noer, Sudwikatmono, dan Henry Pribadi ini merencanakan mulai mengudara secara komersial juga di hari Jumat nanti. Siaran-siaran percobaan sudah dilakukan sejak bulan-bulan lalu. Lalu di Bandung, segera muncul televisi swasta yang juga dikelola RCTI. Sementara itu, di Denpasar, Bali, dalam waktu yang tak akan lama lagi, menyusul televisi swasta yang kabarnya dikelola SCTV. Jelas, TVRI sebagai pemegang monopoli siaran televisi sejak 1963 -- setahun setelah berdiri -- sudah kena gunting. Monopoli hak siaran yang selama ini dimiliki TVRI itu tercantum dalam Keputusan Presiden RI No. 215 yang dikeluarkan tahun 1963. Kini, lewat SK Menteri Penerangan RI tentang Penyiaran Televisi di Indonesia yang dikeluarkan 24 Juli 1990, yang baru saja diumumkan Dirjen Radio Televisi dan Film dua pekan lalu, hak istimewa yang dimiiiki TVRI itu tak ada lagi. Dalam SK Menpen itu memang masih disebutkan, "Penyiaran televisi di Indonesia merupakan hak dan kewenangan pemerintah, dalam hal ini Departemen Penerangan RI. Hak dan kewenangan penyiaran, sebagaimana dimaksud, diselenggarakan oleh Yayasan Televisi RI, selanjutnya disingkat TVRI." Namun, dalam bagian lain disebutkan juga, "Dalam batas-batas tertentu, TVRI dapat menunjuk pihak lain (masyarakat/swasta) sebagai pelaksana penyiaran televisi setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan Menteri Penerangan." Keputusan Pemerintah inilah yang membuka peluang adanya televisi swasta. Dalam salah satu pasal mengenai kebijaksanaan penyiaran televisi swasta ada disebutkan: "Siaran lokal yang diselenggarakan oleh SPTSU (Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Umum) tidak harus dipancarkan dengan mengacak sinyal agar dapat ditangkap oleh masyarakat dengan menggunakan pesawat penerima televisi biasa." Nah, dari pasal inilah RCTI memutuskan untuk "membuang" dekodernya. Ada dua jenis televisi swasta dilihat dari materi siarannya -- juga jangkauan penerimanya. Pertama, SPTSU yang sudah disebut tadi -- di sini baru ada RCTI dan SCTV. SPTSU ini termasuk siaran lokal yang hanya ada di ibu kota provinsi dan jangkauan pemancarannya dalam radius 80 km. SPTSU ini pun hanya boleh ada satu di setiap provinsi. Yang kedua, Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Pendidikan (SPTSP) yang hanya ada satu di ibukota negara dan dipancarkan secara nasional. Dengan demikian, usaha pertelevisian swasta ini pun memperoleh proteksi. Tak jelas, apakah peluang masuk di televisi swasta itu melalui prosedur tender misalnya. Tak ada ketentuan soal itu. Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnain hanya menyebutkan bahwa masih terbuka kesempatan untuk kota lain, misalnya Medan. Sedangkan untuk usaha siaran televisi pendidikan, kini sudah tertutup rapat-rapat. Sebab, satu-satunya peluang di bidang usaha ini pada tanggal 16 Agustus lalu sudah diberikan kepada PT Televisi Pendidikan Indonesia. Ini adalah perusahaan dari kelompok Citra Lamtorogung yang dipimpin Nyonya Siti Hardiyanti Rukmana, yang lebih dikenal sebagai Mbak Tutut. Mengapa usaha televisi swasta dibatasi satu saja tiap provinsi? "Ya, supaya jangan banyak-banyak. Usaha televisi harus dibedakan dengan radio. Investasi untuk televisi kan berat," ujar Alex Leo Zulkarnain kepada Iwan Q. Himawan dari TEMPO. Yang menjadi permasalahan, apakah keputusan ini sudah mempertimbangkan bahwa tiap provinsi luasnya tidak sama. Provinsi yang luas dan kurang padat penduduknya mungkin masih harus menunggu lama untuk dikunjungi televisi swasta. Maluku atau Irian Jaya misalnya. Cepat atau lambat, persaingan pasti akan terjadi antara TVRI dan televlsi swasta. Namun, Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnain menyangkal akan terjadinya persaingan yang tajam itu. "Masalah yang ditakuti kan soal hilangnya penonton TVRI karena penghapusan dekoder. Satu-satunya jawaban, ya, TVRI harus meningkatkan mutu siarannya. Juga perlu diingat bahwa penghapusan dekoder itu disertai aturan main. Misalnya perbaikan panduan siaran, kode etik, dan pola acara. Ini semua untuk memperseimbangkan siaran TVRI dan televisi swasta," ujar Alex. Apa yang dikatakan bekas Direktur Televisi itu memang merupakan tantangan yang tidak mudah bagi TVRI. Masalah utamanya, seperti yang berkali-kali diucapkan Direktur Televisi Drs. Ishadi ialah terbatasnya dana. "Idealnya pendapatan TVRI adalah Rp 120 milyar setahun," katanya. Dengan anggaran sebesar itu, ia yakin mampu membuat TVRI berpacu lebih kencang dan bersaing. Itu sudah meliputi peremajaan peralatan dan peningkatan mutu siaran. Anggaran TVRI dalam tahun terakhir ini, kata Ishadi, baru sekitar Rp 70 milyar. Sekitar 87% dari uang itu diperoleh dari iuran masyarakat pemilik televisi. Sisanya yang 13% diperoleh TVRI dari pendapatan produksi siaran (misalnya penayangan lagu-lagu yang umum disebut "iklan terselubung"), persentase penghasilan iklan dari RCTI, bantuan SDSB, dan subsidi pemerintah. "Ini hanya cukup untuk membuat TVRI bertahan hidup (survive), tanpa bisa berkembang. Lihat saja misalnya studio 5, 6, 7, dan 8. Itu bukan studio yang selayaknya. Alatnya tak ada, lampu dan kamera jelek," kata Ishadi secara terus terang. Ia mengakui bahwa sumber-sumber penghasilan TVRI selama ini tak tergarap secara baik. "Sekarang ini, pesawat televisi yang terdaftar di Perum Pos & Giro ada sekitar 6 juta. Menurut catatan Bappenas, malah 10 juta, bahkan menurut Departemen Perindustrian ada 12 juta pesawat televisi di masyarakat. Kalau pengumpulan iuran berjalan lancar dari pesawat yang 6 juta saja, pendapatan bisa mencapai jauh di atas Rp 100 milyar," katanya. Masalahnya, pengumpulan iuran televisi tidak dilakukan oleh TVRI sendiri. Tapi Ishadi tak menyebutkan apakah TVRI mampu menarik iuran sendiri, andaikan diperbolehkan. Upaya membenahi penarikan iuran televisi dari masyarakat sudah banyak dilakukan. Tak kurang dari Presiden Soeharto sendiri, dalam suatu wawancara dengan TVRI tahun lalu, pernah melontarkan ide agar pengumpulan iuran televisi itu ditenderkan saja kepada perusahaan swasta dengan imbalan komisi 20%. Konon, langsung ada perusahaan swasta yang sudah menyanggupi dan malah berani menalangi dengan membayar terlebih dahulu kepada TVRI sejumlah Rp 100 milyar. Tapi, ide itu kandas karena dikhawatirkan ada pemaksaan menarik iuran yang berdampak negatif. Yang dilakukan sekarang adalah mengimbau pemilik pesawat televisi untuk sadar dengan sendirinya membayar iuran. Dan di pihak TVRI ada usaha untuk meningkatkan mutu dan teknik siaran selain memperbanyak siaran langsung yang menarik, misalnya sepak bola tingkat dunia. Jika masyarakat puas, begitu anggapan ini, mereka akan datang langsung ke kantor-kantor pos untuk membayar iuran dengan kesadaran sendiri. Dan itu memang alternatif yang disukai Direktur Televisi Ishadi. Di mana iuran macet? Justru di perkotaan. Malah berdasarkan penelitian, kemacetan itu terjadi di kompleks-kompleks perumahan elite, misalnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sementara itu, di pedesaan, masyarakat hampir tak ada yang menunggak karena keterlibatan pamong setempat untuk ikut "mengamankan" pekerjaan Pak Pos ini. Selain masalah dana, kendala yang dihadapi TVRI saat ini adalah statusnya yang merupakan yayasan milik pemerintah dan mau tak mau menjadi corong pemerintah. Itu yang membuat siaran TVRI sangat dominan dengan siaran pejabat pemerintah dari pusat sampai ke daerah. Peluang bagi TVRI untuk mengembangkan kreativitas sendiri sangat terbatas, baik oleh waktu siaran maupun oleh "ketakutan". Namun, Ishadi membantah kreativitas dibatasi oleh status TVRI. Ia menyebutkan contoh adanya Programa 2 di Jakarta. "Di situ, TVRI bisa lebih leluasa menayangkan program-program yang lebih memenuhi selera masyarakat," katanya. Programa 2, yang berlangsung antara pukul 18.30 dan 21.00, memang lebih menonjolkan unsur-unsur hiburan. Apalagi nantinya, acara-acara pendidikan seperti Pembinaan Bahasa Indonesia, Pelajaran Bahasa Inggris Cerdas-Cermat, akan dimasukkan ke televisi pendidikan sehingga jam-jam siaran itu bisa dipakai untuk hiburan yang lebih bermutu. Masalah terpenting, kata Ishadi, tetap keterbatasan soal dana. Ia justru berharap banyak pada televisi swasta. Jika mutu siarannya bagus, masyarakat tentu puas. Kalau masyarakat puas menonton televisi mereka tak merasa rugi membayar iuran yang hanya berkisar dari Rp 2.000 sampai Rp 3.500 sebulan. Dampak langsungnya adalah kembali ke TVRI yang sepenuh-penuhnya mengelola iuran itu. "Coba saja, kalau nanti di Jakarta ada TVRI yang sudah menjalankan dua programa. Lalu, ada RCTI, dan nantinya ada lagi programa 3 TVRI. Lalu televisi pendidikan. Tak ada alasan lagi bagi masyarakat Jakarta untuk tidak membayar iuran televisi," kata Ishadi. Bagi Ishadi, kedatangan televisi swasta itu lebih dilihat sebagai datangnya sumber penghasilan baru bagi TVRI. Dalam SK Menpen 24 Juli lalu, memang ditentukan bahwa sepanjang TVRI tidak menyelenggarakan siaran niaga sendiri, TVRI berhak memperoleh bagian dari penghasilan siaran niaga yang diselenggarakan televisi swasta. Berapa besar penghasilan itu akan diatur tersendiri. Tapi Ishadi juga melihat kemungkinan buruk dengan "larinya" pendukung-pendukung yang membuat siaran TVRI membaik belakangan ini. Misalnya, penulis naskah drama yang baik. "Penulis naskah di Surabaya sekarang ini masih ada yang mau dibayar Rp 50.000 - Rp 100.000. Padahal, di Jakarta mereka sedikitnya sudah dibayar Rp 1 juta. Jika permintaan berkembang, permintaan Surabaya tentu juga akan meningkat," kata Ishadi. Kalau tidak, mereka bisa "dibajak" televisi swasta -- kalau nantinya televisi swasta sudah mampu memproduksi acara besar seperti sinetron secara swadaya. Kepala Stasiun TVRI di Bandung, Gunawan Subagio, juga merasakan kekhawatiran serupa. Salah satu kekuatan TVRI Bandung untuk menghadapi televisi swasta adalah kegemaran masyarakat setempat untuk menyaksikan acara kebudayaan daerah. Misalnya yang berlangsung sekarang ini, TVRI Bandung setiap minggu menyiarkan wayang golek dengan dalang terkenal, Asep Sunarya. "Kalau Asep dipakai televisi swasta, wah, bisa mati TVRI Bandung," kata Gunawan. Ya, akhirnya toh memang akan terjadi persaingan. Dan dalam persaingan ini, Ishadi justru mengambil hikmah dengan merangsang motivasi anak buahnya untuk meningkatkan karyanya. "Misalnya RCTI semakin bagus dan TVRI semakin buruk, ini akan menimbulkan ketakutan. Kalau faktor ketakutan itu tak ada, mungkin saja TVRI akan keenakan terus, jadinya mimpi terus," katanya. Ayo, televisi swasta dan pemerintah, bersainglah untuk kebaikan pemirsa di rumah-rumah. Max Wangkar, Moebanoe Moera, Ardian Taufik Gesuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus