Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - PT Timah (Persero) Tbk menahan produksi pada awal tahun ini setelah harga komoditas mineral tersebut menurun. Direktur Utama PT Timah Mochtar Riza Pahlevi mengatakan salah satu penyebab lesunya harga timah ialah wabah virus corona yang menyerang Cina dan beberapa negara tujuan ekspor lain. "Wait and see. Kalau harga bagus, kami akan tingkatkan penjualan," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data London Metal Exchange, harga logam timah sempat meningkat hingga di kisaran US$ 17.700 per metrik ton dari awal tahun hingga pertengahan Januari. Namun, setelah itu, harganya terus merosot hingga mencapai nilai terendah di US$ 16.150 per metrik ton. Pada penutupan perdagangan di bursa London, 7 Februari lalu, harga timah mencapai US$ 16.275 per metrik ton, turun dari US$ 16.550 per metrik ton pada hari sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah kondisi tersebut, Riza menargetkan pertumbuhan produksi logam timah 5 persen dari tahun lalu. Hingga kuartal III 2019, produksi PT Timah mencapai 58.150 metrik ton. Dia memperkirakan produksi sepanjang tahun lalu mencapai 65-70 ribu metrik ton.
PT Timah juga sempat menahan produksi tahun lalu dengan alasan yang sama. Perusahaan pelat merah ini bahkan menghentikan operasi kapal keruk dan kapal isap serta mengurangi kegiatan operasi produksi dari tiga jam kerja menjadi hanya satu jam kerja. Volume ekspor saat itu dikurangi 2.000 ton per bulan.
Meski menahan produksi, Riza mengatakan, kegiatan eksplorasi untuk meningkatkan cadangan timah terus digenjot. Menurut dia, perseroan menganggarkan belanja modal hingga Rp 2 triliun tahun ini, salah satunya buat membeli kapal baru untuk eksplorasi. Kapal tersebut akan tiba tahun ini. "Ada juga beberapa tambang primer yang sudah kami buka," kata dia.
Selain mencari cadangan di dalam negeri, PT Timah merambah ke sejumlah negara, seperti Laos, Myanmar, Nigeria, dan Tanzania. "Di Nigeria, sekarang tinggal meminta izin lingkungan semacam amdal untuk membangun fasilitas di sana," ujar Riza.
Menurut dia, ekspansi ke luar negeri ini sangat menjanjikan. Namun perusahaan menemukan tantangan, khususnya di Afrika, berupa keterbatasan infrastruktur yang menyulitkan distribusi peralatan. Keamanan di sejumlah kawasan juga masih rawan.
Sekretaris Perusahaan PT Timah Abdullah Umar mengatakan akan membangun smelter di Muntok, Bangka Belitung. Proyek yang menelan biaya US$ 80 juta itu memiliki kapasitas 40 ribu ton stannum. "Dengan tambahan ini, total kapasitas bisa bertambah menjadi 70 hingga 80 ribu ton stannum," ucapnya.
Smelter yang dibangun dari dana Finnvera dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) itu akan beroperasi paling lambat pada 2020. Perusahaan menargetkan pembangunan dapat rampung dalam waktu 19 bulan. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk menjadi kontraktor pembangunan smelter tersebut.
Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan menyatakan pembangunan smelter menjadi pekerjaan terbesar bagi PT Timah. Selain menghadapi lesunya harga timah, kata dia, pelaku usaha pertambangan mesti bersiap menghadapi pembatasan ekspor mineral mentah. "Begitu ada pembatasan ekspor mineral mentah, mereka tidak bisa lagi menjual hasil produksi ke luar negeri, sementara di dalam negeri belum tentu terserap," katanya. VINDRY FLORENTIN
Harga Lesu, PT Timah Tahan Produksi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo