Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAUH-jauh datang, para petinggi dari Kepulauan Bangka Belitung harus pulang tanpa hasil. Hampir enam jam, Selasa pekan lalu, mereka menanti di kantor KementerianEnergi dan Sumber Daya Mineral, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Tapi yang ditunggu, Menteri Energi Jero Wacik, tak muncul hingga lewat pukul 19.00. "Belum ada keputusan apa-apa. Rapat batal," kata Pelaksana Tugas Gubernur Bangka Belitung Rustam Effendi dengan nada kecewa. Jero tak datang karena harus menghadiri rapat kabinet yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Hari itu bersama Rustam ada Bupati dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangka Tengah, Bupati dan Ketua DPRD Bangka Selatan, serta Ketua DPRD Provinsi Bangka Belitung. Menteri Jero mengundang mereka untuk membicarakan nasib PT Koba Tin, perusahaan penambangan timah yang telah 40 tahun beroperasi di Bangka Belitung. Jero juga mendatangkan Direktur Utama PT Timah Tbk Sukrisno, pemilik 25 persen saham Koba Tin. Hadir pula perwakilan dari tim independen kasus Koba Tin yang dibentuk Menteri, Simon Sembiring dan Thabrani Alwi.
Kontrak karya perusahaan yang 75 persen sahamnya dimiliki Malaysia Smelting Corporation—melalui Kajuara Mining Corporation Pty Ltd—ini telah berakhir pada 31 Maret 2013. Menteri Jero sempat memperpanjang tiga bulan hingga 30 Juni, lantas ditambah lagi dua bulan sampai 31 Agustus, karena belum bisa membuat keputusan. Ini adalah kontrak karya kedua alias perpanjangan untuk periode 2003-2013. Perjanjian pertama diteken untuk periode 1971-2003. Juni tahun lalu, Koba Tin kembali mengajukan permohonan perpanjangan kontrak—untuk 10 tahun berikutnya.
Sejak tahun lalu, berbagai kajian dan analisis mengenai kinerja Koba Tin sebenarnya telah menumpuk di meja Jero. Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara telah memberikan rekomendasi agar Koba Tin beroperasi hingga kontrak habis pada 31 Maret 2013. "Berdasarkan evaluasi dan analisis, maka tidak terdapat cukup alasan bagi pemerintah untuk memperpanjang kontrak karya PT Koba Tin," tulis Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Thamrin Sihite dalam suratnya kepada Menteri Jero, 3 Agustus 2012.
PT Timah menyampaikan usul serupa. Direksi Timah membeberkan buruknya kinerja keuangan perusahaan. Selama empat tahun terakhir, total kerugian mencapai US$ 46 juta, nilai total ekuitas turun US$ 50 juta, dan utang meningkat menjadi US$ 60 juta. Dengan kondisi merugi itu, pemerintah Indonesia dan pemegang saham tidak mendapatkan manfaat dari keberadaan Koba Tin. Timah juga menilai Koba Tin tidak menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Karena itu, tidak memperpanjang keberadaan Koba Tin di Indonesia adalah harga mati bagi manajemen PT Timah. "Stop, tidak ada lagi Koba Tin," kata Sukrisno.
Pemerintah Provinsi Bangka Belitung, Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Bangka Selatan pun satu suara: cukup sudah buat Koba Tin. Mereka meminta Kementerian Energi membuka kembali izin penambangan di area yang belum dikerjakan perusahaan. "Siapa pun pelaksana tambang ini nantinya, kami serahkan ke pemerintah pusat," ujar Didit Srigusjaya, Ketua DPRD Provinsi Bangka Belitung.
Hanya, Didit berharap daerah dilibatkan. Misalnya dengan mengajak badan usaha milik daerah, bukan perorangan. Kebetulan empat pejabat setempat telah bersepakat pada Oktober 2012. Gubernur Bangka Belitung, Bupati Bangka Selatan, Bupati Bangka Tengah, dan Direktur Utama Timah meneken surat pernyataan kesanggupan menerima tugas dari Menteri Energi untuk mengelola lahan eks Koba Tin. Didit menambahkan, prinsipnya aktivitas penambangan harus berjalan terus agar roda perekonomian berputar. Sedangkan Koba Tin tetap diminta menyelesaikan semua kewajiban.
Namun tiga rekomendasi itu sepertinya belum cukup membuat Menteri Jero berani mengambil keputusan. Dalam berbagai kesempatan, dia mengelak ketika ditanya soal Koba Tin. Ia beralasan akan mendengar masukan dari berbagai pihak. Alih-alih segera membuat keputusan, Jero malah membentuk tim independen untuk mengkaji kinerja Koba Tin. Tim dipimpin Thabrani Alwi, mantan Direktur Utama PT Timah yang kini menjadi anggota staf khusus Jero. Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Simon Sembiring menjadi salah satu anggota tim.
Akhir Juni lalu, tim itu merampungkan kajiannya. Hasilnya, memperkuat rekomendasi yang pernah ada. Pertama, tidak memperpanjang kontrak karya Koba Tin. Kedua, memerintahkan manajemen perusahaan menyelesaikan semua kewajiban yang melekat dalam kontrak. Dan ketiga, menetapkan eks wilayah pertambangan Koba Tin menjadi wilayah pencadangan negara untuk kemudian ditawarkan kepada pihak badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta.
Komisi Energi DPR juga membentuk panitia kerja soal Koba Tin tahun lalu. Panitia kerja dipimpin Sutan Bhatoegana—ketua komisi—dari Fraksi Partai Demokrat. Hasilnya, menurut Sutan, panitia kerja menyetujui perpanjangan kontrak Koba Tin dengan beberapa syarat. Pertama, kontrak baru harus meningkatkan kepemilikan nasional melalui BUMN, BUMD, atau swasta nasional. Upaya peningkatan peran nasional harus optimal. Misalnya 80-90 persen saham harus dimiliki Indonesia. Kedua, Koba Tin harus membayar semua utang perseroan. Dan ketiga, perusahaan juga wajib mereklamasi seluruh area bekas kegiatan penambangan. "Kalau ketiga syarat itu bisa dipenuhi, silakan."
Sutan beralasan solusi yang diusulkan Panitia Kerja Komisi Energi DPR itu merupakan upaya "mengikat" Koba Tin untuk tetap berada Indonesia. "Kalau tidak diikat, siapa yang menjamin bahwa Koba Tin akan memenuhi semua kewajibannya. Bagaimana kalau mereka lari?" ucapnya Rabu pekan lalu.
Sikap Menteri Energi yang tidak segera mengeluarkan keputusan terhadap persoalan ini menumbuhkan berbagai spekulasi. "Ada pengusaha yang mau masuk," kata seorang sumber Tempo. Pengusaha yang dimaksud antara lain Edi Yosfi, kader Partai Amanat Nasional yang dikenal dekat dengan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dan pendiri PAN, Amien Rais.
Pada 2011, Edi sempat menghebohkan dunia minyak dan gas. Melalui PT Sinergindo Citra Harapan, ia disebut-sebut menjadi "penumpang gelap" yang menyusup masuk dan tiba-tiba menjadi pemegang lima persen saham di Blok West Madura Offshore.
Di Koba Tin, jejak Edi telah tampak sejak tahun lalu, ketika rapat umum pemegang saham memasukkannya ke jajaran komisaris. Tapi susunan pengurus itu tidak mendapat persetujuan dari Menteri Jero. Edi diketahui aktif membicarakan kontrak karya Koba Tin. Ia sempat mengunjungi lokasi Koba Tin di Bangka Belitung. "Saya pernah bertemu sekali saat Pak Edi Yosfi berkunjung ke PT Koba Tin," ujar Direktur Corporate Affair Koba Tin Joni Abdulrahman kepada Tempo.
Pada Agustus 2012, tiba-tiba terjadi perubahan pemegang saham tidak langsung PT Koba Tin. Malaysia Smelting Corporation berbagi kepemilikan dengan PT Mega Multi Makmur di Bemban Corporation Ltd, masing-masing 40 dan 60 persen. Bemban adalah "kendaraan" yang digunakan Malaysia Smelting untuk mengakuisisi Kajuara Mining. Mega Multi Makmur diketahui sebagai anak usaha Optima Synergy Resources Ltd, perusahaan milik Edi Yosfi.
Ditemui Kamis malam pekan lalu, Edi tak menampik informasi tersebut. "Itu kendaraan yang akan saya pakai untuk bekerja sama dengan Malaysia di Koba Tin," katanya kepada Tempo. Tapi, menurut Edi, kesepakatan kerja sama itu bersyarat, yakni bila kontrak karya Koba Tin mendapatkan perpanjangan dari Menteri Jero. "Jadi sekarang belum terjadi."
Amien Rais membantah telah mendukung Edi Yosfi masuk ke Koba Tin. "Tidak ada itu. Concern saya, orang dalam negeri pun harus dilihat. Soal Koba Tin, jagalah kepentingan rakyat, lalu untuk perusahaan nasional," ujar Amien kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Hatta Rajasa juga mengaku tak memberikan fasilitas khusus buat Edi Yosfi. "Enggak ada itu. Enggak boleh. Dia kader PAN, tapi bukan berarti saya, kami menjadi tidak obyektif. Bisa Anda buktikan bagaimana standing position saya." Ia menjelaskan statusnya sebagai ketua tim renegosiasi kontrak pertambangan: bersama tim membuat kriteria renegosiasi kontrak. Misalnya royalti harus dinaikkan, memiliki tempat pengolahan (smelter) di dalam negeri, dan bersedia menyerahkan sebagian lahan. "Banyak yang lebih besar daripada Koba Tin yang harus diurus."
SEJAK Maret 2012, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Thamrin Sihite telah menyetujui rencana pascatambang Koba Tin di Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Selatan. Kegiatan reklamasi di bekas area operasi akan dimulai dari 2014 hingga 2018. Untuk itu, pemerintah menentukan perusahaan harus membayar biaya pascatambang US$ 16,7 juta. Dana jaminan pascatambang diminta ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka di bank pemerintah, atas nama Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara qq pimpinan tertinggi perusahaan, paling lambat 30 hari sejak surat persetujuan diterima.
Dana jaminan tidak mengurangi kewajiban perusahaan melaksanakan kegiatan pascatambang sesuai dengan dokumen yang telah disetujui. Artinya, bila terjadi kekurangan biaya, akan tetap menjadi tanggung jawab perusahaan. Bila Koba Tin dinilai tidak serius, gagal, atau lalai dalam memenuhi kriteria keberhasilan pascatambang, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara akan menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan tersebut dengan menggunakan uang jaminan yang ada. Pemerintah memberi tenggat penempatan dana jaminan, paling lambat April 2012.
Tapi Presiden Direktur Koba Tin Kamardin Md. Top meminta pembayaran dilakukan secara bertahap. Pada kesempatan lain, perusahaan mengajukan penundaan pembayaran. Alasannya, Koba Tin sedang kesulitan keuangan. Pemerintah menolak permintaan itu. Molornya pembayaran membuat Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara mengeluarkan surat peringatan pertama, disusul peringatan kedua, dan berujung pada pernyataan gagal alias default pada 4 September 2012. Perusahaan diberi waktu 60 hari untuk memperbaiki kelalaian (membayar jaminan), hingga 4 November 2012.
Selama dalam status default, Koba Tin dilarang melakukan kegiatan di lapangan, kecuali yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan serta keselamatan pertambangan. Perusahaan tidak diizinkan pula mengubah pengurus (direksi dan komisaris), karena tanggung jawab perusahaan melekat pada mereka.
Larangan itu disampaikan antara lain karena perusahaan merombak susunan direksi dan komisaris dalam rapat umum pemegang saham pada 17 September 2012. Di jajaran komisaris, lagi-lagi Koba Tin menyisipkan nama seorang jenderal polisi. Kali ini Inspektur Jenderal Paiman, mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat. Tahun lalu nama Jenderal Polisi Purnawirawan Sutanto sempat "diselipkan". Padahal, saat menjadi Kepala Kepolisian RI pada 2006, Sutanto mendesak Menteri Energi—kala itu Purnomo Yusgiantoro—agar mencabut kontrak karya Koba Tin karena terbukti menadah timah dari penambang liar. Menteri Jero tidak menyetujui susunan direksi dan komisaris baru yang diajukan itu.
Perusahaan juga mengusulkan skema pembayaran jaminan pascatambang, yakni mengolah stok slag—produk sampingan dalam pengolahan biji timah—untuk menghasilkan balok timah sebanyak 812 ton. Produk itu diperkirakan bernilai US$ 17,7 juta, cukup untuk melunasi "tunggakan" jaminan pascatambang. Untuk itu, Koba Tin mengajukan izin membuat perjanjian dengan pembeli potensial. Pemerintah menolak. Thamrin Sihite mengingatkan, selama status default belum dicabut, kegiatan lapangan harus dihentikan. Kecuali yang berkaitan dengan keamanan tambang dan keselamatan lingkungan.
Dua hari menjelang jatuh tempo pembayaran jaminan pada 4 November 1012, Thamrin kembali menyampaikan kepada Menteri Jero tentang evaluasi terhadap Koba Tin dari aspek hukum, pengusahaan, ekonomi, dan lingkungan. Dirjen telah menyiapkan naskah keputusan Menteri Energi tentang pengakhiran (terminasi) kontrak karya PT Koba Tin.
Akhirnya Koba Tin membayar jaminan pascatambang. "Sudah kami serahkan pada Desember 2012. Jadi tidak ada masalah," ucap Joni Abdulrahman. Tapi penyerahan jaminan itu sudah sangat telat. Batas akhir kontrak, 31 Maret 2013, telah di depan mata. Meski kontrak sempat diperpanjang tiga bulan, plus dua bulan, hingga Agustus, hal itu tidak mengubah pandangan para pemangku kepentingan terhadap Koba Tin. Tanpa kehadiran Jero, sikap para pejabat yang menunggu di ruang rapat Menteri Energi, Selasa dua pekan lalu, mengerucut. "Harga mati. Koba Tin selesai," kata Sukrisno.
Thamrin memberi sinyal sepakat. Menurut dia, nantinya kontrak karya di area bekas Koba Tin akan berbentuk izin usaha pertambangan khusus. "Tunggu hasilnya. Kemarin belum ada pembicaraan porsi saham, hanya soal kondisi di Bangka Belitung." Adapun Wakil Menteri Energi Susilo Siswoutomo hanya menegaskan bahwa wewenang mengambil keputusan ada di bawah Menteri Energi sebagai kementerian teknis. "Kami akan memutuskan dengan opsi terbaik."
Retno Sulistyowati, Akbar Tri Kurniawan, Ayu Prima Sandi, Servio Maranda (Bangka)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo