Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Pemerintah dianggap kian kesulitan mengontrol harga minyak goreng.
Gapki menuding pasokan minyak goreng selama ini tertahan di pengedar.
KPPU meminta pemerintah membatasi skala kelompok usaha sawit.
JAKARTA – Pemerintah dianggap semakin kesulitan mengontrol harga minyak goreng meski sudah menelurkan regulasi. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menilai mekanisme pasar produk turunan sawit itu belum berjalan baik. Padahal Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia.
“Gagal menjaga harga menandakan pasar tak bisa dikendalikan pemerintah, padahal barang ini kebutuhan pokok,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Regulasi minyak goreng belakangan terus berubah formula. Pada akhir 2021, pemerintah berniat menyediakan 11 juta liter minyak goreng seharga Rp 14 ribu per liter untuk masyarakat selama enam bulan. Namun hanya 5 juta liter yang bisa disiapkan secara sukarela oleh pengusaha.
Pada awal 2022, pemerintah mengumumkan penyiapan subsidi sebesar Rp 3,6 triliun untuk 1,2 miliar liter minyak goreng. Subsidi yang diambil dari pungutan ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu kemudian dibesarkan hingga Rp 7,6 triliun, setara dengan pemenuhan 1,5 miliar liter minyak goreng. Kebijakan minyak goreng satu harga, yaitu Rp 14 ribu per liter, akhirnya dimulai pada 19 Januari 2022.
Pada 1 Februari lalu, pemerintah mematok harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah sebesar Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, serta kemasan premium Rp 14 ribu per liter. Pada Selasa lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mencabut HET minyak goreng kemasan dan mengembalikannya ke harga keekonomian, sedangkan minyak goreng curah mendapat subsidi.
Eko pun mendesak pemerintah mengevaluasi tata niaga minyak goreng. “Belajar dari kondisi saat ini, saat harga crude palm oil (CPO) naik, harga minyak goreng melejit, tapi saat turun, harga minyak goreng tidak ikut turun.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo