Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Luhut akan menemui IMF, menjelaskan larangan ekspor mineral.
Pemerintah berkeras melanjutkan pelarangan ekspor mineral demi proyek 'hilirisasi'.
Hasil hilirisasi mineral tak akan maksimal tanpa diiringi penyerapan oleh industri manufaktur.
MENTERI Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bersiap terbang ke Washington, D.C. Di sana, pemegang gelar jenderal kehormatan bintang empat ini akan bertemu dengan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva. Ada agenda besar yang dibawa Luhut, yaitu menjelaskan arah kebijakan penghiliran atau hilirisasi komoditas di Indonesia kepada IMF. “Awal bulan depan berangkat,” kata Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto kepada Tempo pada Kamis, 13 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Septian, pertemuan itu menindaklanjuti dokumen "IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia" yang terbit pada 22 Mei lalu. Dalam dokumen itu, IMF memelototi kebijakan pemerintah Indonesia yang berkeras melakukan "hilirisasi" atau mengolah sejumlah komoditas mineral mentah, antara lain nikel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IMF sebenarnya menilai baik kebijakan hilirisasi tambang sehingga memiliki nilai tambah tatkala diekspor. Penghiliran juga bisa menarik investasi asing langsung serta mendorong alih teknologi. Namun IMF menyatakan kebijakan harus diinformasikan melalui analisis biaya-manfaat dan dirancang untuk meminimalkan dampak lintas batas. Karena itu, IMF meminta pemerintah menghapus larangan ekspor mineral mentah secara bertahap dan tidak memperluas pembatasan ekspor ke komoditas lain.
Setelah melarang ekspor bijih nikel mulai 1 Januari 2020, Presiden Joko Widodo akan menyetop ekspor bijih bauksit tahun ini. Kebijakan serupa akan berlaku untuk mineral lain, seperti tembaga, emas, dan timah. Mineral mentah wajib diolah atau dimurnikan di dalam negeri sebelum dikirim ke mancanegara.
Tumpukan nikel di atas kapal tongkang di kawasan industri smelter nikel di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, Februari 2023. Antara/Jojon
Dalam acara Economic Update CNBC Indonesia, Senin, 10 Juli, Luhut mengatakan akan menjelaskan alasan Indonesia melarang ekspor nikel kepada IMF. "Saya mau bilang, apa salah kami buat? Apakah kami salah membuat diri kami sehat dulu, baru ke orang lain? Ngapain kami nolong-nolong negara maju, wong kalian sudah maju, kok. Kami kan menolong diri kami," ujarnya.
Menegaskan pernyataan Luhut, Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengatakan IMF menerapkan standar ganda. Di satu sisi, Bahlil menguraikan, IMF mendorong transformasi struktural, penciptaan nilai tambah, dan ketersediaan lapangan kerja. Namun, di sisi lain, IMF menentang kebijakan larangan ekspor mineral mentah berdasarkan analisis untung-rugi sepihak.
Standar ganda IMF lain, menurut Bahlil, Eropa dan dunia tengah membangun konsensus tentang pembangunan yang berkelanjutan lewat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Artinya, jika Indonesia tetap mengekspor mineral mentah, akan ada banyak bahan baku yang ditambang tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Pada saat yang sama, Amerika Serikat juga melarang ekspor semikonduktor. “Kenapa negara kita yang diusik?” tuturnya di kantornya pada Jumat, 30 Juni lalu.
•••
BUKAN kali ini saja IMF berupaya menghadang larangan ekspor bahan mentah. Dalam seminar "Penjaringan Masukan Visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045" di gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta Pusat, pada 20 Maret lalu, Menteri Luhut Pandjaitan menukil sejumlah manuver IMF.
Dia bercerita tentang perwakilan IMF yang mendatanginya untuk menyampaikan pesan dari sejumlah negara maju. Menurut Luhut, negara maju berkeberatan atas kebijakan Indonesia melarang ekspor bahan mentah. Luhut merespons pernyataan itu dengan mengatakan Indonesia sebagai negara berkembang sudah waktunya meningkatkan nilai tambah dari berbagai hasil tambang mineral yang krusial. “Sehingga kami bisa menjadi bangsa besar, negara maju," ujarnya saat itu.
Luhut lantas memamerkan kesuksesan penghiliran industri berupa sumbangan terhadap nilai ekspor. Berdasarkan data pemerintah, nilai ekspor nikel mencapai US$ 3,97 juta pada 2017, kemudian naik menjadi US$ 6,52 juta pada 2018, dan terus bertambah menjadi US$ 8,16 juta pada 2019. Pada 2020-2022, setelah larangan ekspor berlaku, nilai ekspor nikel meroket berturut-turut menjadi US$ 11,61 juta, US$ 22,21 juta, dan US$ 33,81 juta.
Jauh sebelum IMF berkoar-koar soal larangan ekspor, Presiden Joko Widodo sudah menunjukkan sikap Indonesia. Saat membuka Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 22 Februari lalu, Jokowi mengaku mengatakan sikap Indonesia terbuka kepada para pemimpin negara Uni Eropa. Tapi, Jokowi menambahkan, Indonesia tidak bisa dipaksa mengekspor bahan mentah. “Kami sudah tidak mau,” tuturnya. "Kalau ingin memproduksi prekusor, panel surya, silakan datang ke Indonesia."
Pernyataan Jokowi ini menanggapi tindakan Uni Eropa yang menggugat Indonesia ke panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam sidang WTO, Uni Eropa menang dan Indonesia mengajukan permohonan banding.
Pemerintah boleh saja jorjoran menegaskan sikap tentang penghiliran dan larangan ekspor mineral mentah. Tapi kebijakan itu bisa jadi kurang optimal jika tak diikuti dengan pengembangan industri manufaktur yang memanfaatkan mineral olahan tersebut. Menurut Simon Sembiring, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral periode 2005-2008, penghiliran tidak sebatas mengolah mineral mentah, misalnya bijih nikel menjadi nikel murni. “Kalau hasil pemurnian dari tambang nikel di Morowali diekspor ke Cina, ya podo wae, nilai tambahnya minim,” ucapnya.
Simon mengatakan nilai tambah hasil tambang akan lebih besar apabila produk olahannya sudah dibuat menjadi baterai kendaraan listrik atau barang-barang lain yang bernilai tinggi. Di Indonesia, timah hanya diolah menjadi berbentuk batangan dan sebagian kecil digunakan untuk bahan solder atau perekat logam.
Adapun Raden Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi periode 2013-2015, menyayangkan pengembangan industri manufaktur yang tidak seagresif penghiliran di sektor tambang. Sampai saat ini, kata dia, pengolahan mineral logam baru menghasilkan produk intermediate atau berlevel tengah.
Sukhyar memberi contoh, pengolahan mineral untuk baterai kendaraan listrik baru sampai tahap M-sulfat. “Belum menjadi prekursor, material katoda, baterai sel. Masih banyak yang harus dipikirkan di sisi hilir,” katanya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro juga menilai larangan ekspor nikel tidak diiringi dengan kesiapan membangun industri yang menyerap produk olahan mineral tersebut. Padahal pembangunan sektor hilir sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. "Seharusnya pemerintah siapkan infrastruktur penunjangnya, termasuk serapan domestik," tuturnya pada Sabtu, 1 Juli lalu. Menurut Komaidi, tak siapnya penyerapan domestik akan berpengaruh pada mekanisme harga yang wajar. Hal-hal itu yang berpotensi mendorong ekspor ilegal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Riani Sanusi Putri berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tak Cukup Memurnikan Mineral"