Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin mengatakan swasembada pangan sebenarnya merupakan ide usang dan sudah banyak ditinggalkan banyak negara di dunia. Namun, ide tersebut masih tetap saja muncul dalam gelaran Debat Capres kedua yang digelar Minggu malam, 17 Februari 2019 di Hotel Sultan, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Gak cukup lagi bahas swasembada, itu old-fashioned," kata dia dalam diskusi di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta Pusat, Senin, 18 Februari 2019.
Sebab 5 tahun terakhir, kata Bustanul, Indonesia sebenarnya sudah termasuk dalam negara yang mencapai swasembada pangan dalam komoditas beras. Ini terlihat dari angka Self Sufficiency Ratio (SSR) alias Rasio Swasembada dari beras di Indonesia sudah berkisar 94 hingga 99 persen yang menandakan swasembada telah tercapai. Jika angkanya melewati 120 persen, maka satu negara dikatakan surplus pangan.
Sebelumnya dalam Debat Capres kedua yang diadakan di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, ide soal swasembada pangan sempat diungkapkan oleh calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. “Kita harus berdiri di atas kaki sendiri, kita harus swasembada pangan, swasembada energi, dan air agar survive,” katanya saat memaparkan visi misinya pada debat capres kedua, Minggu, 17 Februari 2019.
Prabowo menjelaskan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut tolak ukur keberhasilan sebuah negara bisa memenuhi pangan energi, dan air. Oleh karena itu saat menjadi kepala negara nanti, capres nomor urut 02 ini bakal menjamin pangan yang terjangkau untuk seluruh Indonesia.
Sementara Ide soal swasembada telah disampaikan Jokowi sejak dua bulan usai dilantik menjadi presiden. Menurut Jokowi, Indonesia harus sudah bisa mandiri atau swasembada pangan dalam tiga tahun. "Tidak boleh ditawar," ujarnya. Lalu dalam Debat Capres, Jokowi menyebutkan bahwa Indonesia telah mencapai surplus komoditas beras dan menurunkan impor jagung dari 3,5 tahun 2015 menjadi hanya 180 ribu di tahun 2018.
Dibandingkan swasembada, Bustanul menyebut ide yang lebih maju dari itu adalah ketahanan pangan. Berbagai aspek diatur dalam konsep ini mulai penyediaan pangan yang berkualitas dan bergizi bagi masyarakat, hingga akses pangan oleh masyarakat. Sebab, kata dia, percuma produksi beras surplus kalau masyarakat kesulitan mengaksesnya. "Jadi kalau swasembada itu urusan perut, maka ketahanan pangan itu urusan otak."