Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Instutute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono, meminta pemerintah membatalkan kebijakan pemotongan upah pekerja swasta untuk Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Yusuf menuturkan, kepesertaan Tapera akan menambah beban pekerja dan menurunkan daya beli mereka. Pasalnya, para pekerja atau buruh terjebak dalam upah murah pasca berlakunya Undang -Undang atau UU Cipta Kerja.
Gara-gara UU Cipta Kerja, Yusuf menambahkan, kenaikan upah buruh sangat rendah. Bahkan, tidak mampu sekadar mengimbangi inflasi. Walhasil, ia berujar, daya beli dan kesejahteraan buruh semakin menurun. Kondisi ini pun bisa makin parah dengan adanya kebijakan Tapera.
“Pemotongan gaji untuk Tapera akan semakin menekan daya beli pekerja yang sudah lemah,” kata Yusuf kepada Tempo, Rabu, 29 Mei 2024.
Apalagi saat ini gaji para pekerja sudah dipotong untuk berbagai program, seperti iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Karena itu, Yusuf berujar, pemerintah tidak perlu lagi menambah beban pekerja melalui potongan gaji untuk Tapera.
Lagi pula, kata Yusuf, tidak ada jaminan kepastian manfaat iuran Tapera yang dikeluarkan pekerja saban bulan. Sebagian besar pekerja pun berpotensi merugi jika diwajibkan membayar iuran dalam jangka waktu yang panjang. “Bahkan pengalaman dari Bapertarum (Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan), tidak sedikit peserta yang menagih pengembalian dana mereka saja mengalami kesulitan,” tuturnya.
Di sisi lain, Yusuf mengatakan, tidak semua pekerja memiliki kebutuhan terhadap pembiayaan perumahan. Sebab, kata dia, 82 persen masyarakat sudah terkategori memiliki rumah sendiri. Hanya ada sekitar 18 persen keluarga Indonesia yang belum memiliki rumah.
Selanjutnya: Oleh karena itu, alih-alih menarik iuran Tapera, Yusuf mengatakan sebaiknya,,,,
Oleh karena itu, alih-alih menarik iuran Tapera, Yusuf mengatakan sebaiknya pemerintah fokus pada pemenuhan kebutuhan rumah 18 persen keluarga Indonesia menuju zero backlog atau meniadakan kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan rumah.
“Dengan jumlah rumah tangga sekitar 67 juta, 18 persen keluarga yang belum memiliki rumah ini setara dengan kurang lebih 12,7 juta rumah tangga,” kata Yusuf. “Inilah angka backlog kita.”
Backlog 12,7 juta unit rumah tersebut, Yusuf menjelaskan, berasal dari kelas terbawah dengan daya beli sangat rendah. Mereka tidak sulit, bahkan tidak mampu memiliki rumah, dengan skema pembiayaaan kepemilikan rumah sederhana sekalipun. Karena itu, menurutnya, pemerintah perlu melakukan terobosan kebijakan untuk merealisasikan zero backlog pada 2045.
Kebijakan pemotongan gaji pekerja swasta sebesar 3 persen untuk Tapera diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera yang diteken Presiden Jokowi pada 20 Mei lalu. Beleid ini merupakan revisi PP Nomor 25 Tahun 2020.
Kebijakan tersebut menuai penolakan dari berbagai kalangan buruh atau pekerja. Sebagai contoh, penolakan dari pekerja di Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang tergabung dalam Serikat Buruh Industri Pertambangan atau SBIPE IMIP.
Ketua SBIPE IMIP Henry Foord Jebss tidak yakin iuran yang masuk untuk Tapera bisa kembali ke kantong para pekerja. Ia berkaca pada sejumlah kasus sulitnya klaim manfaat iuran BPJS Ketenagakerjaan yang terjadi selama ini.
Penolakan juga disampaikan Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia atau FSP TSK SPSI. Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI, Roy Jinto, meminta pemerintah membatalkan dan mencabut PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera. Saat ini, Roy menilai, potongan upah pekerja untuk iuran bulanan sudah terlalu banyak. Mulai dari BPJS Kesehatan hingga iuran Jaminan Hari Tua (JHT) melalui BPJS Ketenagakerjaan. Beban ini akan bertambah jika iuran Tapera diwajibkan.
"Tapera hanya akal-akalan pemerintah untuk mengumpulkan dana dari buruh yang dikelola BP (Badan Pengelola) Tapera, yang gaji dan biaya operasionalnya dibebankan dari simpanan rakyat yang diwajibkan melalui UU Tapera," kata Roy melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 29 Mei 2024.
Pilihan Editor: BPJS Watch Kritik Layanan BPJS, Imbas Keluhan Ikang Fawzi soal Antre Sampai 6 Jam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini