Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dana Moneter Internasional atau IMF mengimbau Indonesia untuk mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap atas kebijakan pembatasan ekspor nikel, serta tidak memperluas pembatasan ke komoditas lainnya. Hal itu berdasarkan dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia yang memberikan catatan tentang rencana hilirisasi nikel di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dokumen tersebut, IMF menyebut kebijakan harus berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Selain itu, kebijakan juga perlu dibentuk dengan mempertimbangkan dampak-dampak terhadap wilayah lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Direksi mencatat strategi diversifikasi Indonesia yang berfokus pada kegiatan hilir dari perusahaannya komoditas mentah, seperti nikel," ujar IMF dalam press release di dokumen tersebut, dikutip Jumat.
IMF menyambut baik ambisi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambahan dalam ekspor, menarik investasi asing langsung, dan memfasilitasi transfer keterampilan dan teknologi. Selain itu, IMF menilai kebijakan tersebut harus diinformasikan oleh analisis biaya-manfaat lebih lanjut, dan dirancang untuk meminimalkan limpahan lintas batas.
"Dalam konteks itu, direksi meminta pertimbangan menghapus secara bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan untuk komoditas lain," tutur IMF.
IMF standar ganda
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menganggap ada standar ganda pada IMF.
"Nah IMF ada standar ganda," ujar Bahlil, sapaan dia, dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat, 30 Juni 2023.
Dia menjelaskan, lembaga dana moneter itu mendorong transformasi struktural, serta penciptaan nilai tambah dan lapangan kerja. Namun di sisi lain, IMF menentang kebijakan larangan ekspor mineral mentah berdasarkan analisis untung rugi yang telah dilakukan lembaga tersebut.
"IMF akui PE (pertumbuhan ekonomi) kita di atas 5 persen. IMF akui inflasi (Indonesia) di bawah 5 persen dan salah satu PE dan inflasi terbaik di antara negara G20," ungkap Bahlil.
Selain itu, Bahlil juga mencatat IMF telah memberi ulasan positif terhadap perekonomian Indonesia. Menurut Bahlil, IMF mengatakan Indonesia dalam mengelola keuangan negara telah mengembalikan defisit di bawah 3 persen satu tahun lebih cepat.
Bahlil melanjutkan, IMF juga mengakui investasi asing langsung (FDI) terus meningkat. Pada 2023, FDI Indonesia tumbuh 19 persen.
"Ada ketakutan dari mereka ketika Indonesia berada di kondisi yang trennya sudah bagus dan jalan yang benar. Ada apa ini?" kata Bahlil.
Lebih lanjut, dia menjelaskan perihal standar ganda IMF lainnya. Menurut Bahlil, Eropa dan dunia tengah membangun konsensus tentang pembangunan yang berkelanjutan lewat tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Oleh sebab itu, dia menilai jika Indonesia tetap mengekspor mineral mentah, tentu ada banyak bahan baku yang ditambang tanpa memperhatikan dampak lingkungan.
"Jadi, menurut saya ada standar ganda yang dibangun. Di saat yang sama negara, negara lain melarang ekspor, seperti Amerika, dia melarang ekspor semikonduktor, kenapa negara kita yang diusik?" tutur Bahlil.
Lebih jauh, Bahlil menuturkan hal ini menyangkut wibawa negara. IMF menurut Bahlil sudah pernah menjadikan Indonesia pasien yang gagal diagnosa.
"Apakah kita mengikuti dokter yang sudah membawa kita ke ruang rawat inap, dia masukan kita ke ruang IC, ibarat orang sakit harusnya nggak operasi total, kemudian operasi total terus gagal?" ujar dia.
IMF mungkin lagi tidur
Bahlil juga menyebut IMF baru bangun tidur. Bahlil menyampaikan pernyataannya tersebut berkaitan dengan larangan ekspor nikel.
"IMF mungkin lagi tidur, nggak baca konsensus hasil G20," ujar Bahlil.
Singgung konsensus hasil G20
Dia menjelaskan, Indonesia telah memprakarsai hilirisasi dan kolaborasi UMKM dalam komunike bersama kepala negara di G20 yang tertera pada paragraf 27. Lewat dokumen Bali Compendium itu, telah disetujui setiap negara diberikan ruang untuk mengelola ekonomi dan menciptakan lapangan kerja dengan keunggulan komparatif masing-masing.
"Itu sudah disepakati dan itu perjuangan nggak gampang. Jadi ini IMF baru bangun tidur, dan sudah dicatat dalam UNCTAD (Konferensi PBB mengenai Perdagangan dan Pembangunan) di PBB," kata Bahlil.
AMELIA RAHIMA SARI | ANTARA