Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti atau Data Analyst Continuum dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Maisie Sagita melakukan analisis terhadap unggahan atau tweet warganet mengenai beberapa isu yang sedang ramai. Isu tersebut adalah pejabat pajak pamer harta, dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), hingga kasus penerima hadiah tapi harus bayar pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Untuk isu pejabat pamer harta, kata Maisie, publik merasa perilaku pejabat yang pamer hartanya itu tidak etis. Karena dengan pamer harta itu bisa menyebabkan munculnya persepsi kalau rakyat itu bayar pajak hanya untuk membiayai kehidupan mewah pejabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Namun di sisi lain, ada pula yang berpendapat kalau pejabat itu pamer harta tidak apa-apa asalkan mereka bisa mempertanggungjawabkan sumber kekayaan mereka,” ujar Maisie dalam diskusi virtual pada Selasa, 28 Maret 2023.
Soal isu dugaan TPPU, masyarakat menyoroti adanya indikasi dari transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan senilai Rp 349 triliun yang disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md. Publik, menurut Maisie, justru menyoroti kemungkinan adanya transaksi lain yang belum terbongkar.
Selain itu, hasil analisis tersebut menyebut publik juga mengeluhkan soal tidak sigapnya Kemenkeu dan PPATK soal transaksi janggal tersebut. Ditambah lagi pernyataan yang keluar dari Menkopolhukam.
“Publik jadi merasa kalau kementerian itu seperti tutup mata akan transaksi mencurigakan yang terjadi atau yang dilakukan oleh pegawainya sendiri,” ucap Maisie.
Selanjutnya: Adapun isu yang ketiga adalah....
Adapun isu yang ketiga adalah kasus penerima hadiah tapi harus bayar pajak. Maisie menjelaskan, seperti diketahui, besaran pajak itu sangat ditentukan oleh nominal atau besaran nilai dari barang tersebut. Publik, kata dia, sekarang merasa bingung, mengapa suatu hadiah atau konteksnya gratis bisa dikenai pajak.
“Jadi publik itu ingin tahu. Sebenarnya barang-barang apa saja yang seharusnya dipungut pajak dan apakah ada barang-barang lain yang bisa bebas dari pajak,” tutur dia.
Informasi tersebut berasal dari analisis pengguna Twitter berbasis big data yang dapat merepresentasikan opini publik secara real-time. Sedangkan alasan menggunakan media Twitter, karena merupakan salah satu sosial media populer di Indonesia dan banyak digunakan oleh orang-orang untuk menyampaikan berita, opini, komentar, kritik, maupun saran.
Unggahan atau tweet itu dikumpulkan, ke disaring dari media dan buzzer. Tujuannya agar menunjukkan opini masyarakat sepenuhnya, bukan opini dari media atau buzzer. Tweet yang sudah disaring itu kemudian dianalisa, ada analisa exposure-nya, analisa sentimennya, maupun analisasi topik perbincangannya.
Untuk data yang digunakan adalah data unggahan warganet Twitter dari 17 Februari-23 Maret 2023 atau sekitar 5 minggu. Indef mendapatkan sekitar 680 ribu perbincangan atau tweet, dari sekitar 460 ribu user, di mana hampir 80 persen user tersebut berlokasi di Pulau Jawa.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini