Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mimpi Atur Harga Nikel Sendiri

APNI berharap indeks harga acuan nikel Indonesia bisa menjadi rujukan untuk jual-beli nikel dan produk turunannya.

3 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indeks harga acuan nikel Indonesia akan diluncurkan pada 2024.

  • APNI berkonsultasi dengan London Metal Exchange dan Shanghai Metal Market.

  • Penambang dan smelter kerap berselisih soal harga.

JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) bermimpi memiliki indeks harga acuan nikel sendiri. Sebab, selama ini transaksi jual-beli nikel masih mengacu pada indeks di luar negeri. Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menuturkan, keberadaan indeks acuan penting untuk mengendalikan harga barang tambang yang mayoritas cadangannya ada di Indonesia tersebut.

"Targetnya adalah menjadikan indeks ini sebagai rujukan dunia, bukan hanya untuk nikel mentah, tapi juga produk turunannya," ujarnya kepada Tempo, kemarin, 2 Agustus 2023.

Meidy mengimbuhkan, kehadiran indeks harga acuan juga diperlukan untuk menyelesaikan perbedaan harga antara perusahaan tambang dan pemilik smelter (tempat pengolahan nikel). Menurut dia, ketika akan menjual nikelnya, perusahaan tambang selalu merujuk pada rata-rata harga nikel dalam tiga bulan terakhir di London Metal Exchange.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca juga: Kritik Bertubi-tubi Kebijakan Penghiliran

Bursa tersebut menyediakan basis harga untuk nikel kelas satu yang menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik. Harga pasar nikel jenis tersebut lebih tinggi dibanding harga nikel domestik yang didominasi nikel kelas dua, seperti feronikel dan nickel matte. Di sisi lain, pengelola smelter menggunakan acuan yang berbeda, yaitu Shanghai Metal Market, yang menyebabkan ada selisih harga 30-35 persen.

Kesenjangan harga tersebut, ucap Meidy, membuat perselisihan antara perusahaan tambang dan perusahaan smelter terus terjadi di Indonesia. Lama-kelamaan, kata dia, perselisihan itu menurunkan daya tarik investasi tambang maupun pengolahan nikel Indonesia. "Ada gap harga di penambang dan pemilik smelter," dia mengungkapkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekerja memeriksa sepeda motor listrik di sebuah toko di Jalan Bekasi Timur, Jakarta, 2 Agustus 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Meidy menuturkan, Asosiasi tengah menggodok mekanisme pendirian indeks dengan menggandeng para pakar dari London Metal Exchange dan Shanghai Metal Market. "Kami meminta masukan perihal metodologi, formula, serta aspek lainnya. APNI juga membutuhkan pandangan dari kedua pengelola bursa tersebut untuk memastikan indeks di dalam negeri akan diterima pelaku pasar."

Meidy mengklaim, gerakan untuk mendirikan indeks harga acuan nikel Indonesia sudah didukung oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Pemerintah, dia menuturkan, meminta Asosiasi menyelesaikan persiapan pembuatan indeks pada tahun ini supaya bisa diluncurkan pada tahun depan.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli menyebutkan, nilai indeks harga acuan nikel nantinya ditentukan oleh panel yang terdiri atas berbagai pihak, dari penambang, pedagang, pemerintah, hingga analis. Tantangannya, kata dia, adalah membentuk panel yang tepercaya, sehingga indeks yang dihasilkan benar-benar mencerminkan permintaan dan pasokan secara global.

"Terutama pada awal-awal pembentukan tentu akan dipersoalkan oleh pihak-pihak lain," ujarnya. 

Baca juga: Meredam Emisi Karbon Penambangan Nikel

Pembentukan Bursa Nikel 

Pengolahan bijih nikel menjadi feronikel di Kolaka, Sulawesi Tenggara. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Sejalan dengan rencana pembentukan indeks ini, Rizal menilai, Indonesia juga perlu membentuk bursa nikel, bersama dengan negara di dalam kawasan yang juga produsen nikel, seperti Filipina, Australia, Kaledonia Baru, dan Papua Nugini. "Pasarnya akan lebih kuat pengaruhnya secara global karena lebih dari 50 persen produksi nikel dunia berasal dari kawasan ini."

Namun Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menilai bursa nikel belum prioritas untuk dibuat saat ini. Alasannya, kondisi pasokan dan permintaan nikel di Indonesia belum seimbang. Selain itu, pasar nikel di dalam negeri masih dalam bentuk produk antara. Menurut dia, penetapan harga nikel masih merujuk pada publikasi London Metal Exchange yang juga menjadi rujukan pasar global.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia Haykal Hubies menyatakan masih memantau perkembangan rancangan indeks harga acuan nikel Indonesia. Dia menilai, kehadiran indeks bakal memberikan kemandirian bagi Indonesia sebagai produsen nikel besar untuk mengatur harga. Dengan begitu, stabilitas harga nikel bisa terjaga, berdampak positif ke industri turunan nikel, dan mendorong pembukaan lapangan kerja.

Dia berharap indeks harga nikel Indonesia juga mempertimbangkan tantangan yang membayangi. Salah satunya adalah risiko volatilitas harga. "Kalau harga bergerak tajam, otomatis akan berpengaruh ke kepastian investasi dan produksi," tuturnya. Haykal juga menyoroti proses penetapan harga yang harus transparan untuk membuat pelaku pasar, termasuk pemain internasional, percaya. Hal lain yang juga tak boleh luput adalah risiko eksternal, seperti ketegangan politik dan kebijakan ekonomi negara-negara tertentu.

VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus