Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menanti Rombongan Investor Baterai Kendaraan Listrik

Sejumlah investor diklaim segera masuk dan membangun pabrik baterai kendaraan listrik. Siapa saja?

 

6 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komitmen investasi IBC dengan perusahaan baterai asal Cina, Ningbo, sedang difinalkan.

  • Perusahaan baterai asal Inggris dikabarkan akan menanamkan modal di Sulawesi.

  • Perusahaan produsen kendaraan listrik juga mengembangkan ekosistem baterai masing-masing.

JAKARTA – Kementerian Badan Usaha Milik Negara masih memburu beberapa peluang investasi pabrik baterai kendaran listrik (electric vehichle/EV). Wakil Menteri BUMN I, Pahala Nugraha Mansury, masih menagih komitmen kemitraan pabrikan baterai yang dijajaki PT Indonesia Battery Corporation (IBC) dengan LG Energy Solution dan Grup Hyundai. Bila negosiasi berjalan lancar, IBC akan mendapatkan 5 persen saham proyek pabrik baterai EV yang dikembangkan di Karawang. “Kami berharap apa yang sudah dijanjikan oleh pihak LG ini bisa direalisasi,” katanya seusai rapat dengar pendapat di kompleks DPR RI, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investasi pembangunan fase pertama pabrik baterai yang dinamakan Proyek Omega itu diperkirakan menembus US$ 1,1 miliar atau lebih dari Rp 16 triliun. Ditargetkan beroperasi mulai April tahun depan, kapasitas produksi pabrik tersebut akan mencapai 10 gigawatt-jam (GWh). Karena setara dengan pembuatan 150 ribu unit baterai EV, proyek itu berpotensi menjadi basis produksi baterai listrik terbesar di Asia Tenggara. Adapun fase kedua pembangunan pabrik tersebut akan dimulai pada 2030 dengan tambahan kapasitas 15-20 GWh—membuat kapasitas totalnya hampir menyundul 30 GWh. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian BUMN sebelumnya menargetkan investasi di sektor baterai EV bisa mencapai US$ 6 miliar atau sekitar Rp 90 triliun. Namun Pahala menyebutkan target yang mencakup proses produksi dari hulu ke hilir itu dikejar secara bertahap hingga 3-4 tahun mendatang. 

Selain mengejar janji kerja sama pabrikan baterai dengan LG-Hyundai, IBC ditugaskan mengejar komitmen serupa dari Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co Ltd (CBL), cucu usaha Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL)—produsen baterai EV yang menguasai 32 persen pangsa pasar global untuk baterai lithium-ion. Potensi permodalan ekosistem baterai yang dibawa CBL digadang-gadang mencapai US$ 5,6 miliar atau sekitar Rp 84 triliun.

Bila merujuk pada paparan manajemen IBC di DPR pada pertengahan Februari lalu, pengembangan ekosistem baterai EV bersama CATL dan LG saja sudah membutuhkan Rp 217 triliun. Nilai itu meliputi kegiatan dari proses penambangan nikel hingga proses daur ulang. “Partnership dengan CATL mulai jalan duluan. Mereka (CATL) masih menunggu adanya approval dari regulator di Cina,” ucap Pahala. “Tapi mereka optimistis, sebelum akhir Juli 2023, hal itu bisa direalisasi.” 

Saat dimintai konfirmasi, belum ada informasi anyar dari Sekretaris Perusahaan IBC, Muhammad Sabik, ihwal negosiasi Proyek Omega. Adapun peluang kemitraan dengan konsorsium CBL masih difinalkan. Baik IBC maupun CBL berusaha merampungkan perjanjian kerja sama dan pendirian perusahaan patungan. Kedua pihak sudah menyepakati conditional shares purchase agreement pada 16 Januari 2023. "Sehingga EPC (engineering, procurement, dan construction) sudah dapat dimulai pada akhir tahun ini,” katanya kepada Tempo.

Presiden Joko Widodo juga sudah menagih pembangunan ekosistem baterai EV di Indonesia. Mengulangi instruksi Jokowi, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan target itu dikejar lewat percepatan administrasi. "Jadi, arahan Bapak Presiden jelas minta dipercepat. Bulan September harus semuanya sudah selesai," tutur Bahlil, dilansir dari siaran virtual YouTube Sekretariat Presiden pada 31 Mei lalu. 

Dia juga mengklaim adanya rencana investasi baterai kendaraan listrik dari Inggris senilai sekitar US$ 9 miliar di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Ekosistem yang sudah mencakup tambang hingga produksi battery cell itu akan diintegrasikan dengan tambang nikel yang ada di Papua. Kapasitas produksinya pun disebutkan bisa mencapai 20 GWh pada tahap pertama, kemudian disesuaikan dengan permintaan pasar. "Investasi Inggris ini bekerja sama dengan Glencore, EVision, kemudian Umicore dari Belgia, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, serta pengusaha nasional di Indonesia.” 

Bus bertenaga listrik dihadirkan dalam pameran Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2023 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, 17 Mei 2023. TEMPO/Tony Hartawan

PT Indika Energy Tbk juga masuk dalam jaringan kemitraan IBC. Emiten tambang berkode saham INDY itu menggandeng Hon Hai Precision Industry Co Ltd atau Foxconn dan Gogoro Inc untuk pengembangan baterai listrik. Presiden Direktur INDY, Arsjad Rasjid, memastikan kerja sama itu juga mencakup industri penunjang EV. “Dari energy storage system (ESS), battery exchange atau swap station, daur ulang baterai, lalu penelitian dan pengembangan bidang baterai listrik,” ucap dia, kemarin.

Tak ketinggalan, PT VKTR Teknologi Mobilitas—lini bisnis kendaraan setrum milik Grup Bakrie atau PT Bakrie and Brothers Tbk—juga mengembangkan paket baterai EV. Dalam keterangan tertulis di situs web resminya, perusahaan yang biasa disebut VKTR itu menggandeng produsen baterai yang beroperasi di Cina dan India, yakni Gotion High-Tech Co Ltd. Bisnis kedua perusahaan dijalin lewat PT Gotion Indonesia Materials. Saat ditanyai kemarin, Direktur Utama VKTR, Gilarsi W. Setijono, masih irit bicara soal kelanjutan kolaborasi tersebut. 

Namun, dalam keterangan resmi sebelumnya, Gilarsi mengatakan entitasnya akan memproduksi kendaraan listrik dengan pemenuhan baterai hingga 2027. Nantinya Gotion High-Tech akan menyediakan paket baterai litium untuk keperluan EV baru ataupun kendaraan hasil retrofit buatan VKTR. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan investasi EV di Indonesia kian menarik ketika industri domestik bisa menghasilkan bahan baku sekaligus merakit baterai secara mandiri. Pasalnya, produsen baterai asing akan lebih memilih membangun basis produksi di Indonesia, alih-alih mengimpor nikel ataupun turunannya. “Apalagi jika ekspor komponen baterai dari Indonesia dikenai pajak mahal. Produsen luar akan membangun pabrik di sini untuk menghemat biaya logistik.”

YOHANES PASKALIS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus