Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADU gertak Indonesia-Jepang dalam kisruh Inalum pekan silam reda. Tepat pukul 7.00 sore Sabtu baru lalu, Vigor -- kapal yang dikirim Jepang -- meninggalkan Dermaga A Pelabuhan Kualatanjung, setelah beroleh muatan 12.500 ton aluminium ingot. Izin pemuatannya baru keluar Selasa pekan lalu, setelah serangkaian negosiasi secara intensif. Sumber TEMPO di Departemen Perdagangan dan Perindustrian Luar Negeri (MITI) di Tokyo mengungkapkan, adalah Mensesneg Moerdiono yang menyalakan lampu hijau pemuatan ingot ke palka Vigor. Kepada wartawan TEMPO di Surabaya Herry Mohamad, Moerdiono bilang, "Ekspor aluminium ke Jepang ini untuk melaksanakan isi Master Agreement yang telah disepakati bersama." Konon sehari sebelum izin tadi diberikan Dubes Jepang di Jakarta, Sumio Edamura, menemui Menteri Keuangan Sumarlin. Edamura menyampaikan harapannya agar Menteri Keuangan menangani kisruh yang berlarut-larut ini. Tapi Sumarlin, setelah bermusyawarah dengan Menko Ekuin Radius Prawiro, justru mempersilakan Edamura menemui Mensesneg Moerdiono. Radius dan Sumarlin -- masih menurut sumber di MITI itu -- sudah menyerahkan masalah Inalum ini kepada Moerdiono. Pada hari Senin itu juga Edamura diterima Moerdiono. Dan Moerdiono menegaskan bahwa pengapalan 12.500 ton aluminium ingot bisa dilaksanakan, dengan syarat: Jepang mau diajak berunding mengenai amandemen Master Agreement (MA), yang telah disepakati sejak 1982. Menurut sumber Jepang di Jakarta, perundingan antara pemerintah Indonesia dan Jepang itu menghasilkan tiga butir kesepakatan. Pertama, pengiriman 12.500 ton ingot harus bisa berjalan lancar, dan intervensi Otorita Asahan agar segera dihentikan pemerintah. Kedua, pembicaraan amandemen MA akan dimulai, kendati tidak dalam waktu dekat. Sebelum ada perundingan antara Indonesia dan Jepang, beberapa hal yang belum jelas dimohon Jepang supaya diperjelas dulu. Dari pihak Jepang jelas, sektor swasta yang akan maju dalam perundingan, karena yang menandatangani MA adalah investor swasta Jepang. Ketiga, sebelum ada kesepakatan terhadap amandemen, MA harus ditaati kedua pihak. Dari tiga butir itu, yang masih membingungkan Jepang adalah siapa yang akan menjadi juru runding pemerintah Indonesia pada babak perundingan berikutnya. Menko Ekuin, Menteri Keuangan, Mensesneg atau bahkan Otorita Asahan? Kalau benar Menko Ekuin, kenapa Radius pekan lalu menyatakan kepada TEMPO bahwa Menkeu Sumarlinlah yang diberi wewenang. Namun bila benar Sumarlin, kenapa ia malah meminta agar TEMPO bertanya pada Radius. "Kalau tidak, tanya saja pada Pak Moerdiono," ujar Sumarlin Senin malam pekan ini di Departemeri Keuangan. Diplomat Jepang di Jakarta juga tak tahu siapa yang mewakili pemerintah Indonesia nanti. Juga belum jelas, perundingan babak berikut bakal diadakan di Jakarta atau Tokyo. Tapi tampaknya akan seru. Soalnya pihak Jepang (Nippon Asahan Aluminium) dan Indonesia, akan kembali bersilat lidah soal jatah aluminiumnya. Sumber MITI mengungkapkan, NAA maksimal bisa mentolerir pembagian jatah sesuai dengan persentase saham, 59 : 41. Ini artinya Jepang masih bertahan pada usul lama yang dikemukakannya dalam perundingan bulan Juni lampau. Pada perundingan itu, pihak Otorita Asahan sebaliknya menuntut jatah 44,8% untuk Indonesia, dan 55,2% untuk NAA. Sejak saat itulah ekspor aluminium ke Jepang terkatung-katung. Kalau nanti tidak satu pihak pun sudi bergeser, maka bukan tidak mustahil perundingan akan terbentur jalan buntu untuk kedua kalinya. Bachtiar Abdullah (Jakarta) & Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo