Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jangkar Teler, Ttanpa Dividen

Pt delta djakarta, produsen bir anker, dikemudikan direksi baru setelah grup mantrust memasok modal 30%. distribusi pemasaran ditangani bwi. di masa direksi lama, perusahaan merugi dan banyak utang.(eb)

9 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH hampir dua pekan ini PT Delta Djakarta, penghasil bir Cap Jangkar, dikemudikan direksi baru. Dan sudah beberapa bulan sebelumnya, para agen harus berhubungan dengan perwakilan Borsumij Wehry Indonesia (BWI), sebagai satu-satunya distributor minuman keras itu. Demikianlah, para penggemar bir, sejak Juli lalu Delta memasuki babak baru menyusul hadirnya modal kelompok Mantrust sebesar 30% di perusahaan itu. Tidak banyak keberatan dikemukakan para pemegang saham lain ketika, belum lama ini, masuknya Mantrust disahkan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa di Jakarta. Semula pengurus Korpri Kelompok Delta, yang menguasai sebagian kecil saham, memang memprotes dan mengkhawatirkan masuknya pemodal kuat itu. Masuknya Mantrust, yang mempunyai anak perusahaan BWI, dikhawatirkan memperkukuh dominasi pihak Belanda (Borsumij Wehry Nederland 15% dan De Drie Hoefijzers Beheer Breda 15%). Mereka menyangka, posisi Pemda DKI Jakarta dan public, yang masing-masing tinggal memegang saham 30% dan 10%, jadi lemah -- hingga kelak mungkin saja pemegang saham mayoritas bisa bertindak sewenang-wenang mengurangi pegawai. Apalagi Direktur Utama Delta yang baru, Harsono Edi Soleh, orang BWI yang ditempatkan di situ. Kegiatan penjualan hampir sepenuhnya ditangani BWI. "Ini meresahkan karyawan yang mendukung bagian penjualan selama ini," ujar J.M. Junus, Ketua Korpri Kelompok Delta. Dan, ketika soal kekhawatiran itu dikemukakan di rapat pemegang saham, direksi baru menjamin tak akan ada pengurangan karyawan seperti mereka duga -- mirip dengan janji Pemda DKI Jakarta sebelumnya sewaktu didatangi utusan Korpri Kelompok Delta. Yang kemudian jadi pembicaraan ramai adalah waktu masuknya Mantrust, yang mulai aktif membenahi Delta sejak April lalu, dipersoalkan di situ. Kenapa harus Mantrust, dan kenapa Delta tidak menjual sebagian sahamnya lagi ke masyarakat, atau Pemda Jakarta menambah modal misalnya? Menurut cerita Asmawi Manaf, Kepala Badan Pengelola Investasi dan Penyertaan Modal (BP IPM) Pemda Jaya, ketika di akhir 1985 perusahaan kekurangan likuiditas, Pemda Jakarta tak punya cukup uang untuk membeli (menambah modal) saham lagi di perusahaan itu. Pihak Badan Pelaksana Pasar Modal, kabarnya, kurang berani untuk mengatur penerbitan kembali saham perusahaan bir terbesar kedua ke masyarakat di saat bunga deposito sekarang lebih bersaing. Mantrust, yang diperkenalkan bekas Dirut Soedjono Respati ternyata menunjukkan minat besar. Apalagi, demikian Asmawi, Mantrust berani membeli saham Delta di atas harga Rp 2.850 selembar -- justru di saat harganya di bursa kini tinggal Rp 2.350 atau Rp600 di bawah harga perdananya. Singkat cerita, para komisaris cocok dengan calon penanam modal baru ini, yang diharap bisa menyelamatkan perusahaan. "Dengan demikian, kami kemudian punya tambahan modal sekitar Rp 3,7 milyar," ujar Asmawi, yang kemudian diangkat sebagai Komisaris Utama Delta Djakarta. Konsekuensinya tentu ada: Mantrust minta agar distribusi dan pemasaran bir Jangkar (kecuali Carlsberg) ditangani BWI, anak perusahaannya. BP IPM Jaya, yang kesengsem melihat kekuatan dan kerapian kerja BWI, tak keberatan bila BWI memonopoli distribusi dan pemasarannya -- sekalipun konon perusahaan ini meminta potongan harga sampai lebih dari 17% (sebelumnya paling banter 13%). "Sekarang, dengan ditunjuknya BWI, kami terima beres saja," kata Asmawi, yang seperti tak ingin pusing mengawasi kerja direksi. "Begitu barang keluar dari pabrik, BWI harus bayar." Terobosan seperti itu dianggap perlu dilakukan mengingat di masa ketika distribusi ditangani banyak perusahaan, dan mereka boleh mengutang, direksi cukup pusing menangani piutang perusahaan itu. Bayangkan saja, kalau piutang yang semula bisa dibayar dalam tempo sebulan, kemudian diulur oleh distributor sampai tiga bulan. "Kami tak mau mengulangi kesalahan lama," ujar Asmawi, yang pernah menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Kesalahan yang harus dibayar, kalau itu benar merupakan hasil mismanagement direksi lama, memang mahal: piutang macet sekitar Rp 2 milyar. Karena piutang sebesar itu sulit ditagih, perusahaan jadi tersendat-sendat jalannya. Perundingan untuk menagih piutang itu, termasuk dengan PT Subur Tirta Graha, salah satu bekas distributornya, kini sedang dilakukan. Bekas Dirut Soedjono Respati, sementara itu, membantah Subur punya utang macet Rp 6 milyar. "Tapi, kalau distributor cenderung menunda pembayaran utangnya, itu memang betul," katanya. Komisaris Utama Asmawi Manaf mengaku tak tahu persis berapa besar tunggakan para distributor itu, meskipun dalam laporan keuangan 1985 jumlah piutang usaha itu disebut Rp 11,66 milyar, atau hampir Rp 2,2 milyar di atas tahun buku sebelumnya. Direksi lama, sementara itu, tak ingin mengambil sikap keras. "Yah, orang dagang, tentu ada hari-hari sepinya," ujar Asmawi, seperti mengamini sikap direksi. Sikap lunak itu, ternyata, mengakibatkan perputaran dana perusahaan terganggu, hingga akhirnya menggiring direksi untuk menubruk pinjaman jangka pendek dengan bunga tinggi guna memenuhi kebutuhan modal kerja. Di tahun buku 1985 itu, kredit jangka pendek yang, antara lain, diperoleh dari Pemda Jakarta itu menggelembung jadi Rp 14 milyar, atau sekitar Rp 3,6 milyar di atas tahun sebelumnya. Dan bisa ditebak, hasil penjualan bir, sekitar Rp 3,2 milyar, terpaksa disisihkan untuk membayar bunga pinjaman itu. Beban bunga ini, tentu, tidak akan terlalu berat dipikul kalau penjualan bagus, dan harga pokok penjualan tidak naik mencolok. Tapi, apa mau dikata, yang laku keras ternyata malah bir kalengan yang harga pokoknya tinggi dan berlaba tipis. Sementara itu, penjualan bir botol tak naik mencolok. Hasilnya, kemudian, seperti dilaporkan Dirut Soedjono Respati sebelum mengundurkan diri, Delta rugi hampir Rp 1,5 milyar. "Sayang sekali kami tak bisa menyampaikan hasil yang lebih baik daripada itu," kata Dirut Soedjono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus