Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH pengakuan tidak biasa meluncur dari markas besar korps baju cokelat, Jumat pekan lalu. "Ini bukan cuma kecolongan, tapi kelalaian," kata Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Da-dang Garnida. Ia sedang membicarakan Adrian Herling Waworuntu, tersangka utama pembobol Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun?yang mendadak buron.
Polisi memang pantas menanggung malu. Beberapa kali menjalani pemeriksaan di Markas Besar, 1 Oktober lalu Adrian tiba-tiba raib bak ditelan bumi, tepat ketika berkas perkaranya hendak dilimpahkan ke kejaksaan. Sebelumnya, dua kali bankir kawakan itu mangkir dari panggilan polisi atas saran pengacaranya, Donny Antares Irawan. "Dia tak perlu datang, kecuali ada jaminan tak akan ditahan," kata Donny ketika itu.
Terakhir Adrian mengirim surat keterangan sakit yang ditulis seorang dokter di Kotamobagu, kota kecil sekitar 175 kilometer dari Manado, Sulawesi Utara. Isinya meminta izin istirahat pemeriksaan selama tujuh hari. Namun surat itu diperkirakan palsu. Dokter Frank Winerungan, yang menulis surat sakti, eh, surat sakit itu, mengaku tak mengenal pasiennya. Ia hanya menjelaskan pasien itu?bernama A. Waworuntu?menderita sakit batuk dan pilek.
Tinggallah polisi kalang-kabut. Mereka memanggil Donny dan Frank untuk diperiksa. Nama Adrian pun langsung dimasukkan ke daftar pencarian dan disebar ke semua kepolisian daerah. Polisi juga bersiap mengeluarkan red notice?surat permintaan menangkap?bekerja sama dengan negara-negara yang masuk jaringan Interpol. "Kami terlalu mempercayai dia, dan dibohongi," ujar Dadang Garnida dengan nada getir.
Banyak yang khawatir Adrian sudah bertamasya ke luar negeri, kendati ia masih masuk daftar cekal hingga 15 Oktober ini. Polisi mengaku sudah berkoordinasi dengan pihak imigrasi, dan sejauh ini nama Adrian tak ditemukan dalam daftar orang yang bepergian ke luar negeri. "Tapi bisa saja ia kabur dengan menggunakan identitas lain," kata juru bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Paiman.
Bila Adrian tak kunjung ditemukan, ini benar-benar tamparan keras buat polisi. Pradjoto, kuasa hukum Bank BNI, terang-terangan menyatakan kekecewaannya. "Adrian dulu sudah dikuasai Mabes Polri, tiba-tiba hilang, kemudian polisi tergopoh-gopoh mencarinya. Itu kan aneh," katanya.
Tak cuma soal kaburnya Adrian, Pradjoto juga kecewa atas lambatnya polisi menyidik kasus tersebut secara keseluruhan. Ia menjelaskan, polisi sebenarnya sudah mengetahui adanya 196 transaksi fiktif yang disampaikan Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK). Namun belum ada langkah berarti untuk menindaklanjuti temuan itu.
Bank BNI juga sudah melaporkan adanya uang dalam jumlah besar yang dilarikan ke luar negeri. "Ada puluhan juta dolar yang lari ke Singapura, New York, dan Timur Tengah," ujar Pradjoto. Lagi-lagi tak ada tindakan tegas polisi untuk menemukan dan mengembalikan uang itu ke brankas BNI. "Aparat sudah sangat keterlaluan bermain-main dengan uang Rp 1,3 triliun," katanya.
BNI memang patut kecewa. Dari Rp 1,7 triliun dana yang dibobol, yang sudah kembali baru Rp 400 miliar. Sisanya, sesuai dengan aliran dana hasil temuan tim investigasi yang mereka bentuk dan PPATK, masih bertebaran di mana-mana. Alih-alih mengusut dana yang bertebaran itu, polisi justru "memakan" informasi dari para tersangka bahwa duit BNI yang mereka tilep telah digunakan untuk membeli sejumlah aset senilai Rp 800 miliar.
Aset itulah?antara lain pabrik marmer rongsokan di Flores?yang hendak dikembalikan ke BNI untuk menutup kerugian akibat pembobolan. Tentu saja BNI menolak karena, menurut perusahaan penaksir yang mereka tunjuk, nilai riil aset itu hanya sekitar Rp 70 miliar.
Sejauh ini, dana BNI yang telah kembali dan masuk ke rekening penampungan-sementara baru Rp 1 miliar. "Susah, mules saya," kata Bien Soebiantoro, Direktur Manajemen Risiko BNI, mengomentari rendahnya pengembalian dana yang dibobol itu.
Kaburnya Adrian jelas membuat peluang kembalinya dana BNI yang bobol kian redup. Soalnya ia?bersama Maria Pauline Lumowa yang sudah lebih dulu buron?memegang peran utama dalam kasus yang menggegerkan publik itu. Pemeran figuran lainnya yang sebagian besar sudah diadili dan dijatuhi vonis (lihat tabel: Nasib Para Pembobol) selalu menunjuk kedua orang itu sebagai dalang.
Sebagai penasihat Gramarindo Group, Adrian dianggap otak pembobolan BNI. Ia yang mengatur rencana pembobolan dengan modus penerbitan surat kredit (L/C). Dalam skenario itu, Gramarindo "dijual" ke BNI sebagai eksportir pasir kuarsa dan minyak residu ke sejumlah negara Afrika dan Timur Tengah. Dari kegiatan ekspor, Gramarindo memperoleh wesel ekspor dari pembelinya di luar negeri.
Anehnya, kendati wesel ekspor itu diterbitkan oleh bank-bank dari negeri antah berantah yang bukan koresponden BNI dan namanya tak dikenal?seperti Wall Street Bank of Corporation di Kepulauan Cook atau Dubai Bank of Kenya?BNI tetap berani menerimanya. Dalam tempo enam bulan, Adrian dan kawan-kawan bersuka ria menyedot brankas BNI melalui transaksi L/C. Hingga Juli 2003, kawanan itu berhasil mencairkan 82 L/C senilai US$ 136 juta dan 56 juta euro, atau setara dengan Rp 1,7 triliun. Hanya sebuah L/C senilai US$ 5 juta yang batal diuangkan.
Aksi pembobolan ini bisa sukses berkat kerja sama dengan orang dalam BNI, yaitu Edy Santoso, mantan kepala pelayanan nasabah luar negeri BNI Cabang Kebayoran Baru. Pembobolan terbongkar gara-gara melonjaknya peningkatan kewajiban dalam euro yang mencapai 56 juta euro. Padahal biasanya transaksi euro hanya mencapai 3-5 juta sebulan.
Penyelidikan yang belakangan dilakukan tim audit BNI menemukan hasil mengejutkan: Gramarindo tak pernah melakukan ekspor. Buktinya, L/C yang mereka ajukan selalu mengandung cacat. Kadang-kadang tak disertai dokumen pemberitahuan ekspor barang, lain waktu dokumen pengapalannya (bill of lading) yang fiktif.
Praktek ekspor fiktif makin terbukti karena semua L/C yang telah dibayar oleh Gramarindo Group ternyata bukan berasal dari bank penerbit L/C. Pelunasan berasal dari uang yang ditransfer oleh berbagai perusahaan yang terkait dengan Gramarindo. Contohnya pembayaran melalui Aditya Putra Finance dan Blue Crystal.
Menurut data aliran dana yang diperoleh Tempo, Adrian terlihat menerima langsung sejumlah dana ke rekening pribadinya. Melalui PT Sagared Team, misalnya, ia mendapat kucuran duit Rp 1,1 miliar. Lewat PT Oenam Marble ia menerima "percikan" dana Rp 5,6 miliar.
Akan halnya Maria Pauline Lumowa, ia menerima dana lebih besar ke rekening pribadinya. Dari Gramarindo, Maria alias Erry Lumowa memperoleh kucuran US$ 7,3 juta dan Rp 2,2 miliar. Dari PT Sagared Team ia mendapat US$ 1,4 juta dan Rp 488 juta. Belum termasuk sebuah mobil Land Cruiser seharga Rp 415 juta. Adapun dari PT Oenam Marble, Erry Lumowa menerima US$ 1 juta dan Rp 1,6 miliar.
Pada awal penyidikan kasus ini, Adrian sebetulnya sempat "mengakui" perannya dalam pembobolan BNI. Terbukti dari kesediaannya meneken akta penanggungan utang (personal guarantee) senilai lebih dari US$ 100 juta?atau Rp 900 miliar. Akta itu disetujui istrinya, Yvonne Ligaya Simorangkir, dan diteken pada Agustus 2003 di depan Notaris Muhammad Ridha dan disaksikan Koe-sadiyuwono dari BNI.
Toh, Donny Antares Irawan tetap bersikukuh kliennya bersih. Adrian, menurut Donny, tak tahu-menahu bahwa dana yang masuk ke Gramarindo Group berasal dari kejahatan perbankan. "Dia merasa tak bersalah," kata Donny, yang ternyata belum mengantongi surat kuasa tertulis dari Adrian.
Buronnya Adrian Waworuntu menyusul Erry Lumowa membuat BNI seperti mutung. Kuasa hukum BNI, Pradjoto, Senin pekan lalu telah meminta Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus itu sebagai penuntut. Adapun majelis hakim akan diminta dari hakim ad hoc antikorupsi yang baru dilantik Presiden. Kedua lembaga ini diminta mengadili Erry Lumowa dan Adrian Waworuntu secara in absentia.
Pengadilan in absentia dirasa perlu untuk menyedot kembali uang BNI yang sudah telanjur keluar. Soalnya, dalam pengadilan sebelumnya, tak ada terdakwa yang diharuskan membayar pidana uang pengganti. Mereka hanya membayar denda yang total nilainya cuma Rp 3,3 miliar.
Bila seorang terpidana sudah dinyatakan bersalah, kendati secara in absentia, seluruh asetnya di dalam dan di luar negeri bisa dibekukan. "Aset Adrian dan Erry di Singapura bisa kita bekukan tanpa khawatir muncul gugatan seperti dalam kasus Taher," kata Tito, salah seorang asisten Pradjoto. Kalau kali ini pun kita "lalai", entahlah.
Nugroho Dewanto, Martha Warta, Danto, Dimas Aditya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo